Bratasena mendongak seraya memandang ayahnya. Wajahnya sedikit kaget. Setelah sekian tahun peristiwa itu berLalu tiba-tiba saja ayahnya menanyakan kembali. Tapi dalam sekejap, rona wajahnya berubah. Sikapnya berusaha dibuat setenang mungkin.
"Eh! Kenapa tiba-tiba Ayah menanyakan itu?" tanya Bratasena, pura-pura.
"Seperti yang kukatakan, tiba-tiba saja hal itu mengganggu pikiran. Dan aku ingin tahu, apakah kau berkata benar atau tidak," sahut Ki Ardisoma kalem.
Bratasena tidak langsung menjawab. Matanya melirik sejenak kepada Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia merasa yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini punya andil, sehingga ayahnya mengajukan pertanyaan yang tidak disukainya!
"Apakah Ayah tidak mempercayai laporanku?" tukas Bratasena.
"Bukan begitu.... Hanya sekadar meyakinkan."
"Mereka benar-benar lolos dari pengejaranku."
"Kau tahu mereka tidak punya ilmu kedigdayaan? Rasanya kurang masuk akal kalau kau tidak mampu meringkus mereka?"
"Saat itu mereka menuju ke selatan. Seperti Ayah ketahui, di wilayah itu terdapat banyak jurang. Mungkin saja mereka terperosok ke dalam dan mati," kilah Bratasena.
"Apakah menurutmu mereka mati?" tanya Rangga, setelah Ki Ardisoma memberi isyarat agar melanjutkan pertanyaan pada putranya itu.
"Kurasa begitu...," sahut Bratasena enggan.
"Tahukah kau, bahwa mereka masih hidup hingga kini?"
"Apa?! Mereka masih hidup? Tidak mungkin!"
Mendadak terlihat perubahan wajah Bratasena. Dia langsung memandang Rangga serta Ki Ardisoma berganti-ganti. Tapi tiba-tiba saja kekeliruannya disadari dan berusaha memperbaiki sikap.
"Eh! Mereka masih hidup? Oh, syukurlah! Apakah kau tahu di mana mereka sekarang?" tanya Bratasena, buru-buru.
"Tidak. Tapi mereka akan datang ke sini menemuimu. Katanya ada persoalan yang perlu diselesaikan. Kau mungkin tahu persoalan apa itu?" sahut Rangga, memancing.
"Mungkin saja mereka menyadari kekeliruannya, dan ingin minta maaf."
"Minta maaf?"
"Ya! Apakah ayahku tidak bercerita? Mereka kabur dari rumah karena mencuri barang berharga milik keluarga kami!" sentak Bratasena.
"O, begitu!" Rangga mengangguk.
"Tahukah kau bahwa Barata dan Retno juga mendatangi kawanmu si Joko Gending dan Tirta Janaka? Dan mereka mati setelah mendapat kunjungannya."
"Apa? Maksudmu..., Barata dan Retno adalah si pembunuh itu?!" tanya Bratasena kembali dengan wajah kaget.
"Aku tidak berkata begitu. Tapi mungkin saja mereka yang melakukannya...."
"Tidak mungkin! Mereka sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan!"
"Itu dulu. Tapi sekarang mereka telah menjadi tokoh hebat," sergah Rangga.
"Jadi..., jadi mereka yang membunuh Joko Gending dan Tirta Janaka?" gumam Bratasena lirih dengan wajah tak percaya.
"Mungkin tidak, tapi mungkin juga iya."
Bratasena tidak menjawab. Dia terdiam untuk sejurus lamanya.
"Kenapa, Bratasena? Apakah persoalan ini mengganggumu?" tanya Ki Ardisoma.
"Eh, apa? Oh, tidak! Tidak, Ayah...!" sahut Bratasena tergagap.
"Lalu kenapa termenung?" cecar Ki Ardisoma.
"Eh! Aku cuma kasihan pada nasib mereka...," kilah pemuda ini.
"Kau tidak perlu mengasihani mereka. Tapi sebaiknya kasihani nasibmu sendiri!" timpal Rangga.
"Apa maksudmu, Rangga?"
"Mungkin saja nasibmu tidak berbeda dengan kedua kawanmu."
"Kenapa kau berkata begitu? Kita belum lama kenal. Dan tiba-tiba saja, kau menginginkan kematianku!" dengus Bratasena geram.
"Untuk apa aku menginginkan kematianmu?!" sahut Rangga kalem.
"Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya begitu. Kau bukan orang jujur, karena kepada orangtuamu sendiri kau tega berdusta!"
"Dusta apa yang kuperbuat? Buktikan omonganmu!"
"Mereka tidak punya ilmu olah kanuragan. Sedangkan kau sebenarnya bisa dengan mudah meringkusnya, tapi tidak kau lakukan. Dan yang paling penting, kau takut akan kehadiran mereka di sini!" sahut Rangga, seraya tersenyum dingin.
"Siapa bilang?! Bawa mereka ke sini. Dan akan kusuruh mereka minta maaf atas kesalahan yang diperbuat!" sentak Bratasena.
"Jangan sombong, Bratasena! Bila mereka datang, maka saat itulah persoalan jadi terang. Nah, aku mohon diri!" sahut Rangga seraya bangkit dan memberi salam hormat kepada pemilik rumah. Lalu kakinya melangkah pergi.
"Rangga, tunggu dulu!" tahan Ki Ardisoma, seraya mengejar pemuda itu.
"Maaf, Ki Ardisoma! Aku tidak bisa membantumu!" sahut Rangga tanpa menghentikan langkahnya.
"Tapi Rangga...."
Suara Ki Ardisoma terhenti ketika mendengar suara gaduh dari belakang rumahnya. Secepat kilat laki-laki tua itu melesat kebelakang. Tampak Bratasena telah bertarung melawan satu sosok berpakaian pengemis. Sedangkan sosok lainnya yang juga berpakaian pengemis tetap berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap, terkepung oleh anak buah Ki Ardisoma.
Yang muncul adalah dua orang bertubuh kurus. Dan samar-samar Ki Ardisoma mengenali mereka berdua, walaupun berpakaian seperti itu.
"Barata dan..., Retno!" desis laki-laki tua ini.
Ki Ardisoma tak tahu mesti berbuat apa. Tampak wanita yang bernama Retno tengah bertarung melawan Bratasena. Sementara anak buahnya telah mengurung Barata. Bahkan beberapa orang telah menyerangnya.
"Hehehe...! Anjing-anjing buduk! Kalian lebih baik memilih mati ketimbang meladeni majikan bejat?!" ejek laki-laki berpakaian dekil yang memang Barata.
"Barata! Aku tahu memang kau orangnya!" sahut salah seorang pengeroyok.
"Pergilah dari sini. Majikanku telah mengusir kalian!"
"Hehehe...! Memang betul, Seno. Tapi aku kemari untuk menagih hutang kepada majikan muda kalian. Makanya jangan ikut campur kalau kalian ingin selamat!" sahut Barata.
"Kami digaji untuk melindungi mereka. Jangan sembarangan kau bicara! Dulu saja aku tidak takut padamu. Dan sekarang masih tetap sama. Kuperingatkan padamu, jangan main gila di sini!" tandas anak buah Ki Ardisoma yang dipanggil Seno.
"Huh! Dasar tidak tahu diri!" dengus Barata.
"Aku telah memberi peringatan. Dan kalian tidak mematuhinya. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"
Seno tidak bisa menjawab karena saat itu juga Barata langsung membuktikan kata-katanya. Tubuhnya berkelebat cepat dengan kedua telapak tangan bergerak menghantam dua lawan terdekat, termasuk Seno.
Begkh! Des!
"Aaakh...!"
Mereka kontan tersungkur ke belakang sambil menyemburkan darah segar. Lalu ketika Barata kembali berkelebat, dan dalam waktu singkat tiga lain menyusul. Barata mengamuk dahsyat dan tidak tertahankan oleh semua pengeroyoknya. Hingga tak seorang pun yang mampu bangkit lagi.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti yang tadi sudah berada di luar telah mencelat ke atas atap rumah Ki Ardisoma. Dari atap dia memperhatikan jalannya pertarungan, Rangga tak ingin buru-buru turun tangan, sebelum tahu benar duduk permasalahannya. Dia tak ingin bertindak gegabah dengan menjatuhkan tangan pada orang yang belum tentu bersalah.
Berdasarkan pengamatan Pendekar Rajawali Sakti, semua yang terjadi bermula dari dendam. Besar dugaan kalau anak Ki Ardisoma telah menyembunyikan suatu rahasia, Rangga yakin itu.
Lantas buat apa sepasang suami istri menuntut balas, kalau sebelumnya tak pernah disakiti? Pastil Pasti suami istri bernama Barata dan Retno yang dulu bekerja di rumah Ki Ardisoma ini, telah dianiaya oleh Bratasena. Dan mereka lantas menuntut balas.
Kalau sudah urusan dendam yang tak ada sangkut pautnya dengan ketenteraman dunia persilatan, apakah Rangga mesti turun tangan? Apalagi tak terdengar kabar kalau Barata dan Retno membunuhi orang-orang lemah tak berdaya. Jelas keduanya bukan tokoh sesat. Ini hanya urusan dendam lama semata, dari sepasang pengemis. Dan rasanya Rangga tak mau melibatkan diri. Itulah sebabnya dia terang-terangan menolak memberi bantuan pada Ki Ardisoma.
Desss...!
"Aaakh...!"
Pada saat yang bersamaan, Retno berhasil mendaratkan hantaman kaki ke dada Bratasena. Pemuda itu terjungkal roboh. Dari mulutnya muncrat darah segar. Ketika berusaha bangkit, wanita pengemis itu telah berada didekatnya. Langsung dijeratnya leher Bratasena dengan seutas tambang yang selalu dibawa.
"Eekh...!"
"Tahan!" teriak Ki Ardisoma melihat anaknya menjerit pendek.
"Huh! Apa kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma yang terhomat?!" dengus Retno.
"Retno! Persoalan ini belum jelas betul. Dan tiba-tiba saja, kalian datang mengamuk...," sergah Ki Ardisoma.
"Kenapa tidak kau tanyakan padanya?!" dengus wanita itu seraya menghadapkan wajah Bratasena yang masih dijerat ke hadapan ayahnya.
"Dia hanya mengatakan, bahwa kalian melarikan barang-barang berharga milik keluarga kami...," kata Ki Ardisoma.
"Apa? Begitukah? Coba dengar, Kakang! Betapa hebatnya laporan majikan muda kita pada ayahnya!" kata Retno seraya menoleh pada suaminya.
"Hahaha...! Hebat sekali!" sahut Barata sambil tertawa keras.
"Bagus, Juragan Ardisoma! Kau mempunyai anak hebat. Setelah menggilir istriku bersama kawan-kawannya, lalu menyiksaku dan membuang kami ke dalam jurang, enak saja dia melaporkan kalau kami mencuri barang-barang milikmu. Meski miskin, kami tidak pernah mencuri sedikit pun dari kalian!" Suara Barata melengking nyaring penuh dendam.
"Apa?! Benarkah begitu?!" sentak Ki Ardisoma, seperti tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya.
"Tanyakan saja padanya!" dengus Retno, seraya menginjak punggung Bratasena.
Buk!
"Aaakh...!" Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika Retno menekan punggungnya.
"Katakan pada ayahmu, Bangsat! Katakan apa yang telah kau perbuat kepadaku bersama kawan-kawanmu!" bentak Retno, sambiil menghantamkan punggung Bratasena.
"Tidak! Kau tidak boleh berbuat begitu padanya!" bentak Ki Ardisoma, merasakan pilu mendengar jerit kesakitan Bratasena.
"He, kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma?!" dengus Retno. Pandangan matanya tajam dengan sikap mengancam.
"Aku tidak bersalah, Ayah! Apa yang mereka katakan dusta belaka! Aku..., eekh...!" teriak Bratasena terhenti, ketika tali yang menjerat lehernya semakin kuat.
Sepasang mata pemuda ini mendelik garang. Mulutnya terbuka lebar. Urat di sekujur wajahnya menegang menahan rasa sakit hebat
"Hup!"
Ki Ardisoma yang semula terdiam mendengar teguran Retno, tergugah juga hatinya melihat putranya mendapat siksaan begitu rupa di depan batang hidungnya sendiri. Maka semangatnya segera dikempos hendak membantu. Namun sebelum tubuhnya sampai....
"Hehehe...!"
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang diikuti sesosok tubuh kurus berkelebat cepat memapaki serangannya.
Plak!
Ki Ardisoma terkesiap. Gerakan sosok itu cepat bukan main. Bahkan tahu-tahu kaki sosok itu telah lebih menghantam dadanya.
Duk!
"Aaakh...!" Ki Ardisoma mengeluh tertahan dan terjajar kebelakang. Masih untung dia mampu menguasai diri, sehingga bisa menjejakkan kakinya dengan mulus di permukaan tanah di belakangnya sejauh kurang lebih lima langkah.
"He, Pengemis Sinting! Ini urusan pribadi kami. Untuk apa kau ikut campur?!" seru Ki Ardisoma, ketika mengetahui siapa penghadangnya.
"Kalau sudah menyangkut mereka, maka menjadi urusanku pula!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.
Sementara itu ketika melihat kehadiran Pengemis Sinting, Barata langsung memberi hormat. Demikian pula Retno, tanpa melepaskan tawanya.
"Hormat kami, Paman Guru!" ucap Barata dan Retno hampir berbareng.
"Hm, pantas! Rupanya mereka murid keponakanmu. Tapi meski begitu, kau tidak tahu-menahu persoalan ini. Dan kuharap jangan membela secara membabi buta," desis Ki Ardisoma.
"Kata siapa aku tidak tahu? Ketika aku menggunjungi saudara seperguruanku yang berjuluk Naga Langit, Barata dan Retno kutemukan di sana. Suadaraku bercerita, kalau kedua muridnya ini diselamatkannya dari kematian, ketika mereka terjatuh dari jurang. Kemudian aku mendengar lebih lanjut pengalaman mereka yang menyeramkan. Khususnya apa yang dialami Retno. Maka kujaga mereka dari siapa saja yang hendak mencelakai, agar bisa menuntut balas kepada siapa saja yang telah menganiaya," jelas Pengemis Sinting.
Ki Ardisoma terdiam. Dipandanginya wajah putranya yang kelihatan amat memelas menahan rasa sakit hebat.
"Katakan padaku, Bratasena! Apakah benar kau telah berbuat demikian keji kepada Retno dan suaminya?!" bentak laki-laki ini garang.
Kali ini Bratasena tidak berusaha membantah. Tapi tidak juga menjawab.
"Ayo katakan, Bratasena! Kalau kau tidak bersalah, maka mesti nyawaku melayang, tidak akan kubiarkan mereka memperlakukanmu dengan cara begini!" bentak Ki Ardisoma.
"Aku..., aku tidak bersalah, Ayah...," sahut Bratasena lemah.
"Keparat busuk! Hiih!" Retno hilang kesabarannya. Serta merta, dicekiknya Bratasena sampai tulang-belulangnya berderak patah.
"Brata...!" Ki Ardisoma terkesiap. Amarahnya langsung menggelegak. Seketika tubuhnya meluruk menyerang Retno.
Set! Set!
Pada saat yang hampir bersamaan, Retno merasakan dua angin sambaran dari belakang. Matanya sedikit melirik. Dan ternyata, dua buah pisau belati yang dilemparkan seseorang dari belakang telah melesat ke arahnya. Dengan gerakan mengagumkan, Retno memutar tubuhnya dengan tangan bergerak.
Tap!
Begitu pisau tertangkap wanita pengemis ini menjatuhkan diri untuk menghindari terjangan Ki Ardisoma.
"Hih...!" Tepat ketika bangkit, Retno melemparkan satu pisau pada soosk di depan pintu yang merupakan pemiliknya.
Crab!
"Aaa...!" Tepat sekali pisau itu menancap di dada sosok gadis yang tadi melemparkan pisau pada Retno. Terdengar jerit kesakitan yang mengikuti robohnya tubuh.
"Mahadewi...?!" seru Ki Ardisoma kaget.
Betapa geramnya Ki Ardisoma. Sudah serangannya dapat dihindari, dan kini putrinya malah tewas. Otaknya jadi kacau. Dan dia tidak mampu mengatur amarah yang bergejolak di hatinya. Kembali diterjangnya perempuan pengemis itu. Dan pertarungan sengit pun kembali berlangsung.
"Ayo, Dewa Bayu. Mari kita pergi! Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ajak Rangga, ketika telah berkelebat kembali ke halaman depan rumah Ki Ardisoma.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke punggung kudanya dan meninggalkan tempat ini perlahan-lahan dari kejauhan, telinganya mendengar teriakan Ki Ardisoma yang marah-marah.
"Hehehe..! Kenapa kau telah pulang, Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pertunjukan belum selesai?!"
Mendadak terdengar teguran yang disusul berkelebatnya satu sosok berpakaian pengemis yang tak lain Pengemis Sinting.
"Aku tak ada kepentingan disana," sahut Rangga pendek.
"Hehehe...! Aku menyesal, karena kita tidak terlibat pertarungan langsung," kata Pengemis Sinting.
"Kalau aku dianggap takut menghadapi gabungan kalian bertiga, maka kau salah menilai. Aku pergi karena yakin kalau Bratasena bersalah."
"Dia memang bersalah. Dan dendam mereka telah terlaksana. Palguna putra Jaladara telah kupancing dari dalam rumahnya, dan telah dibereskan mereka. Kemudian ketika menuju ke sini, kebetulan sekali putra si Genduk Mani yang bernama Adiguna, tengah melakukan perjalanan ke sini pula. Maka keduanya segera membereskannya. Hehehe...! Sungguh pekerjaan yang memuaskan!"
Rangga tidak begitu suka mendengar ocehan Pengemis Sinting. Tapi dia tidak berusaha menyela.
"Pengemis Sinting! Kalau tidak ada keperluan lain, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalanan," pamit Rangga ketika pengemis itu telah selesai bicara.
"Hehehe...! Silakan, silakan...! Tapi kujamin, kita akan bertemu lagi," ucap pengemis tua ini.
"Mudah-mudahan, pada saat itu kau dalam keadaan baik, Sobat."
"Brengsek! Siapa yang menganggap kau sebagai sobatku?!"
"Baiklah.... Kalau begitu, kuanggap kau musuhku saja."
"Sial! Aku tidak punya urusan denganmu, sehingga menganggapmu sebagai musuh!"
"Terserahmu sajalah...." Setelah berkata begitu, Rangga menggebah kudanya sekencang-kencangnya. "Heaaa...!"
"Hei, tunggu! Tunggu! Brengsek kau, Anak Muda...!" teriak Pengemis Sinting memaki-maki sambil mengejar.
Rangga menyadari kalau orang sinting itu tak akan mampu mengejar lari kuda Dewa Bayu. Benar saja. Sebentar kemudian tidak terlihat juga batang hidung Pengemis Sinting.***
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang Gembel
ActionSerial ke 182. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.