Kami melalui masa sulit yang sama. Aku adalah Ibu yang kehilangan putrinya, dan Hoseok adalah Ayah yang juga kehilangan putrinya. Kami sama-sama menangis tanpa henti ketika melepas kepergian Anna, juga sama-sama berusaha keras menampik kekosongan yang ditinggalkan oleh gadis kecil kesayangan kami tersebut.
Satu bulan berlalu. Orang bilang, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Namun mereka tidak tahu seberat apa kami melalui satu bulan ini. Sehari sungguh terasa seperti setahun, ketika kami terus melihat dan menyadari kekosongan yang ada di antara kami.
"Makan dulu. Dari dulu kau memang sulit untuk sedikit saja menimbun lemak di tubuhmu, tapi kali ini kau sungguh mengerikan. Makan. Atau mau Ibu suapi seperti saat kau masih bayi?"
Saat Anna masih ada, Ibu akan berkunjung ke rumahku mungkin sekitar sebulan sekali. Kalau sedang agak sering, dua minggu sekali. Anna selalu menjadi alasan kunjungannya, karena gadis kecil itu adalah cucu pertama di keluargaku.
Namun belakangan ini, terutama seminggu ini, Ibu datang nyaris setiap hari. Sekitar satu atau dua jam setelah Hoseok berangkat bekerja. Ibu akan membersihkan rumah untukku, memasak untukku, bahkan bisa saja menyelesaikan cucian pakaian kotorku jika aku tidak melarang. Aku seolah menjelma menjadi Anna yang belum bisa melakukan apa-apa sendiri, jadi harus diberi bantuan penuh oleh Ibu.
"Siapa yang menyiapkan makanan Ayah kalau Ibu di sini terus?"
Ayahku jauh lebih tidak mandiri dibanding aku maupun Jungkook. Tidak ada yang bisa disiapkannya sendiri, jadi aku bertanya-tanya bagaimana Ayah menjalani hidupnya selama Ibu mengurusku di sini?
"Ayahmu mendapat pekerjaan baru."
"Benarkah?"
Ayahku diberhentikan di tempat kerja lamanya karena perubahan manajemen perusahaan sekitar enam bulan yang lalu. Karyawan lama yang dianggap tidak akan terlalu produktif diberhentikan, tapi untungnya mereka mendapat uang pesangon yang cukup.
Ayah kemudian menggunakannya untuk membuka bisnis dengan temannya yang juga terdampak perubahan manajemen tersebut. Aku diminta untuk membantu membuat surat perjanjian kerja sama, agar tidak ada yang saling menipu satu sama lain.
Bisnis tersebut tidak lain adalah toserba kecil yang berdiri di wilayah pinggiran, di mana tidak ada toserba waralaba di sana. Kudengar bisnis itu berjalan dengan cukup baik, jadi aku tidak mengerti kenapa Ayah malah mendapatkan pekerjaan lain.
"Ayahmu bekerja sebagai satpam di apartemen baru dekat rumah. Kebetulan posisi itu kosong, karena yang sebelumnya pensiun."
"Tapi kenapa? Katanya bisnisnya berjalan dengan baik?"
"Memang, tapi ayahmu terbiasa bekerja sendiri, jadi rasanya tidak nyaman jika berada di rumah terlalu lama tanpa melakukan apa-apa. Lagi pula, pembagian keuntungan toserba tidak dilakukan setiap bulan. Dan katanya, di wilayah itu akan dilakukan pengembangan sebentar lagi."
Aku tidak bisa merespons. Pengembangan properti di berbagai wilayah memang cukup pesat belakangan ini. Bahkan di kota-kota kecil di provinsi pinggiran pun sudah terjamah oleh pengembangan, apalagi yang hanya di pinggiran Seoul. Perusahaan konstruksi pasti sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan setiap wilayahnya.
"Ibu ke sini setelah selesai membuatkan sarapan dan memberinya bekal makan siang. Meski jaraknya dekat, katanya cukup melelahkan jika harus pulang hanya untuk makan. Makanya ayahmu minta dibuatkan bekal saja."
Aku memang agak membenci ayahku. Di rumah, dialah rajanya dan itu membuatku tidak suka. Namun terlepas soal sikapnya yang tidak bisa adil pada siapa pun, Ayah tidak pernah lalai jika bicara soal nafkah.
"Ibu... apa kau pernah berpikir untuk meninggalkan Ayah?" Aku bertanya seraya mengaduk-aduk sup kimchi yang Ibu buatkan untukku. Hanya beberapa suap kusantap, kini aku menatapnya tidak berselera.
KAMU SEDANG MEMBACA
SYMPHONY [SUDAH TERBIT]
FanfictionJung Hoseok merasa hidupnya semakin sempurna setelah berhasil membawa Jeon Doyeon ke altar dan mengucapkan janji suci bersama. Tidak hanya itu, Jeon Doyeon bahkan rela menanggalkan apa yang dimilikinya untuk membuat kehidupan pernikahan mereka semak...