"Dari mana kau peroleh berita itu, Wiraguna?"
Suara bernada pertanyaan itu ditujukan buat Wiraguna, yang baru saja tiba di rumah bersama Caraka. Langsung diceritakannya kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto dan anaknya yang bernama Joko Gending pada ayahnya yang tak lain Ki Genduk Mani.
Wajah laki-laki tua ayah dari Wiraguna itu terlihat terkejut. Sepertinya dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Ki Genduk Mani kembali terdiam. Dahinya berkerut. Sementara kedua tangannya terkepal menandakan kalau tengah menahan amarahnya yang hendak menggelegak.
"Terkutuk!" desis laki-laki berusia sekitar enam puluh tiga tahun itu, geram.
Sementara itu orang yang ada dalam ruangan ini terdiam. Dan ketika Ki Genduk Mani memandang mereka satu persatu, seolah-olah orang-orang itu siap menerima perintah.
"Wiraguna.... Tahukah kau siapa yang melakukan hal itu pada mereka?" tanya Ki Gending Mani.
"Sayang sekali, Ayah. Tidak ada yang mengetahuinya...," desah Wiraguna.
"Kau katakan para pengawalnya banyak yang hidup?"
"Mayat mereka tidak ditemukan di sana, Ayah...."
"Mungkin mereka lari menyelamatkan diri, saat terjadi pembunuhan terhadap majikan mereka."
"Mungkin begitu...."
"Ki Danang Mangkuto adalah sahabatku. Maka kematiannya akan kuusut sampai ke mana pun!" desis Ki Genduk Mani yang dikenal dengan julukan si Gelang Maut.
"Apa yang mesti kita lakukan Ayah?" tanya Wiraguna.
"Kerahkan orang-orang kita untuk mencari para pengawal Ki Danang Mangkuto. Bujuk mereka untuk memberitahu, siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan putranya," ujar Ki Genduk Mani.
"Ayah! Mengapa kita mesti repot-repot mengurusi persoalan orang lain?" tanya salah seorang anak muda, yang juga anak Ki Genduk Mani.
"Dia sahabatku, Wirabrata!" sahut Ki Genduk Mani menekankan.
"Kalau kita yang mengalami kejadian ini, apakah Ayah kira mereka akan berbuat sama?!" lanjut pemuda yang dipanggil Wirabrata, merasa kurang senang atas sikap ayahnya.
"Lepas apakah dia sahabatku, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk tolong-menolong. Bila merasa direpotkan, kau boleh diam di rumah. Biar yang lain mengadakan pencarian!" jawab orang tua itu, menegaskan.
Mendengar keputusan itu Wirabrata yang merupakan putra kedua Ki Genduk Mani tidak berkata apa-apa lagi. Mau tidak mau, dia terpaksa tunduk pada keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya.
"Aku tidak memaksakan kepada kalian. Tapi seperti yang tadi kukatakan, kewajiban kita adalah tolong-menolong. Maka kuminta kalian mengikuti Wiraguna untuk mengadakan pencarian terhadap para pengawal almarhum Ki Danang Mangkuto," ujar Ki Genduk Mani.
"Kenapa mesti Wiraguna? Aku pun bisa!" cetus seorang pemuda lain. Dia adalah anak tertua Ki Genduk Mani.
"Benar, Adiguna! Itu kalau kau tidak punya tugas lain!" sahut orang tua itu.
"Aku memang tidak punya tugas lain, Ayah," jawab pemuda bernama Adiguna itu.
"Tidak! Kau kutugaskan pergi menemui sahabat-sahabat Ayah lainnya untuk menceritakan peristiwa ini kepada mereka."
"Kenapa mesti aku? Bukankah itu bisa dikerjakan Wiraguna?"
"Aku telah memutuskan, Adiguna! Apakah kau hendak menolaknya?" tukas orang tua itu tajam.
Adiguna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam pikirannya, pekerjaan yang diberikan kepadanya terlalu ringan. Bahkan bocah kecil pun mampu melakukannya. Sedangkan tugas yang diberikan pada Wiraguna tergolong agak lumayan. Dia menyangka ayahnya meremehkan kemampuannya. Dan hal itu tidak bisa diterima karena Wiraguna adalah adiknya. Bukankah semestinya seorang kakak yang mesti melakukan tugas-tugas berat?
Tapi yang ada di benak Ki Genduk Mani tidak demikian. Dia tahu, di antara kelima putranya hanya Wiraguna yang bisa diandalkan. Ketimbang saudara-saudaranya, Wiraguna yang paling rajin berlatih. Sehingga ilmu olah kanuragannya bisa dibanggakan. Pemuda itu juga cerdas dan tidak mudah putus asa. Persoalan ini penting baginya.
Maka bila Adiguna yang dipilihnya untuk tugas pencarian, mungkin saja akan putus asa setelah beberapa kali dicari ternyata para pengawal Ki Danang Mangkuto tidak kunjung ditemui. Lain halnya Wiraguna. Dia amat patuh menjalankan perintah. Bahkan jarang kembali bila yang dicarinya belum berhasil ditemui.
"Kapan bisa kulaksanakan tugas itu, Ayah?" tanya Wiraguna ketika ruangan itu hening untuk beberapa saat.
"Kapan kau sanggup berangkat?"
"Besok pagi-pagi sekali, Ayah!" sahut pemuda itu mantap.
"Baik! Bawalah beberapa orang bersamamu."
Wiraguna mengangguk.
"Baiklah. Kalian boleh pergi semua!" tandas orang tua itu.
"Eh! Sebentar, Ayah! Mungkin ini ada artinya buat kita!" sambung Wiraguna.
"Apa?"
"Dalam perjalanan pulang, kami bertemu seseorang. Ayah mungkin tidak percaya. Tapi aku yakin pasti dia orangnya," sahut Wiraguna, menjelaskan.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Ki Genduk Mani.
"Pengemis Sinting!"
"Pengemis Sinting?!"
Ki Genduk Mani terkejut mendengar nama itu disebutkan.
"Apa yang dilakukannya terhadap kalian?" lanjut orang tua ini.
Wiraguna kemudian menceritakan pengalaman mereka bertemu dengan si Pengemis Sinting.
"Bagaimana, Ayah? Apakah kira-kira dia tersangkut paut dalam urusan ini?" Tanya Wiraguna.
"Sepengetahuanku, Ki Danang Mangkuto tidak bermusuhan dengannya. Lagi pula, Pengemis Sinting tidak akan membunuh sembarangan. Tapi entah juga. Siapa tahu dia berubah pikiran. Kirim beberapa orang untuk mengawasinya di sekitar wilayah kita!" jelas Ki Genduk Mani.
"Baik, Ayah!"***
Seorang pemuda berdiri tegak mematung di depan rumahnya yang tak begitu besar. Angin malam yang dingin lembut mengusap-usap kulit tubuhnya.
Sejenak kepalanya mendongak, memandang ke langit. Bintang-bintang tertutup awan. Dan langit terlihat pekat. Cahaya bulan tidak terlihat sedikit pun.
"Hei?!" Wajah pemuda ini seketika tegang ketika melihat satu sosok tubuh melompati pagar dengan gerakan ringan. Lalu sosok itu berjalan tenang, memasuki halaman rumah.
"Sugala! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?" sapa pemuda ini seraya menghela napas lega, begitu mengenali siapa yang datang.
Sementara sosok yang ternyata seorang pemuda tersentak kaget, begitu namanya disebut.
"Kakang Tirta Janaka! Kau ada di sini? Kenapa belum tidur?" pemuda yang dipanggil Sugala malah balik bertanya.
Pemuda berambut pendek yang dipanggil Tirta Janaka itu menghela napas sebentar sebelum menjawab.
"Aku belum mengantuk. Dan kau? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Tirta Janaka, yang berusia tiga tahun di atas Sugala.
"Apa lagi?!" sahut Sugala sambil tersenyum lebar.
"Mendatangi gadis itu lagi?" tebak Tirta Janaka.
Sugala mengangguk.
"Dia tak suka padamu. Kenapa kau masih mengejar-ngejarnya juga?"
"Bukan dia. Tapi orang tuanya!" jelas Sugala.
"Sama saja! Dia patuh pada orangtuanya. Dan berarti, dia tidak akan suka padamu," sergah Tirta Janaka.
"Aku cuma heran...."
"Kenapa?"
"Kita orang terpandang. Dan kekayaan pun tidak kurang. Kenapa orang tuanya begitu benci pada keluarga kita?"
"Bukan pada keluarga kita. Tapi kepadamu!" sahut Tirta Janaka, seperti meralat Sugala tersenyum.
"Kalau aku katakan sesuatu, apakah kakang akan marah?" tanya Sugala.
"Kau mau katakan apa? Katakanlah!" ujar Tirta Janaka.
"Sejujumya kukatakan, mereka sebenarnya bukan benci kepada keluarga kita...."
"Apa kataku! Mereka hanya tidak suka padamu, sehingga keluarga kita dijadikan sasaran kebencian pula!" tukas Tirta Janaka.
"Kau salah, Kakang! Mereka justru benci padamu!" sahut Sugala, dingin.
"He, apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura, Kakang! Apa sebenarnya yang telah kau lakukan terhadap gadis-gadis di desa ini? Mereka semua benci kepadamu, karena kau sering mempermainkan gadis-gadis itu. Bahkan kepada istri orang pun kau berani mengganggu. Dan yang lebih membuatku malu, kau justru pernah memperkosa mereka!" berondong Sugala, berapi-api.
"Sugala! Tutup mulutmu yang kotor itu! Jangan kau lemparkan tuduhan busuk itu padaku!" bentak Tirta Janaka garang.
"Itu bukan tuduhan busuk. Tapi kau sendiri yang busuk! Kau dan segala kelakuanmu yang busuk, sehingga mencemarkan nama baik keluarga!" dengus Sugala sengit.
Pertengkaran berlanjut. Dan amarah Tirta Janaka pun tak tertahankan lagi. Langsung adiknya dihajar dengan satu tendangan keras ke arah dada.
Wut!
Namun Sugala cepat melompat ke kanan. Ditangkisnya tendangan itu dengan tangan kiri.
Plak! Tap!
Bahkan Sugala menangkap pergelangan kaki Tirta Janaka, lalu sekuat tenaga didorongkannya ke belakang.
"Hup!" Tirta Janaka memang terjungkal ke belakang. Namun dengan gesit dia berkoprol, lalu mendarat mulus. Wajahnya kelihatan semakin berang melihat kelakuan adiknya.
"Bagus! Kau sudah mulai berani melawanku, ya?" desis Tirta Janaka.
"Kau yang memulainya, Kakang!" sentak Sugala.
"Tidak usah banyak bicara! Ayo! Ingin kulihat, sampai di mana kemajuanmu sekarang!" dengus Tirta Janaka geram.
"Kau anak manja dan selalu disayangi ayah, sehingga beliau lupa bahwa kelakuanmu sudah kelewat batas! Kau cemarkan nama keluarga! Kau siram wajah ayah dengan segala perbuatan-perbuatan bejadmu!" tuding Sugala geram.
"Yeaaa...!"
Begitu kata-kata Sugala habis, Tirta Janaka yang tidak mau banyak bicara lagi segera melepas tendangan mautnya ke dada. Tapi Sugala meladeninya dengan tangkisan-tangkisan mantap. Beberapa kali serangan Tirta Janaka dapat dipatahkannya. Dan ini membuat kakaknya semakin geram saja.
"Hiih!" Mendadak Tirta Janaka bergulingan di tanah. Begitu bangkit kedua tangannya segera dihantamkan secara bersamaan.
"Uts!" Sugala melompat ke belakang.
"Hei?! Kau hendak membunuhku dengan jurus 'Kepalan Iblis', Kakang?" seru Sugala, cukup kaget juga.***
KAMU SEDANG MEMBACA
182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang Gembel
AzioneSerial ke 182. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.