BAGIAN 6

104 9 0
                                    

Kematian Ki Putut Denawa yang mengenaskan, benar-benar membuat dunia persilatan gempar. Terutama bagi kawan-kawan seangkatan Pendekar Budiman Bertangan Maut itu sendiri. Memang tak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan istri Ki Putut Denawa sendiri baru tahu pada pagi harinya karena baru kembali dari bepergian.
Kebetulan pada pagi harinya, Adiguna yang diutus oleh ayahnya, Ki Genduk Mani untuk mengabarkan kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto, telah sampai pula di rumah Ki Putut Denawa. Dan ternyata laki-laki setengah baya yang juga kawan seperjuangan Ki Genduk Mani itu telah tewas. Hal ini tentu saja membuat Adiguna dan rombongannya terkejut.
Mereka hanya sebentar di sana. Setelah itu dalam pemakaman Ki Putut Denawa, sebagian rombongan kembali pulang. Sementara sebagian lain, melanjutkan perjalanan menuju seorang sahabat Ki Genduk Mani yang bemama Ki Jaladara.
Sepanjang perjalanan, rombongan yang dipimpin Adiguna lebih banyak diam. Terlebih-lebih pemuda itu. Hatinya merasa ngeri mendengar kejadian yang menimpa dua sahabatnya, Joko Gending dan Tirta Janaka.
"Kenapa mesti mereka?" gumam Adiguna tak sabar.
"Kenapa, Kang?" tanya salah seorang pemuda anak buah Ki Genduk Mani ayahnya, yang berada di dekatnya.
"Eh! Tidak apa-apa, Bujana!" elak Adiguna.
"Kakang masih memikirkan kejadian yang menimpa keluarga Ki Putut Denawa?" tanya pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun bemama Bujana itu.
"Ya, sedikit..."
"Memang. Mengerikan sekali! Menurut Kakang, apakah pelakunya sama dengan yang menimpa keluarga Ki Danang?" tanya Bujana, ingin tahu.
"Mungkin juga...," desah Adiguna.
"Tapi kenapa mesti mereka? Keduanya adalah kawan-kawan dekat Ki Genduk Mani...."
"Jangan tanyakan itu, Bujana! Mana aku tahu!" sahut Adiguna dengan suara tinggi.
Bujana terdiam. Dia tidak tahu perubahan apa yang menyebabkan Adiguna tiba-tiba saja seperti enggan membicarakan soal itu. Sehingga untuk begitu beberapa saat, mereka kembali terdiam. Begitu juga empat orang pemuda yang menyertai mereka. Di tengah keheningan mereka, mendadak....
"Hehehe...! Dua orang mati percuma! Dua orang mampus karena perbuatan bejad anaknya! Rasakan!"
Tiba-tiba saja terdengar suara bernada mengejek, yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah berdiri di depan rombongan Adiguna. Namun bukan pemandangan itu yang membuat Adiguna terkejut. Tetapi isi kata-kata sosok yang ternyata seorang laki-laki tua berpakaian pengemis yang menyentak hatinya.
"Kenapa, Kang?" tanya Bujana melihat keterkejutan di wajah Adiguna.
"Hm.... Mungkin ini yang disebut adikku...," sahut Adiguna setengah bergumam.
"Pengemis Sinting?" tebak Bujana.
Adiguna mengangguk.
"Dua telah mampus. Dan tiga lainnya akan menyusul! Hehehe...! Manusia bejad memang mestinya mampus. Mereka yang berdiri di atas penderitaan orang lain!" lanjut sosok pengemis tua yang tak lain memang Pengemis Sinting.
Entah kenapa, Adiguna merasa kalau kata-kata laki-laki tua itu ditujukan padanya. Maka wajahnya kelihatan geram bercampur kesal. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat peristiwa yang diceritakan Wiraguna. Kalau benar pengemis ini yang diceritakannya sebagai si Pengemis Sinting, maka percuma saja mencari gara-gara.
"Hei? Kenapa kau memandangku begitu rupa? Apa kau kesal melihatku mengoceh sendiri?!"
Tiba-tiba Adiguna yang menatap tajam ke arahnya.
"Maafkan aku, Kisanak...," ucap Adiguna, tersentak.
"Aku bukan sanak keluargamu, Setan! Enak saja kau menganggapku sebagai sanak keluargamu!" tukas Pengemis Sinting, membentak garang.
"Lalu aku mesti memanggilmu apa?" tanya Adiguna heran.
"Kau lihat aku sebagai apa?!"
"Eh! Pe..., pengemis," sahut pemuda itu ragu.
"Nah! Cukup kau memanggilku begitu!"
"Pengemis?"
"Iya! Kenapa?!" tukas pengemis itu sambil melotot lebar.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa."
"Jadi kenapa kau memandangiku? Apa kau kira ada yang aneh padaku?!"
"Eh, tidak. Aku..., aku hanya senang dengan syairmu...."
"Kunyuk! Siapa bilang itu syair? Aku hanya mengoceh sendirian!"
"Mengoceh? Tapi ocehanmu bagus!" puji Adiguna lagi.
"Ya! Bagus karena aku mengoceh tentang dua orang bejad yang sudah mampus!"
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Adiguna, ingin tahu meski mengerti siapa yang dimaksudkan pengemis itu.
"Kau sudah tahu, kenapa tanya-tanya segala?!"
"Apakah Ki Danang dan Ki Putut Denawa?"
"Ya, mereka juga! Hehehe...! Dasar orang tua tidak tahu diri! Sudah tahu anaknya bejad, malah melindunginya!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa-tawa sendirian.
Dan ocehan pengemis itu semakin jelas tujuannya, membuat Adiguna jadi tidak enak hati. Jangan-jangan Pengemis Sinting mengetahui kelakuannya pula.
"Orang-orang bejad akan menerima balasan atau perbuatan mereka!" lanjut Pengemis Sinting.
"Maaf, Pengemis! Kami tengah mengadakan perjalanan. Harap kau tidak tersinggung bila kami berangkat lebih dulu," ucap Adiguna, buru-buru memotong.
"Hehehe...! Silakan! Silakan saja. Tapi kau mesti hati-hati, Anak Muda!" ingat Pengemis Sinting.
"Apa maksudmu?"
"Orang-orang itu mengincar pemuda-pemuda bejad! Kalau merasa dirimu bejad, maka kau pun akan diincarnya! Hahaha...!" Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat cepat meninggalkan mereka.
"Dasar pengemis gila!" umpat Adiguna setelah Pengemis Sinting cukup jauh darinya.
Tapi bagaimana pun ucapan pengemis itu membekas di hati pemuda ini. Dan itu membuatnya jadi tidak tenang!

182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang GembelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang