BAGIAN 7

88 9 0
                                    

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang...," jawab Rangga.
"Itu artinya..., kau tidak bersedia membantuku, Rangga?" desak Ki Ardisoma lirih.
"Aku tidak berkata begitu."
"Lalu?"
"Persoalan ini belum jelas bagiku. Apa alasannya mereka membunuh kedua sahabatmu itu? Kalau kau katakan mereka mempunyai anak buah, kenapa tidak ikut terbunuh? Mestinya sebagai anak buah, mereka akan membela majikannya mati-matian. Bahkan sebelum menjumpai majikannya, kedua pembunuh itu akan berhadapan lebih dulu dengan anak buahnya."
"Itulah yang tidak kumengerti, Rangga. Tapi kata beberapa orang, mereka kabur ketika pembunuhan itu terjadi," jelas Ki Ardisoma.
"Hmm...."
"Bagaimana, Rangga?" desak laki-laki tua ini.
"Aku akan cari tahu dulu siapa para pembunuh itu," sahut Rangga.
"Bagaimana caranya?"
"Beberapa orang yang kau perkirakan akan menjadi korbannya kemudian?"
"Lima...."
"Coba sebutkan!"
"Ki Jaladara, Ki Genduk Mani, dan aku sendiri. Sementara Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa telah tewas seperti yang kau ketahui," jelas laki-laki tua ini.
Rangga mengangguk.
"Dari tempat Ki Danang Mangkuto, maka tempat siapa yang lebih dekat di antara empat sahabatmu yang lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu saja tempat kediaman Ki Putut Denawa," jawab Ki Ardisoma, langsung.
"Dan dia jadi korban. Lalu dari rumah Ki Putut Denawa, rumah siapa lagi yang lebih dekat?"
"Ada dua. Ke arah timur rumah Ki Genduk Mani, dan ke barat tempat Ki Jaladara. Sementara ke selatan..., tempatku ini," sahut Ki Ardisoma.
"Menurutmu, pembunuh itu akan mendatangi salah seorang dari kalian?"
Ki Ardisoma mengangguk.
"Maaf.... Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian. Tapi di antara kalian bertiga, siapa kira-kira yang keamanannya lemah?" tanya Rangga.
"Sulit diperkirakan. Ki Genduk Mani memiliki anak buah cukup banyak. Demikian pula di sini. Ki Jaladara hanya memiliki anak buah kurang dari sepuluh orang. Tapi di antara kami bertiga, beliau memiliki kepandaian lebih tinggi," jelas Ki Ardisoma.
"Menurutmu, apakah mereka berdua tahu akan ancaman ini?" cecar Rangga.
"Entahlah. Tapi utusan Ki Genduk Mani telah tiba di sini, mengabarkan kematian Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."
"Hanya kabar itu yang dibawa?"
"Tidak. Katanya, Ki Genduk Mani memerintahkan pencarian kepada anak buah Ki Danang Mangkuto yang menghilang untuk mencari tahu siapa pembunuh majikannya...."
Baru saja kata-kata Ki Ardisoma tuntas....
"Kenapa jauh-jauh mencarinya? Aku tahu pembunuhnya! Aku tahu pembunuhnya! Hahaha...!"
Mendadak terdengar sahutan dari atas atap. Walaupun atap genteng belum terbuka. Rangga dan Ki Ardisoma mendongak ke atas. Ki Ardisoma sudah hendak beranjak dari duduknya, namun.....
"Jangan!" cegah Rangga.
"Kenapa?" tanya Ki Ardisoma.
"Aku tahu siapa dia."
"Kau tahu? Siapa?"
"Pengemis Sakti."
"Pengemis Sakti? Apa urusannya di sini?" sentak Ki Ardisoma.
"Aku tidak berurusan denganmu, Tua Bangka!" Tiba-tiba suara dari atas genteng itu membentak kesal.
"Aku tengah berurusan dengan pemuda itu. Suruh dia keluar!"
"Pengemis Sinting! Untuk apa kau sampai di sini?" tanya Rangga seraya mengajak Ki Ardisoma bergegas keluar.
"Hehehe...! Kau kira bisa menghindarinya?"
Rangga baru saja keluar pintu depan bersama Ki Ardisoma di halaman mereka melihat seorang pengemis tua dengan rambut panjang awut-awutan telah berdiri di halaman. Tangannya tampak memegang tongkat seperti bekas ranting. Entah kapan tubuhnya berpindah dari atas genteng ke halaman rumah ini.
"Hehehe...! Kita bertemu, Bocah!" seru laki-laki tua berpakaian pengemis yang memang Pengemis Sinting.
"Pengemis Sinting! Aku tidak punya urusan denganmu."
"Enak saja kau bicara!" bentak Pengemis Sinting.
"Kau tinggalkan aku begitu saja, sebelum pertarungan kita tuntas. Mana hewan sial itu? Biar kucabut semua bulunya!"
Memang dalam perjalanannya ke rumah Ki Ardisoma, Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu Pengemis Sinting. Dasar orang sinting, tak ada masalah apa-apa, laki-laki tua berpakaian pengemis itu menyerang Rangga.
Untuk beberapa jurus Pendekar Rajawali Sakti melayani. Tapi untuk kemudian, dia berhasil melepaskan diri dari Pengemis Sinting, dan kabur bersama Rajawali Putih.
"Pengemis Sinting! Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, karena aku ada sedikit urusan dengan tuan rumah," ujar Rangga.
"Persetan! Itu bukan urusanku!" sentak Pengemis Sinting.
"Ini soal hidup mati seseorang. Kuharap kau mengerti."
"Phuih! Memangnya kau yang menentukan hidup mati seseorang? Kalau si Ardisoma mampus, itu sudah takdir. Dan kau tidak bisa mencegahnya!" bentak pengemis itu sambil meludah.
Sementara itu melihat keributan di luar, beberapa anak buah Ki Ardisoma telah berkumpul. Dan mereka siap menunggu perintah. Tapi Ki Ardisoma memberi isyarat agar mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab dia tahu, Pengemis Sinting bukan tokoh sembarangan. Kalau tokoh itu mengamuk, mereka tidak akan mampu menahannya.
"Memang tidak. Tapi aku akan berusaha mencegah bila seseorang berbuat sewenang-wenang...."
"Siapa yang berbuat sewenang-wenang?! Tanyakan padanya! Sadarkah dia akan kesalahannya?!" tuding Pengemis Sinting pada Ki Ardisoma.
Rangga terdiam. Untuk beberapa saat dia termenung memikirkan kata-kata pengemis tua itu. Sementara, Ki Ardisoma memandang mereka berdua berganti-ganti dengan dahi berkerut.
"Rangga! Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan Pengemis Sinting. Kurasa dia hanya mengada-ada saja!"
"Brengsek! Jadi mentang-mentang namaku Pengemis Sinting, lalu kau anggap aku ngomong seenaknya? Begitu?!" bentak Pengemis Sinting.
"Bukan begitu, Kisanak...."
"Aku bukan sanak saudaramu!" tukas si Pengemis Sinting dengan suara keras.
"Lalu aku mesti memanggil apa padamu?"
"Kau lihat aku apa? Pengemis, bukan? Nah, panggil saja begitu."
"Pengemis...?"
"Kenapa? Heran?! Apa orang tidak boleh bernama Pengemis?!"
"Ah, tidak. Baiklah, Pengemis. Aku tidak mengerti kalau kau menimpakan kesalahan padaku. Kesalahan apakah yang kuperbuat?" tanya Ki Ardisoma, masih dengan nada ramah.
"Kau sama saja dengan kedua kawanmu yang sudah mampus!" umpat Pengemis Sinting.
"Mereka pura-pura tidak mengerti kesalahan apa yang telah diperbuat? Huh! Memuakkan! Dan mereka telah menebusnya dengan kematian. Maka, kau pun akan mengalami nasib sama!"
"Apakah kau tahu pembunuh mereka?" tanya Ki Ardisoma, mengesampingkan kejengkelannya dengan ocehan-ocehan pengemis tua itu.
Saat itu ada yang lebih penting ketimbang balas marah-marah atau memaki pengemis tua itu. Dia sepertinya tahu banyak. Atau paling tidak, mengetahui siapa pembunuh kedua sahabatnya, Dan itulah yang diperlukan saat ini.
"Kalaupun aku tahu, tidak akan kuberitahu padamu! Biar kau menebak-nebak sendiri, sambil menunggu kematianmu dengan hati berdebar-debar! Hahaha...!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa nyaring.
Setelah berkata begitu Pengemis Sinting langsung berkelebat dari tempat itu. Seolah-olah urusannya dengan Pendekar Rajawali Sakti terlupakan.
"Suiuttt!"
Rangga bersuit nyaring. Dan dari dalam istal, meringkik keras Dewa Bayu yang segera mendepak pintu istal, lalu berlari kencang menghampirinya!
"Ayo, Dewa Bayu! Kita kejar orang tua itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kuda yang terus berlari tanpa berhenti lebih dulu.
"Rangga! Mau ke mana kau?!" teriak Ki Ardisoma.
"Aku akan menyusulnya! Ada yang perlu kutanyakan. Jangan khawatir, aku akan kembali lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, terus menggebah kudanya.
Ki Ardisoma hanya mampu memandangi tanpa bisa berbuat apa-apa. Bayangan Pendekar Rajawali Sakti bersama kudanya telah semakin hilang di kejauhan.
Meski lari Dewa Bayu amat kencang, tapi untuk menyusul si Pengemis Sinting agaknya bukan soal mudah. Karena beberapa saat kemudian, Rangga telah kehilangan jejak.
"Kurang ajar! Ke mana perginya orang itu?!" dengus Pendekar Rajawali Sakti kesal.
Rangga berhenti sebentar. Kepalanya celingukan mencari ke sana kemari, sebelum memutuskan untuk memacu kuda ke utara. Tapi baru saja berada kurang lebih sepuluh tombak dari tempatnya berhenti tadi, mendadak terlihat Pengemis Sinting terkekeh-kekeh di atas cabang sebuah pohon.
"Hehehe...! Kau penasaran padaku, Bocah?" ejek Pengemis Sinting.
"Aku ingin minta beberapa keterangan darimu!" ujar Rangga, tak mempedulikan kata-kata pengemis tua itu.
"Keterangan apa?"
"Siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?"
"Mereka yang membunuh Joko Ginting dan Tirta Janaka!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.
"Ya, aku tahu. Tapi siapa yang membunuh mereka?"
"Kenapa tidak tanyakan saja kepada mereka?"
"Mereka? Siapa yang kau maksudkan?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan ayah dan anak yang sudah mampus itu?!" sahut Pengemis Sinting, sekenanya sambil tertawa.
Rangga menarik napas panjang. Dan kekesalan hatinya disembunyikan rapat-rapat.
"Kurasa kau tidak tahu, tapi pura-pura tahu saja!" pancing pemuda itu.
"Kau meremehkan aku, heh?!" bentak laki-laki tua pengemis dengan mata melotot lebar.
"Memangnya apa yang mesti kupandang darimu?" sahut Rangga, memanasi.
"Kurang ajar! Kurang ajar! Bocah busuk, kuhajar kau!" teriak Pengemis Sinting kalap seraya melesat turun ke bawah.
"Kalau kau mau menghajarku, silakan saja. Tapi aku tidak akan melawan. Sebab akan sia-sia saja melawanmu," sahut Rangga.
"Hehehe...! Akhirnya kau mengakui juga kehebatanku, bukan? Makanya jangan sombong!" kata Pengemis Sinting, terkekeh girang sambil berkacak pinggang.
"Eh, jangan salah! Siapa bilang aku mengakui kehebatanmu? Kukatakan melawanmu sia-sia saja. Karena dengan sekali sentil, kau akan kubuat jungkir balik keliling dunia!" sahut Rangga sambil menunjukkan kelingkingnya.
"He, apa?! Kurang ajar! Kurang ajar..!" Pengemis Sinting menghentak-hentakkan kakinya.
"Ayo, mari kita tarung! Buktikan ucapanmu itu, cepaaat...!" lanjut laki-laki tua ini sambil menuding geram.
"Aku tidak akan bertarung denganmu," sahut Rangga, kalem.
"Pengecut!"
"Syukur kalau kau mengetahuinya."
"Brengsek! Brengsek! Ayo, lawan aku! Lawan aku...!" bentak Pengemis Sinting sambil mencak-mencak sendiri.
"Tidak! Aku tidak akan melawanmu, kecuali..."
"Kecuali apa? Ayo, katakan cepat!"
"Kecuali kau katakan, siapa yang telah membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."
"Apa?!" Mata Pengemis Sinting melotot lebar. Tapi tiba-tiba dia tersenyum lebar.
"Hehehe...! Aku tahu! Kau mau mengakali, bukan? Kau ingin mengorek keterangan dariku!" tebak Pengemis Sinting, cerdik.
"Untuk apa mengorek keterangan darimu? Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau hanya berbohong. Dan ternyata benar. Kau tidak tahu apa-apa soal pembunuh itu," tukas Rangga, memancing kembali.
"Huh, enak saja! Aku berani ngomong, karena aku tahu apa yang kuomongkan!" sergah Pengemis Sinting kelihatan berang.
"Kalau begitu katakan padaku, siapa pembunuh itu?"
"Mereka suami istri. Atau mungkin juga sepasang kekasih. Pokoknya mereka selalu bersama. Berbaju dekil sepertiku. Dan mungkin juga mereka pengemis!" sahut Pengemis Sinting lantang.
"Mereka pasti punya nama!" desak Rangga.
"Yang laki-laki kalau tidak salah bernama.... Barata. Ya, Barata! Dan yang perempuan bernama Retno!" sahut Pengemis Sinting, menjelaskan.
"Urusan apa yang membuat mereka membuat Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?" desak Rangga lagi.
"Kenapa tidak kau tanyakan saja kepada mereka?"
"Kau tahu, mereka sudah mati. Bagaimana mungkin aku bisa menanyakan pada mereka?"
"Tidak. Tiga orang lagi masih hidup. Kau bisa tanyakan!"
"Ki Ardisoma tidak tahu-menahu soal mereka."
"Dia tahu! Terlebih lagi putranya!"
"Persoalan apa sebenarnya?"
"Tanyakan saja. Dan kau pasti akan tahu! Kalau mereka tidak mengaku, maka berarti mereka berdusta. Dan kau tak perlu repot-repot membantu mereka. Hehehe...!"
Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya urusannya dengan pemuda itu kembali terlupakan.
Rangga termangu beberapa saat merenungkan ucapan pengemis itu. Laki-laki pengemis tadi tahu pembunuh-pembunuh itu. Tapi dia diam saja dan tidak berniat menolong? Mungkin saja, karena Pengemis Sinting memang bersifat angin-anginan. Kalau suka dia akan menolong kesusahan. Dan kalau lagi tak suka, maka tak peduli orang mati dan teraniaya di depannya. Tapi apa tidak mungkin dia bersekutu dengan kedua pembunuh itu?
"Ayo, Dewa Bayu! Kita kembali ke tempat tadi!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya menepuk kuda tunggangannya, bergegas kembali ke tempat Ki Ardisoma.

***

Hari telah sore ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di rumah Ki Ardisoma. Namun laki-laki setengah baya itu agaknya tengah menunggu di halaman depan rumah, bersama beberapa orang anak buahnya. Wajahnya tampak cerah begitu melihat kehadiran Rangga.
"Ah, Rangga! Syukurlah kau kembali. Kukira kau akan terus mengejarnya!" desah Ki Ardisoma, ketika Rangga telah turun dari kudanya dan menghampiri.
"Aku memang mengejarnya," sahut Rangga.
Salah seorang anak buah Ki Ardisoma tampak mengambil Dewa Bayu untuk kembali dibawa ke istal.
"He, jadi kau bertemu lagi dengannya?" tanya Ki Ardisoma dengan kening berkerut.
"Ya! Bahkan kami sempat berbicara."
"Bicara soal apa?"
"Soal urusan ini."
"Apa yang kau dapat darinya?"
"Banyak. Tapi lebih baik kita bicarakan hal ini di dalam. Dan..., berdua saja," pinta Rangga.
"Baiklah," desah Ki Ardisoma, menyetujui.
Ki Ardisoma bergegas mengajak Pendekar Rajawali Sakti ke dalam. Dan dia sudah tak sabar ingin mengetahui berita yang dibawa Pendekar Rajawali Sakti. Dipersilakannya pemuda itu duduk di ruang tamu.
"Nah! Di tempat ini kujamin aman, Rangga. Apa yang hendak kau ceritakan?"
Rangga menarik napas panjang, sebelum memandang orang tua itu lekat-lekat.
"Kenalkah kau pada orang yang bernama..., Barata dan Retno, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Barata dan Retno? Tentu saja. Mereka dulu bekerja padaku," sahut Ki Ardisoma terus terang.
"Kemana mereka kini?" cecar Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah. Terakhir mereka kabur dari rumah, karena mencuri barang-barang berharga milikku. Untung Bratasena mengetahui dan melakukan pengejaran," jelas Ki Ardisoma.
"Apakah ada peristiwa lain, yang menarik perhatian ketika Bratasena mengejar kedua orang itu?"
"Kurasa tidak. Tapi.., entah juga. Bratasena tidak berhasil meringkus mereka. Dan ketika pulang, dia bersama empat kawannya...."
"Empat kawannya?"
"Ya! Saat itu ada pertemuan di rumahku. Dan pertemuan itu dihadiri keempat sahabatku, yaitu Ki Genduk Mani, Ki Putut Denawa Ki Danang Mangkuto, dan Ki Jaladara. Masing-masing saat itu mereka membawa putra tertuanya," sahut Ki Ardisoma menjelaskan lebih lanjut.
"Pada saat pengejaran berlangsung, apakah Bratasena didampingi kawan-kawannya."
"Tidak. Tapi keempatnya saat itu memang tengah bermain. Bratasena mengatakan bahwa mereka bertemu di tengah jalan."
"Satu lagi pertanyaan, Ki. Apakah Barata dan Retno mengerti ilmu oleh kanuragan?"
"Tidak! Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu," sahut Ki Ardisoma yakin.
"Tapi kenapa kau duga bahwa mereka yang melakukannya? Jangankan membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa. Bahkan menjatuhkan anak buah mereka saja, kedua orang itu tak mampu."
"Pernahkah mendengar pepatah yang mengatakan, seekor semut akan melawan kalau terinjak. Dan seekor babi akan menyerang bila terdesak?"
"Aku tidak mengerti, Rangga."
"Panggilah Bratasena. Dan tanyakan padanya, apa yang telah diperbuatnya kepada dua orang itu?" ujar Rangga, lebih lanjut.
"Eh?! Apa maksudnya...?"
"Panggil saja. Dan akan kita lihat apakah dia berdusta atau tidak."
"Baiklah." Ki Ardisoma keluar kamar sebentar, menemui seorang anak buahnya. Lalu dia kembali lagi. Mereka menunggu sebentar. Dan tidak berapa lama, muncul seorang pemuda berusia dua puluh delapan tahun. Tubuhnya kekar dan berkumis tebal. Sepasang matanya bulat dengan hidung kelihatan kokoh. Rambutnya keriting halus dan pendek.
"Hormatku untuk Ayah! Ada apa gerangan sehingga Ayah memanggilku?" tanya pemuda bernama Bratasena seraya menjura hormat.
"Bratasena! Ayah ingin ajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Maukah kau menjawabnya dengan jujur?" ujar Ki Ardisoma.
"Sejauh ini aku selalu jujur pada Ayah. Dan rasanya tidak berguna membohongi Ayah. Katakanlah.... Pertanyaan apa yang hendak Ayah ajukan padaku?"
"Beberapa tahun Lalu ketika pertemuan tengah berlangsung disini, ada keributan kecil ketika dua pegawaiku tiba-tiba kabur. Kau katakan mereka mencuri. Lalu kau mengejar mereka. Kemudian ketika pulang, kau katakan mereka lolos. Hal itu masih mengganjal di pikiranku. Ceritakan pada Ayah, apa sebenarnya yang terjadi ketika itu?"

***

182. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Sepasang GembelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang