BAGIAN 3

108 9 0
                                    

Dua sosok penunggang kuda melintas di sebuah jalan tak begitu lebar di pinggiran Desa Selabang. Mereka menjalankan kudanya lambat-Iambat sambil berbincang-bincang.
"Aku tidak habis pikir, Kakang Wiraguna! Siapa yang tega berbuat demikian kepada beliau!" kata salah seorang yang berusia sekitar tujuh belas tahun. Bajunya ketat warna kuning.
"Mungkin beliau punya musuh...," sahut yang seorang lagi. Dia seorang pemuda bertubuh tegap terbungkus pakaian ketat warna biru. Wajahnya ditumbuhi jenggot tipis.
"Selama ini beliau jarang memiliki musuh, Kakang!"
Pemuda berbaju biru yang dipanggil Wiraguna tersenyum. Dan kepalanya menoleh sekilas.
"Apakah kau mengenal Ki Danang Mangkuto dengan baik, Caraka?"
Pemuda berbaju kuning dan bernama Caraka tampak tersipu malu.
"Itulah. Kita tidak bisa memberi penilaian, kalau tak tahu banyak tentang seseorang yang dinilai. Penilaian berdasarkan cerita-cerita orang, tidak bisa dijadikan patokan," ujar Wiraguna.
"Menurut pendapat Kakang sendiri, apa kira-kira penyebab kematian mereka?" tanya Caraka.
"Dendam."
"Dendam? Kenapa begitu?"
"Harta mereka tidak diusik. Begitu juga para pegawainya."
"Tapi satu orang mati, Kang?" ingat Caraka.
"Mungkin dia ingin membantu majikannya, namun gagal. Bahkan kematian menjemputnya."
Caraka mengangguk. Disadari kalau Wiraguna memang cerdas. Dan Caraka sendiri tahu, di antara lima putra Ki Genduk Mani, agaknya hanya Wiraguna yang disukainya. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu bersifat ramah, baik hati, dan tidak sombong. Tidak seperti saudara-saudaranya. Perbedaan watak satu sama lain seperti bumi dan langit. Tak heran kalau Caraka sering melihat Ki Genduk Mani selalu mengeluh melihat tingkah laku keempat putranya yang lain.
"Ki Danang Mangkuto bukan orang sembarangan. Bahkan jarang ada yang berani cari gara-gara dengannya. Menurut Kakang, siapa kira-kira yang bernafsu hendak membunuhnya?" tanya Caraka lagi, untuk mengetahui pendapat Wiraguna.
"Entahlah. Aku tidsak bisa memperkirakannya, Caraka...."
"Apa mungkin Ki Sancang, Kang?" duga Caraka.
"Maksudmu, si Raja Ular Selatan?" Caraka mengangguk.
"Tidak mungkin! Ki Danang dan putranya mati dihajar pukulan dan kemudian baru digantung. Sedangkan ciri khas si Raja Ular Selatan selalu menggunakan racun ular, untuk membunuh lawan-lawanya," sanggah Wiraguna, sekaligus menjelaskan.
"Oo...."
"Eh?! Dari mana kau tahu soal si Raja Ular Selatan itu?" Wiraguna balik bertanya.
"Dari para pembantu Ki Danang sendiri. Mereka pernah bicara kalau Si Raja Ular Selatan itu musuh bebuyutan Ki Danang," sahut Caraka.
"Ya. Ki Danang juga punya beberapa musuh tangguh...."
"Seperti Ki Jepara alias si Iblis Pulau Hantu?" tukas Caraka sambil tersenyum lebar.
"Hm.... Kau semakin banyak tahu saja!" puji Wiraguna.
"Dari banyak mendengar cerita orang aku semakin banyak tahu mengenai tokoh-tokoh persilatan, Kang," tambah Caraka.
"Itu bagus untuk pengetahuanmu."
"Tapi...."
"Ada apa?" serobot Wiraguna ketika Caraka menghentikan kata-katanya dengan wajah murung.
"Kalau mengingat mereka aku jadi semakin kecil, Kang...."
"Kenapa begitu?"
"Aku ingin seperti mereka. Tapi rasanya seperti pungguk merindukan rembulan. Jangankan seperti mereka. Bahkan memiliki kepandaian seperti Kakang pun aku sudah amat gembira."
"Untuk itu kau mesti giat berlatih."
"Aku selalu giat berlatih. Tapi tidak ada yang membimbing. Kakang selalu sibuk membantu Ki Genduk Mani. Dan yang lain juga sibuk dengan urusannya masing-masing...," sahut Caraka masyghul.
Wiraguna tersenyum.
"Baiklah. Nanti akan kucarikan waktu untuk melatihmu...."
"Benarkah, Kakang?!" seru Caraka kegirangan.
Wiraguna mengangguk.
"Ah, terima kasih! Terima kasih, Kakang...!"
"Sudahlah. Sekarang kita mesti cepat tiba di rumah untuk memberitahukan hal itu pada ayah!"
"Baik, Kakang! Heaaa...!" Caraka segera menggebah kudanya. Sementara Wiraguna telah lebih dulu menghela kudanya dengan kencang. Namun baru saja beberapa tarikan napas....
"Kakang, lihat! Siapa yang tidur melintang di jalan!" seru Caraka ketika melihat seseorang tidur seenaknya di tengah jalan yang dilalui.
"Hooop...!"
"Hieee...!" Karuan saja mereka secepat kilat menghentikan laju kuda agar tidak menginjak orang yang tengah berbaring di tengah jalan.
Apa yang dilihat Wiraguna dan Caraka adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dengan pakaian seperti pengemis tengah tidur nyenyak sekali.
"Kakang! Kita memutar sedikit ke kanan," saran Caraka.
"Ya."
Mereka segera menghela kuda untuk memutar. Tapi tiba-tiba saja pengemis itu menggeliat. Sehingga sikap tidumya berubah, kembali menghalangi langkah kuda mereka.
"Hhh...!" Wiraguna menghela napas. Kemudian diberinya isyarat pada Caraka agar kembali ke jalan pertama.
Tapi begitu mereka membalikkan arah kuda, saat itu juga si pengemis menggeliat kembali, menghalangi jalan.
"Hmm...!" gumam Wiraguna pendek.
"Kenapa, Kakang?" tanya Caraka ketika melihat Wiraguna terdiam seraya memperhatikan pengemis itu.
"Kisanak.... Kalau tidak keberatan, sudilah kiranya menepi dari jalan ini!" ujar Wiraguna tanpa mempedulikan pertanyaan Caraka.
Bukannya menjawab, pengemis itu malah memperdengarkan dengkurannya.
"Kalau kau tidak mau menepi, biarlah kami mencari jalan lain," sahut Wiraguna datar.
Pemuda itu memberi isyarat pada Caraka. Lantas mereka segera memutar haluan, membelakangi pengemis itu untuk mencari jalan lain.
"Heaaa...!"
Brakkk!
"Hieee...!"
Tapi baru saja menggebah kuda, mendadak sebatang pohon besar di depan tumbang, langsung melintang menghalangi jalan. Kontan kuda tunggangan mereka terkejut dan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi.
"Aduh!" Caraka mengeluh kesakitan ketika terlempar dari punggung kudanya. Masih untung bagi Wiraguna, karena mampu mengendalikan kuda tunggangannya.
"Kau tak apa-apa, Caraka?" tanya Wiraguna setelah kudanya benar-benar tenang.
Caraka menggeleng sambil bangkit berdiri. Pantatnya yang masih terasa sakit dielus-elusnya. Wajahnya kelihatan lucu, ketika meringis.
Semua itu tidak membuat Wiraguna tertawa. Justru matanya kini memandang tajam pada orang yang membuat ulah. Pengemis tua yang tadi tertidur nyenyak, kini berdiri di dekat mereka sambil terpingkal-pingkal melepaskan tawa.
"Hehehe...!"
"Kenapa kau tertawa?! Kau senang melihat kesusahan kami?!" bentak Caraka kesal.
"Hehehe...! Dasar bocah dungu! Kenapa pula kau marah-marah melihatku tertawa?"
"Karena semua ini perbuatanmu!" tuding Caraka kesal.
"Bocah geblek! Bocah sinting! Seenaknya saja bicara. Apa buktinya kalau aku yang melakukan semua ini?" sahut pengemis tua itu dengan suara tidak kalah garang.
"Itu memang salahmu! Karena..., karena kau tidur di tengah jalan!"
"Apakah ada larangan untuk orang tidur di tengah jalan?" kilah pengemis tua ini.
"Huh, sudahlah! Dasar orang gila!" umpat Caraka kesal seraya menghampiri kudanya.
"He, apa kau bilang? Kau kira aku gila? Dasar bocah sinting tak tahu diri. Kau memang turunan orang gila! Marah-marah tak karuan!" dengus pengemis ini.
Mendengar dirinya dimaki-maki begitu, kesal juga hati Caraka. Dipandanginya orang tua gembel itu dengan mata mendelik garang.
"Sekali lagi kau berani bicara begitu, kuhajar kau!" ancam Caraka.
"Bocah sinting! Turunan orang gila!" ejek pengemis tua ini sambil tertawa lebar.
"Kurang ajar...!"
"Caraka, sudahlah! Tidak usah diladeni!" cegah Wiraguna ketika Caraka hendak melabrak pengemis itu.
"Kenapa denganmu, Bocah? Apa kau kira aku takut dengannya? Huh! Dengan sekali sentil, dia akan kubuat terpental!" ejek pengemis ini sambil menuding marah pada Wiraguna.
"Paman...," panggil Wiraguna.
"Aku bukan pamanmu!" tukas pengemis itu marah.
"Lalu aku mesti memanggil apa?"
"Kau lihat aku? Aku seorang pengemis. Panggil saja begitu!" sahut pengemis ini seenaknya.
"Baiklah, Pengemis...."
"Nah! Begitu baru enak didengar!" potong pengemis itu lagi sambil tersenyum girang.
"Tambahkan saja dengan kata sinting. Jadi kau boleh memanggilku Pengemis Sinting...!"
"Kami tengah ada urusan penting, Pengemis Sinting. Kalau tidak keberatan, bolehkah kami pergi dulu?"
"Aku tidak menghalangi jalanmu, bukan?" tukas pengemis yang mengaku berjuluk Pengemis Sinting.
"Kalau kau tidur di jalan, tentu saja menghalangi...."
"Kenapa? Bukankah kuda-kuda kalian masih bisa melangkah?"
"Tentu saja. Tapi bagaimana kalau tubuhmu terinjak-injak?"
"Hahaha...! Terinjak-injak kudamu? Kenapa rupanya? Apa kau kira perutku akan jebol? Atau dadaku akan remuk? Begitu?! Bahkan seekor gajah sekalipun tidak akan mampu meremukkan perut atau dadaku!" teriak Pengemis Sinting jumawa.
Menghadapi orang seperti ini, Wiraguna hanya bisa menahan sabar. Di antara saudara-saudaranya pun dia terkenal paling sabar. Apalagi sampai menjatuhkan tangan dalam menyelesaikan persoalan. Begitu juga kali ini. Hanya Caraka saja yang semakin geregetan melihat tingkah Pengemis Sinting itu.
"Sudahlah, Kang. Buat apa berdebat dengan orang gila sepertinya? Kita akan ikut-ikutan gila dibuatnya," ujar Caraka.
"Kurang ajar! Apa katamu? Aku gila?!" semprot pengemis itu galak.
Tiba-tiba saja Pengemis Sinting menjulurkan sebelah tangan ke jidat Caraka.
Wut!
Karuan saja Caraka kesal bukan main. Dia bermaksud menangkis, dan sekalian saja menghajarnya. Tapi entah bagaimana satu dorongan kuat menerpa kepalanya.
Plak!
"Aaa...!" Pemuda itu kontan terjungkal ke belakang. Kepalanya terasa pusing. Pandangannya berkunang-kunang ketika bangkit berdiri.
"Kakang. Oh..., kepalaku pusing...," keluh Caraka.
"Hehehe...! Hahaha...! Huhahu...!"
Pengemis Sinting ketawa terpingkal-pingkal melihat pemuda itu mengeluh seperti bocah. Melihat apa yang diperbuat pengemis itu kepada Caraka, sadarlah Wiraguna bahwa kini tengah berhadapan dengan orang sakti yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jidat Caraka tadi hanya ditepuk pelan sekali. Tapi itu cukup membuatnya terjungkal ke belakang seperti disapu badai topan.
"Kurang ajar! Yeaaa...!" Caraka tidak peduli kejadian itu. Dan begitu melihat Pengemis Sinting menertawakannya, dia langsung menyerang tanpa pikir panjang.
Wut! Bet!
"Belum kena! Ayo, pukul lagi!" ejek pengemis itu seraya berkelit ke sana kemari menghindari pukulan serta tendangan Caraka.
"Kurang ajar! Pintar juga kau mengelak, ya?!" dengus Caraka semakin geram.
Pemuda itu kembali menyerang membabi-buta. Namun sedikit pun tidak membuahkan hasil. Pengemis itu mampu menghindarinya dengan mudah. Bahkan dengan cara yang membuat hati Caraka panas. Kadang pukulan pemuda itu hanya dielakkan dengan memiringkan kepala sedikit, atau tubuh berbalik. Atau terkadang pantatnya nungging, dan nyaris menghantam mukanya. Dan semua itu dilakukan pengemis tua ini sambil terkekeh kegirangan.
"Hehehe...! Kenapa? Sudah kepayahan?!" ejek Pengemis Sinting ketika melihat Caraka sempoyongan dengan napas turun naik tak beraturan.
"Pengemis busuk! Aku masih sanggup menghajarmu lagi!" dengus Caraka tak mau mengalah.
"Ayo lakukan! Lakukan lebih kencang dan cepat!"
"Yeaaa...!"
Kalau tadi Pengemis Sinting hanya menghindar, kini mulai lebih bersungguh-sungguh. Ketika Caraka maju ke depan sambil menyarangkan tendangan, tubuhnya berkelit ke samping. Dan tiba-tiba sebelah kakinya mengait pergelangan kaki Caraka yang berpijak di tanah.
Wuuutt!
Plak!
Caraka terkesiap merasakan sentakan keras. Dan tak ayal lagi tubuhnya ambruk ke depan ketika tak mampu menguasai diri.
Brukk!
"Hahaha...!" sambut Pengemis Sinting dengan tawa terbahak-bahak melihat muka Caraka mencium tanah.
"Sial!" dengus Caraka sambil mengusap mukanya yang berdebu.
Muka pemuda ini semakin berkerut geram ketika melihat darah di telapak tangan. Ketika meraba hidung terasa cairan merah mengocor pelan.
"Caraka, sudah! Jangan lanjutkan lagi!" teriak Wiraguna mencegah ketika pemuda itu hendak menyerang lagi.
"Tapi Kakang...."
"Kau tidak akan mampu melawannya. Dia bukan orang sembarangan. Bersihkan tubuhmu. Kita pulang sekarang!" sergah Wiraguna cepat.
"Eee, siapa yang menyuruh kalian pergi begitu saja? Aku belum lagi memerintahkannya!" timpal Pengemis Sinting seraya mengangsurkan telapak tangan kanan.
"Kisanak..."
"Panggil aku Pengemis Sinting!" tukas pengemis itu dengan suara keras.
"Baiklah, Pengemis Sinting.... Sekarang izinkan kami pergi dulu," ujar Wiraguna.
"Brengsek! Brengsek...! Apa kau tidak lihat aku tengah bermain-main dengannya?! Aku belum puas. Tapi dia sudah lemas. Kenapa tidak kau saja yang menggantikannya?!"
"Aku tengah tidak berhasrat untuk main-main, Pengemis Sinting!" tolak Wiraguna halus.
"Aku akan memaksamu!" sentak Pengemis Sinting.
"Apakah kau akan menghajarku?"
"Siapa yang akan menghajarmu? Aku justru ingin agar kau menghajarku sampai puas!"
"Aku tidak akan melakukannya, Pengemis Sinting."
"Kalau begitu aku akan memaksamu!"
"Silakan! Aku tidak akan melawan," kata Wiraguna, pasrah.
Pengemis Sinting melotot geram. Namun tidak berbuat apa-apa. Tiba-tiba kakinya menghentak-hentak ke tanah.
"Brengsek! Brengsek...!" maki Pengemis Sinting berkali-kali, kemudian mencelat cepat dari tempat itu. Dalam sekejapan mata, tubuhnya menghilang dari pandangan.
"Pengemis brengsek!" umpat Caraka seraya melompat ke punggung kudanya.
"Sudahlah, tidak usah hiraukan dia lagi...."
"Kenapa Kakang mengalah padanya? Padahal aku sudah kepayahan dipermainkannya. Kakang sengaja membiarkan aku!" dengus Caraka kesal.
Wiraguna tersenyum seraya menggebah kudanya kembali, pertahan-lahan.
"Kenapa kau berkata begitu? Kalaupun kularang, apakah kau akan menurut?"
Caraka diam saja. Hatinya masih kesal karena Wiraguna tidak mau membantunya menghajar pengemis itu. Lantas kudanya digebah, mengikuti Wiraguna.
"Dunia persilatan banyak dihuni tokoh aneh, Caraka. Ayah pernah mengatakannya. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan sulit diukur. Salah seorang di antara mereka bergelar Pengemis Sinting tadi," jelas Wiraguna memulai menjelaskan.
"Kenapa Kakang begitu yakin?"
"Pengemis Sinting tidak jahat. Hanya kelakukannya aneh dan sulit diikut orang waras seperti kita."
"Jadi itukah sebabnya Kakang tidak mau membantuku, juga menolak tantangannya?" duga Caraka.
"Tentu saja! Kalau aku membantumu, apa yang bisa kuperbuat? Kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan ayah sendiri tidak mampu menyentuhnya bila saling berhadapan. Dia hanya ingin bermain-main seperti katanya. Maka kalau keinginannya diladeni, dia akan betah menemani kita di sini. Dan kita akan letih sendiri meladeninya. Tapi kalau tidak meladeni, dia akan jemu dan meninggalkan kita seperti tadi," lanjut Wiraguna menyempurnakan penjelasannya.
Caraka mengangguk-angguk.
"Nah! Kau masih marah padaku?" tanya Wiraguna.
Dengan tersipu-sipu Caraka menggeleng lemah
"Kita beruntung bisa bertemu dengannya, meski mendapat pengalaman aneh...,"'kata Wiraguna.
"Kalau saja di dunia ada sepuluh sepertinya, maka banyak orang yang akan dibuat pusing!" dengus Caraka.
"Bahkan orang sepertinya bukan cuma sepuluh, tapi banyak!"
"Ah! Mana mungkin, Kang?!"
"Benar! Jika kau rajin mendengar dan bertualang sekaligus, kau akan menemukan orang-orang sepertinya."
Caraka terdiam, setengah percaya mendengar penuturan Wiraguna.
"Kenapa mereka bisa seperti itu, Kang?"
"Ya, banyak. Bisa karena kebanyakan ilmu, karena penyakit, karena penderitaan, dan lain-lain. Nantilah kita bahas panjang lebar bila ada kesempatan. Sekarang kita mesti cepat-cepat sampai di rumah."
Setelah berkata begitu, Wiraguna menggebah kudanya kencang-kencang. Caraka pun langsung mengikuti.
"Heaaa...!"

***

182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang GembelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang