BAGIAN 1

175 9 0
                                    

"Sial! Ke mana dadu itu, Rebung?! Jangan paksa aku menelanjangimu!"
Bentakan barusan berasal dari mulut seorang laki-laki bertampang kasar yang tengah bermain judi dadu koprok dengan beberapa laki-laki lain di sebuah gardu, di depan sebuah rumah besar berbentuk indah.
Permainan judi koprok ini memang sudah sampai pada titik puncaknya. Kebetulan sang bandar berhasil menguras kantong para pemainnya, yang merupakan para penjaga keamanan rumah besar itu.
"Jangan begitu, Tumang! Baiklah. Ini kukembalikan uangmu," tukas sang bandar yang dipanggil Rebung seraya mengeluarkan semua uang milik laki-laki bernama Tumang yang baru saja hendak menyambar bajunya.
Dalam permainan judi ini, memang uang Tumang yang paling tandas terkuras. Dan ketika entah bagaimana dadu itu menghilang, dia kontan naik darah. Amarahnya langsung ditumpahkan pada sang bandar.
Secepatnya Tumang menyambar uang yang disodorkan Rebung. Namun meski uangnya telah kembali, rasa penasaran dan kesalnya belum juga habis.
"Lalu kemana dadu itu kau sembunyikan?!" desak Tumang, penasaran.
"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Hilang begitu saja," tegas Rebung, meyakinkan.
"Mustahil!"
"Aku bersungguh-sungguh!"
Karena sebelumnya merasa telah dibohongi, Tumang jadi tidak buru-buru percaya. Padahal Rebung telah berkata yang sebenarnya.
"Makanya, jadi orang jangan curang. Memangnya kau sembunyikan ke mana dadu itu?" tukas pemain lain yang memiliki jenggot tebal dan panjang.
"Aku berkata jujur, Sangka! Dadu itu tidak kusembunyikan!" tangkas Rebung, menegaskan.
"Alaaah, ngaku saja!" desak laki-laki berjenggot yang dipanggil Sangka. Namun laki-laki ini tidak mau meminta uangnya pada Rebung! Kekalahannya hanya dianggap sebagai buang sial yang tak perlu diambil lagi.
"Brengsek! Kenapa kalian menyalahkanku?! Sudah kukatakan, aku tak tahu kemana dadu itu menghilang?!" sergah Rebung, ikut-ikutan marah agar tidak terlalu disalahkan.
Tapi percuma saja kalau Rebung ikut-ikutan marah, karena kawan-kawannya tidak akan percaya.
"Kau yang mainkan dadu. Jadi mana mungkin dadunya menghilang begitu saja," sahut pemain lainnya. "Sudah, serahkan saja dadunya. Kenapa mesti bertahan segala kalau memang sudah ketahuan berbuat curang?"
"Sudah kukatakan aku tak tahu ke mana dadu itu! Kenapa kalian tidak percaya?!" teriak Rebung jengkel.
"Lalu kemana kalau bukan kau sembunyikan?!" balas Tumang tidak kalah garang.
"Aku tidak tahu! Mungkin terjatuh. Atau salah seorang dari kita menyembunyikannya!" bantah Rebung.
"Hm...!" Tumang bergumam seraya memandang kawan-kawannya.
"Ini masalah remeh. Tapi kalau ternyata di antara kita tidak ada yang menyembunyikan, maka akan menjadi masalah pelik. Baiknya masing-masing bersikap jujur. Berikan dadu itu, kalau memang menyembunyikannya!" seru salah seorang lagi, yang terlihat dengan otot-otot bersembulan di lengannya.
Laki-laki tinggi besar ini memandang mereka satu persatu. Tapi semuanya menggeleng. Kalau mau bertindak lebih lanjut, dia bisa memeriksa mereka satu persatu. Tapi dia percaya kalau mereka tidak bohong. Memang, kalau laki-laki ini sudah bicara penuh wibawa, maka tidak akan ada yang berani main-main. Sebab dia tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan. Apalagi untuk urusan sepele seperti sekarang. Hanya sebuah dadu! Dia yakin, tidak akan ada yang berani menerima hajarannya, karena kedudukannya memang sebagai kepala para penjaga keamanan ini.
"Lalu di mana dadu itu sekarang?" tanya laki-laki bertubuh tegap yang dikenal bernama Patigeni.
Tiada seorang pun yang menyahut. Mereka diam seribu bahasa.
"Apakah ini yang kalian cari?"
Mendadak terdengar suara yang disusul munculnya satu sosok tubuh di depan gerbang bagian dalam sambil menunjukkan dadu kecil.
"Hei?!"
Semua para penjaga keamanan yang ada di gardu ini menoleh, dan langsung tersentak kaget. Bagaimana sosok wanita bertubuh kurus dengan rambut awut-awutan ini bisa masuk padahal pintu terkunci rapat?
"Kenapa kalian terdiam? Istriku tengah bertanya!"
"Heh?!"
Kembali para penjaga itu tersentak kaget, ketika terdengar lagi suara lain yang lebih berat. Mereka kontan menoleh ke arah suara, di atas pagar telah berdiri satu sosok lain yang keadaannya hampir mirip dengan sosok pertama. Bedanya, sosok ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya kurus dengan pakaian kumal tak karuan.
Sepasang matanya menatap tajam ke arah para penjaga. Bibirnya tersenyum sinis. Ringan sekali laki-laki kurus dan kumal itu melompat ke bawah seperti daun kering tertiup angin. Dan tahu-tahu dia telah berada di samping wanita kurus yang tadi berdiri di depan pintu gerbang. Wanita yang ternyata istri dari laki-laki kurus itu melangkah beberapa tindak. Sementara sang suami mengimbanginya.
"Siapa kalian?!" bentak Patigeni seraya bersiaga terhadap kemungkinan yang bakal terjadi.
"Aku ingin bertemu majikanmu!" sahut perempuan kurus dengan pakaian kumal ini.
"Siapa yang kau maksud?"
"Siapa saja yang menjadi majikanmu!"
"Ki Danang Mangkuto sedang tidak menerima tamu. Apalagi untuk melayani pengemis. Pergilah!" usir Patigeni.
"Hihihi...! Kau dengar, Kakang Barata? Anjing-anjing saja sudah demikian galak. Apalagi majikannya?!" cibir wanita berpakaian gembel itu sambil terkekeh.
"Kau benar, Retno. Hm.... Aku sudah tak sabar ingin bertemu majikan anjing-anjing ini!" sahut laki-laki berpakaian gembel yang dipanggil Barata.
Mendengar percakapan sepasang gembel itu membuat darah Patigeni bergerak cepat naik ke kepala. Apalagi ketika disamakan dengan anjing.
"Hei, Gembel Busuk! Jaga mulutmu! Jangan sembarangan bicara!" bentak Patigeni geram.
"Kau dengar, Kakang? Gonggongannya keras sekali!" ejek wanita gembel yeng bernama Retno.
"Keparat!"
Patigeni sudah tidak dapat menahan amarahnya. Seketika tubuhnya melesat ke luar gardu. Langsung diserangnya perempuan gembel itu dengan satu ayunan tangan bertenaga kuat. Namun Retno tak kalah sigap. Cepat tangan kirinya diayunkan menangkis pukulan.
Plak!
Dan mendadak kepalan kanan perempuan gembel ini menyodok ke dada. Gerakannya cepat sekali, sehingga kejadian itu terasa singkat. Tahu-tahu....
Dess...!
"Aaakh...!" Patigeni kontan terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan.
"Hei?!"
Para penjaga yang lain terkejut melihat Patigeni yang selama ini menjadi ketua, ambruk di tanah. Bagaimana mungkin Patigeni dapat dijatuhkan hanya sekali pukul? Padahal mereka tahu kalau kepandaiannya cukup tinggi.
"Kang! Kang Patigeni...!" seru Tumang yang telah menghambur, dan coba mengguncang-guncangkan tubuh Patigeni.
Tapi Patigeni diam membisu. Tubuhnya perlahan berubah dingin mengikuti suhu di sekitarnya.
"Dia sudah mampus!" desis wanita gembel itu, terdengar dingin.
"Mati? Astaga! Kau telah membunuhnya!" sentak Rebung.
"Kalian pun akan menyusulnya!"
"Hah?!"
Mendengar kata-kata yang mengancam itu, tak terasa tubuh para penjaga menggigil ketakutan. Kalau saja Patigeni yang mereka takuti bisa mati dengan sekali hajar, maka apa yang bisa diperbuat melawan kedua gembel itu?
"Eh! Kami..., kami tidak punya salah apa-apa kepada kalian, bukan? Lalu kenapa kalian begitu kejam?" Tumang yang bertampang kasar sendiri memberanikan diri untuk mulai minta pengampunan.
"Kalian jelas salah, karena telah bekerja pada si durjana Joko Gending, anak si keparat bernama Danang Mangkuto!" desis Retno dengan suara penuh kebencian.
"Eh! Ka..., kalian punya persoalan dengan Den Joko Gending?!" tanya Tumang, tergagap.
"Keparat Joko Gending!" Wanita gembel bernama Retno itu membetulkan panggilan terhadap majikan muda mereka.
"Kalau boleh kami tahu persoalan apa?" lanjut Tumang.
"Jangan banyak tanya! Masuklah ke dalam. Dan suruh dia keluar!" dengus wanita itu geram.
"Kalau itu keinginanmu, baiklah. Aku pergi sekarang!" sahut Tumang seraya buru-buru meninggalkan tempat dengan langkah tergopoh-gopoh.
Namun baru melangkah beberapa tindak saja....
"Berhenti!"
"Hei?!" Tumang terkesiap ketika mendengar teriakan keras. Tahu-tahu di depannya kini berdiri tiga orang pada jarak sepuluh langkah. Dia segera mengenali orang-orang itu.
"Ki Danang Mangkuto...! Den Joko Gending...!" sebut Tumang pada laki-laki tua yang berdiri di tengah, dan pada laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berada di sebelah kanan.
Sementara yang berada di sebelah kiri adalah seorang laki-laki kekar berkumis tebal. Golok bergagang besar tampak terselip di pinggangnya. Agaknya dialah tangan kanan laki-laki tua yang bemama Ki Pengging.
"Ada apa, Tumang?" tanya Ki Danang Mangkuto.
"Eh! Anu, Ki...."
"Anu apa? Dan siapa kedua gembel itu?!"
"Mereka ingin bertemu Den Joko Gending...," jelas Tumang.
"Aku tidak punya urusan dengan mereka! Apalagi dua orang gembel. Usir mereka dari sini!" bentak laki-laki berpakaian biru berusia tiga puluh tahun yang bernama Joko Gending sambil berkacak pinggang. Suara ketus.
"Hihihi...! Benarkah kau tidak punya urusan dengan kami, Joko Gending?" tanya Retno dengan suara tawa nyaring.
"Aku tidak kenal kalian! Pergi!" bentak Joko Gending garang.
"Hahaha...! Setelah memperkosa istriku beramai-ramai, lalu kau pikir bisa pergi begitu saja untuk melupakan tanggung jawabmu?!" tukas Barata dengan suara tawa penuh dendam.
"Hei, apa maksudmu? Jangan sembarangan bicara?!" dengus Joko Gending. Wajahnya merah padam karena amarah.
Kalau saja ayahnya tidak mencegah, mungkin Joko Gending akan menghajar kedua gembel itu. Dan dia hanya menoleh pada orang kepercayaan Ki Danang Mangkuto.
"Paman Pengging! Hadapi mereka!" ujar Joko Gending.
Laki-laki kekar bernama Ki Pengging maju kedepan ketika mendapat perintah.
"Kisanak dan Nisanak.... Jika kalian lapar, maka majikanku akan memberi makan. Jika kalian butuh uang, beliau juga bisa memberikannya. Tapi jangan menuduh sembarangan begitu. Keluarga Ki Danang Mangkuto adalah keluarga terhormat. Tidak mungkin Den Joko Gending berbuat begitu terhadap istrimu seperti yang tadi kau katakan," kata Pengging, datar.
"Hahaha...! Kau dengar, Retno? Mereka hendak mengelak dengan dalih keluarga terhormat?" kata Barata.
"Huh! Menjijikkan!" dengus Retno mempedulikan tawa suaminya.
Mata wanita gembel ini memandang tajam pada Ki Pengging.
"Kami memang gembel. Tapi bukan berarti seenaknya menuduh orang! Tanyakan pada anjing keparat itu, apa yang dilakukannya tujuh tahun lalu ketika pada pertemuan di tempat kediaman keluarga Ardisoma?! Apa yang dilakukannya kepada seorang wanita pembantu keluarga itu?! Katakan padanya! Dan ingin kudengar jawabannya, sebelum kuminta kepalanya!" tuding wanita gembel itu sengit.
"Hah, apa?! Tidak mungkin! Tidak mungkin...! Kalian sudah mati! Tidak mungkin bisa hidup!" sentak Joko Gending, dengan wajah pucat karena kaget.

***

182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang GembelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang