Tirta Janaka tak peduli. Dan pada satu kesempatan, sebelah kakinya menyodok keras ke perut adiknya.
Desss....
"Aaakh...!" Sugala jatuh terjungkal sambil menjerit kesakitan.
Baru saja Tirta Janaka hendak menghajarnya lagi.....
Heh?!" Saat itu juga pandangan Tirta Janaka membentur pada dua sosok tubuh berpakaian gembel yang telah tegak berdiri mengawasi pertarungan tak jauh dari tempat ini.
"Siapa kalian?!" bentak Tirta Janaka lantang.
"Kau lupa padaku, Tirta Janaka?" sahut salah seorang.
Tirta Janaka mengamatinya dengan seksama. Rupanya yang barusan bicara adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh enam tahun. Rambutnya panjang, namun tak terurus. Matanya memandang tajam pada pemuda itu.
"Aku tidak kenal kalian! Pergilah sebelum kupanggilkan penjaga untuk mengusir kalian!" bentak Titra Janaka, lantang.
"Penjaga mana yang kau maksudkan? Apakah kedua anjing buduk yang kau suruh berjaga di depan sana? Mereka kini tengah nyenyak tertidur. Dan mereka tidak akan terbangun, meski kau telah berangkat ke neraka!" desis wanita itu dingin.
"Kurang ajar! Berani betul kau mengancamku?! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Aku tengah berhadapan dengan anjing buduk!" sahut wanita itu, mengejek.
"Setan!"
Tirta Janaka yang saat itu tengah kalap pada adiknya, semakin geram saja mendengar ocehan wanita berpakaian dekil itu. Dengan serta merta dia melompat menyerang dengan satu tendangan dahsyat.
"Yeaaa...!"
Wanita itu tidak berusaha menghindar. Cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan kiri. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya, menyodok keras ke ulu hati. Tirta Janaka terkejut, namun tak mampu lagi menghindar. Dan....
Begkh!
"Aaakh...!" Tak ampun lagi tubuh Tirta Janaka terjungkal ke belakang. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan.
"Hei?!" Sugala yang masih meringis kesakitan ketika memperhatikan pertarungan jadi terkesiap. Demikian mudah Tirta Janaka dijatuhkan. Padahal, dia sendiri tidak mampu melawannya. Memang, kepandaian Tirta Janaka sendiri cukup hebat. Dan kalau sampai ada yang membuatnya terjungkal dengan sekali hantam, maka orang itu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Siapa wanita gembel ini? Dan siapa pula laki-laki gembel yang bersamanya? Mungkin saja laki-laki itu mempunyai kepandaian yang setingkat dengan wanita ini? Bahkan mungkin lebih! Namun Sugala memang tak ingin ikut campur dalam urusan kakaknya yang pasti berbau mesum. Secepatnya dia berkelebat pergi meninggalkan tempat ini.
Sementara itu Tirta Janaka telah bangkit kembali dengan wajah geram. Pandangan matanya penuh nafsu membunuh.
"Gembel busuk! Akan kujahar kau sampai mampus!" dengus pemuda itu.
"Kaulah yang busuk, Keparat! Dan kau akan mati di tanganku dengan cara mengenaskan!" dengus wanita gembel yang tak lain Retno dengan suara dingin.
"Huh!" Tirta Janaka kembali mendengus dan bersiap menyerang. Kini jurus mautnya yang bernama 'Kepalan Iblis' siap digunakan.
"Yeaaa...!" Tirta Janaka meluruk dengan kedua tangan terkepal yang dihantamkan bertubi-tubi. Tapi Retno mudah sekali menghindarinya. Tubuhya bergerak ringan meliuk-liuk dan mencelat ke sana kemari. Kakinya seperti tidak berpijak di tanah.
Dalam satu kesempatan telapak tangan wanita itu menangkis kepalan Tirta Janaka.
Plak!
Tirta Janaka geram bukan main. Kepalannya yang mampu meremukkan kepala seekor banteng, ternyata di depan wanita itu sama sekali tak berarti apa-apa. Bahkan sedikit pun tubuh Retno tak bergeser. Dan ketika pemuda itu melayangkan kepalan yang satu lagi, wanita ini pun menangkisnya dengan cara sama. Sebaliknya dengan satu sentakan keras, Retno menangkap kedua pergelangan tangan Tirta Janaka.
Tap!
Lalu kedua kaki wanita ini bergerak cepat menghantam dada serta perut.
Duk! Des!
"Aaakh...!" Tirta Janaka kembali menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa tombak ke belakang. Bahkan sampai membentur tembok rumah dengan keras. Dari mulutnya menyembur darah segar. Pemuda itu meringis-ringis kesakitan dan terkulai lesu, karena tak mampu bangkit berdiri lagi.
"Itu permulaan yang bagus buatmu! Sekarang akan kau rasakan penderitaanmu yang lain!" desis Retno.
Langkah Retno terhenti ketika mendadak dari arah dalam rumah, berkelebat cepat sesosok tubuh. Dan tahu-tahu, sosok itu telah dekat dengan Tirta Janaka. Kini tampak jelas sosok itu. Dia adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun berbaju rapi. Sebagian rambutnya yang telah memutih digelung rapi ke atas. Sepasang matanya tajam, seperti menyiratkan perbawa kuat.
"Apa salah putraku sehingga kau tega melukainya?" sapa laki-laki itu dingin.
"Tanyakan pada peristiwa tujuh tahun Lalu di pinggiran Hutan Kemboja!" sahut wanita gembel itu masih, dingin.
"Pada saat itu kalian berkumpul di rumah Ardisoma!"
Orang tua yang tak lain ayah dari Tirta Janaka ini memandang tajam pada putranya.
"Coba jawab pertanyaannya, Tirta! Jelaskan padaku!" ujar laki-laki setengah baya itu.
"Aku..., aku tidak mengerti apa maksudnya. Ayah...," sahut Tirta Janaka dengan suara bergetar.
"Keparat busuk! Apakah kau hendak mungkir dari perbuatan bejad yang kau lakukan kepada salah seorang pembantu keluarga Ardisoma?! Apakah kau hendak mengingkari, bahwa kau telah memperkosanya bersama kawan-kawanmu?! Kau menyiksanya! Menyiksa suaminya! Lalu kau jebloskan suami istri itu ke sebuah jurang dalam. Masihkah kau hendak mengingkari perbuatan bejadmu?!" teriak Retno dengan sepasang mata melotot garang penuh terbakar dendam kebencian.
"Apa?! Oh, tidak! Tidak..! Itu tidak benar!" bantah Tirta Janaka dengan wajah kaget.
"Boleh saja kau berkilah. Tapi kedua orang itu masih hidup. Dan kini, tegak berdiri di depanmu!" dengus Retno.
"Kau? Kalian...?!" desis Tirta Janaka, seperti tak percaya dengan pandangannya. Pemuda ini memandang mereka berdua dengan sikap gugup, seperti hendak meyakinkan pandangannya.
"Tidak mungkin! Kalian sudah mati! Kalian sudah mati...!" teriak Tirta Janaka kalap.
"Itu memang keinginanmu. Tapi nyatanya nasib berkehendak lain. Dan kali ini kau yang mesti mati untuk menebus perbuatanmu itu!" desis Retno.
"Jadi benar apa yang dikatakannya, Tirta Janaka?" dengus laki-laki setengah baya, ayah Tirta Janaka.
"Tidak! Itu tidak benar. Ayah! Aku bahkan sama sekali tidak kenal dengan mereka!" elak pemuda itu dengan wajah bersungguh-sungguh.
Tapi percuma saja Tirta Jenaka berkilah untuk membela diri. Kata-katanya tadi sudah cukup beralasan kalau dirinya mengenali kedua gembel ini. Buktinya, dia mengatakan bahwa semestinya kedua gembel itu mati.
Wajah laki-laki setengah baya ayah dari Tirta Janaka kelihatan geram. Baru sekali ini ada yang terang-terangan mengadukan kebejatan budi pekerti putranya, setelah semua desas-desus yang didengar selama ini.
"Kisanak! Aku Ki Putut Denawa yang berjuluk Pendekar Budiman Bertangan Maut, akan bertanggung jawab penuh atas perbuatan putraku!" kata laki-laki setengah baya itu lantang, seraya memandang pada kedua suami istri berbaju pengemis itu.
"Aku ingin dia mati!" desis Retno.
"Aku akan menghukumnya sesuai keinginanmu!" sahut laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Putut Denawa alias Pendekar Budiman Bertangan Maut.
"Tidak! Bukan kau yang melakukannya. Tapi aku...," tukas Retno.
"Apakah kau tak percaya padaku? Akan kubuktikan saat ini juga!"
Bersamaan dengan itu Ki Putut Denawa mengangkat sebelah tangannya. Namun sejengkal lagi tangan itu mampir di kepala Tirta Janaka....
"Hiih!" Retno tidak tinggal diam. Seketika telapak tangan kirinya menghantam ke depan. Dan bersamaan dengan itu, terasa angin kencang mendesir keras.
"Heh?! Hup!" Ki Putut Denawa terkejut. Namun dia cepat melompat menghindarinya.
Bruak!
Akibatnya sungguh hebat. Dinding rumah Ki Putut Denawa yang terkena pukulan itu jebol hancur berantakan.
"Apa yang kau lakukan?!" desis laki-laki setengah baya itu tak habis pikir.
"Menurutmu, apa? Aku menginginkan kematiannya di tanganku! Dia akan kugantung di depanmu," bentak Retno.
"Kalaupun kau hendak menghukumnya, hukumlah dia. Tapi jangan di depanku...," sahut Ki Putut Denawa lemah.
"Ayah.... Apakah..., apakah kau benar-benar hendak membunuhku? Hendak menyerahkanku kepada mereka?" tanya Tirta Janaka, lirih.
"Kenapa tidak? Kesalahanmu telah kelewat batas. Dan tidak semestinya kau hidup untuk mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan bejadmu!"
"Tidak, Ayah! Jangan lakukan itu. Aku bersumpah tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk! Aku bertobat, Ayah! Aku bertobat!" ratap pemuda itu, sambil bersimpuh dan merangkul kaki ayahnya.
Ki Putut Denawa terdiam memandangi putranya. Untuk beberapa saat dia tak tahu mesti berbuat apa. Namun hati kecilnya memang tak ingin melihat kematian anaknya. Biar bagaimanapun, rasa sayangnya terhadap Tirta Janaka tak dapat menipunya. Dan kini Tirta Janaka bertobat mohon ampun. Lantas bila Tuhan saja adalah Maha Penerima Tobat, kenapa manusia justru tak saling memaafkan?
"Orang tua, serahkan dia padaku!" tegas Retno.
Ki Putut Denawa terdiam.
"Serahkan dia padaku untuk kugantung!" ulang wanita gembel itu menegaskan.
"Tidak, Ayah! Kau tidak boleh menyerahkanku padanya. Dia akan membunuhku. Padahal aku sudah bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk itu lagi! Kau harus melindungiku, Ayah!" ratap Tirta Janaka berulang-ulang.
"Serahkan dia padaku, Orang Tua! Atau, kau mesti menanggung perbuatannya!" bentak Retno garang.
Ki Putut Denawa memandang wanita itu dengan bola mata sayu.
"Setiap manusia punya nurani suci, karena pada dasarnya ditakdirkan untuk berbuat kebaikan. Karena Yang Maha Kuasa menghendaki kebaikan. Tidak heran kalau Dia amat pemaaf. Maka mengapa kita sebagai hambanya tidak memiliki sifat pemaaf...?" ujar Ki Putut Denawa lirih. Kalau tadi laki-laki setengah baya ini sangat ingin menghukum, namun begitu melihat ratapan Tirta Janaka, hatinya luluh juga.
"Serahkan putramu untuk kugantung! Atau kau akan menanggung akibat bersamanya?!" hardik Retno.
"Bukannya begitu, Nisanak. Lepas dia adalah anakku, setiap manusia berhak bertobat untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Tidakkah kau bisa memaafkannya?" kilah Ki Putut Denawa.
Wanita itu agaknya tidak sabaran. Melihat Ki Putut Denawa coba membujuk untuk menghalangi niatnya, maka dia sudah mengambil keputusan. Jelas, laki-laki setengah baya ini patut disingkirkan!
"Kau akan mati bersamanya!" desis wanita itu geram.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar, Retno langsung melompat menerjang. Tangannya langsung dikibaskan ke wajah Ki Putut Denawa. Namun Ki Putut Denawa cepat mengibaskan sebelah tangan menangkis.
Plak!
Betapa terkejutnya Pendekar Budiman Bertangan Maut begitu merasakan tangannya bergetar saat berbenturan. Belum lagi dia sempat berpikir, mendadak wanita itu telah melepas tendangan ke dada. Karuan saja, Ki Putut Denawa terpaksa melompat ke samping untuk menyelamatkan diri.
"Hiih!" Namun akibatnya justru Tirta Janaka yang menjadi sasaran ketika Retno melanjutkan serangan yang justru bukan ditujukan ke arah Ki Putut Denawa. Serangan itu berbelok, dan....
Prak!
"Aaa...!" Tak ayal lagi, pemuda itu memekik pelan, takkala tangan wanita itu menghantam kepalanya.
Batok kepala Tirta Janaka kontan retak. Pemuda itu memegang kepalanya. Tampak dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Tak lama, dia ambruk Sepasang matanya melotot, ketika nyawanya terbang meninggalkan raga.
"Tirta Janaka...?!" sentak Ki Putut Denawa dengan wajah kaget.
"Kakang! Tolong urus orang tua itu!" seru Retno ketika melihat Ki Putut Denawa menghampirinya dengan gusar.
"Jangan khawatir! Biar kubereskan dia!" sahut Barata.
"Heaaa...!" Barata tidak menunggu sampai Ki Putut Denawa menyerangnya. Dia langsung lompat menyerang.
"Hup!" Ki Putut Denawa mencelat ke belakang menghindari tendangan. Tapi Barata terus mengejar dengan tendangan berputar.
Mau tak mau Ki Putut Denawa terpaksa mengibaskan tangan, menangkis.
Plak!
"Hiih...!" Baru saja terjadi benturan, Barata sudah melanjutkan serangan berupa sapuan. Dengan gerakan cepat, Ki Putut Denawa melompat ke samping.
"Yeaaa...!" Barata terus mengejar dengan sebuah kibasan tangan menuju perut.
Namun Ki Putut Denawa kembali mengibaskan tangan untuk menangkis. Dia bermaksud membalas, namun Barata lebih cepat menyerangnya secara bertubi-tubi.
"Kurang ajar!" dengus Pendekar Budiman Bertangan Maut geram ketika melihat tendangan Barata nyaris meremukkan kepala.
"Ternyata kalian sungguh-sungguh hendak membunuhku, he?!"
"Syukurlah kalau memang kau telah sadar," sahut Barata singkat.
Ki Putut Denawa menggeram. Dibukanya jurus baru ketika melompat ke belakang untuk mengambil jarak. Sebuah jurus andalan yang selama ini amat dibanggakannya,
"Terimalah jurus 'Gelombang Selaksa Tangan' ini. Yeaaa...!" bentak Pendekar Budiman Bertangan Maut nyaring seraya melompat menerjang.
Kedua tangan Ki Putut Denawa bergerak lincah menyambar-nyambar menimbulkan desir angin cukup hebat. Dalam serangannya itu, seolah-olah kepalan tangannya menjadi berjumlah banyak, mengepung dari segala penjuru.
"Hiih!" Untuk sesaat Barata agak kerepotan. Tapi sejurus kemudian, tubuhnya telah bergerak lincah menangkis semua serangan dengan mantap. Bahkan begitu mendapat kesempatan, dia balas menyerang dengan gencar.
Tubuh Barata melenting melewati kepala Ki Putut Denawa dengan gerakan cepat bukan main. Dan sebelum Pendekar Budiman Bertangan Maut berbalik, Barata telah melepaskan tendangan ke belakang yang begitu keras.
Duk!
"Aaakh...!" Ki Putut Denawa mengeluh tertahan ketika punggungnya terhajar tendangan keras. Namun Pendekar Budiman Bertangan Maut cepat melompat ke depan sambil berjumpalitan beberapa kali. Sedangkan begitu menjejak tanah, Barata langsung berbalik. Tanpa memberi kesempatan, dia segera mengejar, dengan sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi.
"Hiih!" Bukan main terkejutnya Ki Putut Denawa. Sebisa-bisanya tangannya mengibas menangkis.
Plak!
Namun begitu terjadi benturan, Barata telah melepas tendangan ke perut.
Desss...!
"Aaakh...!" Bahkan kemudian pengemis itu menyusuli dengan sodokan tendangan keras ke dada.
Desss...!
"Aaakh...!" Kembali Pendekar Budiman Bertangan Maut terpekik. Tubuhnya melayang seperti gedebong pi-sang ambruk. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Retno! Kau sudah selesai dengan urusanmu?!" teriak Barata lantang ketika melihat istrinya telah menjerat leher korbannya dengan seutas tambang.
"Sudah, Kakang! Sekarang bagianmu!" sahut istrinya seraya melemparkan seutas tambang yang lain.
Barata menangkap tambang dengan sigap. Kemudian bibirnya menyeringai buas kepada Ki Putut Denawa yang tengah megap-megap tak berdaya.
"Mestinya kau tidak mengalami ini kalau berpikir waras. Tapi ternyata kau memang sama saja dengan putramu, sehingga nasibmu pun akan sama dengannya!" desis Barata.
Ki Putut Denawa tak menjawab, namun berusaha untuk duduk. Barata menghampiri, lalu menjambak rambut kepala Pendekar Budiman Bertangan Maut.
"Huh...!"
"Aaakh...!" Barata lantas menghadapkan wajah Ki Putut Denawa ke arah Tirta Janaka yang telah tewas tergantung di cabang pohon dengan rumahnya.
"Kau harus lihat kematian anakmu!" dengus Retno ketika Retno telah selesai dengan tugasnya.
"Ohhh...!" Ki Putut Denawa terkulai lesu sambil mengeluh pilu. Bagaimanapun Tirta Janaka adalah putranya. Darah dagingnya sendiri. Mana mungkin dia tega melihat anaknya diperlakukan demikian rupa? Tapi begitu muka berpaling, Barata menghadapinya kembali dengan sentakan keras.
"Dia merupakan bagian dosamu! Kau bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka, lihatlah kematiannya sebelum kau mati dengan cara sama!"
"Biadab! Kalian benar-benar biadab...!" umpat Pendekar Budiman Bertangan Maut geram.
"Aku tidak menyuruhmu memaki, Bangsat!" Begitu kata-katanya habis, Barata langsung menjeratkan tambang di tangannya, menjerat leher Ki Putut Denawa.
"Eekh!" Ki Putut Denawa menjerit pendek, kemudian terkulai lesu ketika nyawanya melayang dari tubuh.
Barata langsung menyeret tubuh Pendekar Budiman Bertangan Maut kemudian menggantungnya di sebelah Tirta Janaka.
"Huh! Itu akibatnya kalau melindungi anak biadab!" dengus Retno.
"Apakah kau senang, Sayang?" tanya Barata, setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Belum tuntas, Kakang. Masih ada tiga lagi."
"Ya, aku tahu. Bagaimana dengan putranya yang seorang lagi?"
"Dia telah melarikan diri...."
"Aku bisa mengejarnya kalau kau mau?"
"Tidak perlu. Dia lari menghindar, itu sudah cukup membuktikan kalau tidak mau terlibat urusan ini. Untuk apa kita mengejarnya? Lagi pula sempat kudengar awal pertarungan mereka tadi. Dia pun rupanya mengutuk perbuatan kakaknya itu.
"Baiklah kalau memang demikian keinginanmu.....
"Lebih baik kita bereskan tiga orang yang tersisa. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Barata.***
KAMU SEDANG MEMBACA
182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang Gembel
ActionSerial ke 182. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.