BAGIAN 2

95 10 0
                                    

Ki Baluran masih termenung dalam ruangan depan dalam rumahnya. Matanya lurus memandang ke depan melalu jeruji jendela. Meski tamu-tamunya telah kembali ke rumah masing-masing, namun dalam benaknya masih ada tamu lain yang enggan pergi. Yaitu, pikirannya yang ruwet.
"Apakah dia salah seorang di antara kelima pemuda itu?" gumam laki-laki Kepala Desa Kayu Asem ini di hati.
Benak Ki Baluran langsung melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam. Saat itu, desa ini dikuasai sepasang suami istri Ki dan Nyi Rungkut yang amat ditakuti semua penduduk. Mereka adalah dukun santet yang memiliki kesaktian hebat. Satu persatu penduduk tewas di tangan mereka.
Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani menentang, karena takut oleh ancaman maut yang dijanjikan kedua suami istri itu. Ki Baluran yang pada saat itu baru pulang berguru di sebuah padepokan ternama di wilayah utara, kemudian menggerakkan penduduk untuk perlawanan. Dan akhirnya, suami istri itu terbunuh. Dia pula yang mendorong masyarakat untuk menghabisi semua keluar dukun santet itu.
"Belum tidur, Kang?"
Terdengar sapaan halus dari belakang. Ki Baluran menoleh. Dan bibirnya langsung tersenyum melihat kehadiran seorang wanita setengah baya yang menghampirinya. Namun laki-laki itu tak bisa menipu diri sendiri kalau senyumnya terasa dipaksakan.
"Kau sendiri kenapa belum tidur, Nyi?" Ki Baluran malah balik bertanya.
"Aku belum mengantuk...," sahut wanita yang tak lain istri Ki Baluran.
"Sama.... Aku juga belum...."
"Wajah Kakang kelihatan kusut. Apa yang tengah dipikirkan?" usik Nyi Baluran.
"Tidak. Tidak ada apa-apa!" sahut Ki Baluran berusaha menyembunyikan apa yang tengah dipikirkannya.
"Tidak usah berbohong, Kang."
"Apa maksudmu? Aku memang tidak memikirkan apa-apa."
"Aku mendengar pertemuan Kakang tadi sore. Kalian membicarakan tentang kemungkinan ancaman dari dukun santet itu, bukan?" desak Nyi Baluran.
"Untuk apa? Mereka toh sudah mati!" sahut Ki Baluran sambil memaksakan diri tersenyum agar istrinya percaya.
"Tapi anak tertuanya sempat meloloskan diri. Dan..., apakah dia yang Kakang khawatirkan?"
Ki Baluran tidak menjawab. Wajahnya yang tegang dipalingkan disertai hembusan napas sesak.
"Berterus-teranglah padaku, Kang! Aku istrimu. Dan aku berhak tahu apa yang tengah kau pikirkan!" desak wanita itu seraya melangkah ke depan suaminya. Sehingga kini mereka saling berhadapan lagi.
"Aku tidak tahu, Nyi...," ucap laki-laki ini lirih, kemudian beranjak keluar.
"Mau ke mana, Kang?"
"Mau cari udara segar."
Wanita setengah baya itu hanya menarik napas sesak, ketika suaminya berjalan menuju istal. Dan sebentar saja, laki-laki itu telah menuntun seekor kuda berwarna coklat. Dengan gerakan ringan, dia naik ke punggung kuda. Ditinggalkannya halaman depan rumah setelah menggebah kudanya pelan-pelan.
Apa yang dikatakan istrinya mungkin saja benar. Tapi..., apakah dia mesti takut bila kelak bocah itu balas dendam? Kepandaiannya cukup hebat. Dan di desa ini pun, terdapat tokoh-tokoh hebat yang siap membantunya. Juga siap melindungi keamanan desa.
Belum tuntas Ki Baluran memikirkan hal itu, mendadak dari kejauhan terdengar derap langkah kuda ke arahnya. Cepat kudanya dihentikan.
"Hooop..!" penunggang kuda itu juga menarik tali kekang kudanya.
"Ki Jarot! Ada apa malam-malam begini seperti dikejar setan?!" tanya Ki Baluran, begitu bisa mengenali siapa penunggang kuda itiu. Kebetulan, bulan bersinar penuh, sehingga cahayanya bisa membantu penglihatan Ki Baluran.
"Ah, kebetulan sekali! Aku memang hendak ke rumahmu, Baluran!" desak Ki Jarot seraya mengatur jalan napasnya.
"Ada kejadian apa?" tanya Ki Baluran.
"Kita mesti menerima pengungsi lagi, Baluran!"
"Pengungsi dari mana lagi?"
"Dari Desa Gelugur!"
"Astaga! Apa yang terjadi di sana?!" seru Ki Baluran kaget.
"Sama seperti yang menimpa Desa Sakapitu."
"Maksudmu, diserang kelima pemuda itu lagi?"
"Ya! Dan kali ini sebagian penduduk mengetahui siapa mereka sebenarnya."
"Siapa?"
"Mereka menamakan diri sebagai Lima Golok Setan. Dan kabarnya, mereka dari Hutan Pucung."
"Lima Golok Setan? Dari Hutan Pucung?"
"Mungkin itu hanya sekadar nama saja, Baluran."
"Mungkin juga... Eh, apakah Ki Jarot tidak mendapat berita lain? Umpamanya nama-nama mereka satu persatu?"
"Baru dua. Mereka Wisesa yang berasal dari Desa Sakapitu, dan Cakra dari Desa Gelugur," jelas Ki Jarot.
"Hhh...!" Ki Baluran menghela napas berat dengan dahi berkerut.
"Kenapa, Baluran?"
"Ah, tidak apa! Lalu siapa yang menjaga mereka?"
"Mereka siapa?"
"Pengungsi-pengungsi itu?"
"O, mereka bersama Ki Pajang serta beberapa orang pemuda desa yang tengah meronda," jelasnya.
"Baiklah. Tolong diatur agar mereka dapat bermalam di desa kita, Ki Jarot. Di tempatku masih ada dua kamar kosong yang cukup besar. Bisa menampung dua puluh orang. Bagi mereka yang punya kamar-kamar kosong di rumahnya, kuharap bisa membantu yang lain," ujar Ki Baluran.
"Baik!"
"Eh! Aku juga ingin ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka...."
"Jadi, kau ingin ikut juga?"
Kepala desa itu mengangguk.
"Baiklah. Mari kita ke sana!" ajak Ki Jarot.

181. Pendekar Rajawali Sakti : Lima Golok SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang