Bab 21 : PUTUS?

102 17 4
                                    

Bagaimana Chacha bisa rela jika disuruh meninggalkan Angkasa begitu saja? Memangnya, Irene siapa? Hanya sebatas mantan, bukan? Chacha merasa bahwa gadis ini sudah keterlaluan. Seandainya wajah Irene terlihat menyebalkan, ia sudah pasti akan menonjok habis-habisan. Untungnya, gadis ini memiliki wajah kalem.

“Nggak akan.” jawab Chacha singkat.

Irene harus mengatakan banyak hal mengenai Angkasa agar Chacha meninggalkan pria yang begitu ia cintai sejak dulu. “Tapi, Angkasa udah nggak sayang sama kamu, Chacha!”

“Sok tau banget, kata siapa?”

Gadis polos di depan Chacha mengambil benda pipih di dalam tas ransel warna pastelnya. Setelah terambil, tangannya mencari sesuatu yang akan perlihatkan kepada Chacha. “Kamu dengar baik-baik, ya.” titah Irene pelan.

Ponsel menyala, menampilkan sebuah rekaman tanpa gambar terpampang jelas di benda pipih itu. Rekaman tersebut belun diputar, namun jantung Chacha rasanya hampir copot. Ia takut, memikirkan bagaimana jika yang dikatakan Irene benar.

Jari Chacha bergemetar, akan tetapi tetap bergerak untuk menekan tombol play.

“Iya-iya, gue udah nggak sayang sama dia,”

“Dia siapa?”

“Chacha,”

Sudah bisa Chacha pastikan, bahwa yang terdengar di telinganya adalah suara Angkasa. Ia sangat yakin, bisa mengenali suara itu tanpa melihat. Gadis itu menurunkan tangannya, kemudian terkepal dengan erat. Rok seragam identitas khas sekolahnya yang berwarna biru muda diremas dengan kencang.

Perlahan-lahan Irene mengintip wajah Chacha yang sulit untuk ditebak. “Maaf Chacha, aku cuma mau nunjukkin kenyataannya sama kamu. Lebih baik, turuti yang aku bilang sebelum perasaan kamu lebih dalam buat Angkasa,”

Tentu saja Chacha masih belum menerima kenyataan pahit ini dengan mudah. “Irene, lo nggak usah ngada-ngada!” Ia meninggikan suaranya. Tidak peduli dengan raut wajah Irene yang tampak ketakutan.

“Ngada-ngada gimana maksud kamu? Itu udah jelas suara Angkasa. Kalau aku ngada-ngada gimana bisa itu jadi suara Angkasa?”

Ucapan Irene memang benar. Chacha merasa bahwa Irene hari ini mengatakan fakta yang sesungguhnya terjadi. Ia berusaha menelan kepahitan fakta ini. Akan tetapi, dari segi manapun, Chacha masih tetap belum bisa menerimanya.

“Mungkin lo pancing-pancing Angkasa sampai dia bilang gitu,” Napasnya kembang kempis, sesak di dadanya sangat terasa. Padahal, ia sedang di luar ruangan. Rasanya sudah dikurung dalam ruangan sempit tanpa jendela dan pintu. “Lo sengaja jebak Angkasa. Lo pasti bicara yang macem-macem, lo ngancam Angkasa, kan?!” tuduhnya dengan sekali tarikan napas.

Tidak terima dengan perkataan Chacha yang menyudutkannya, Irene berdiri dari posisi duduk, tangannya melayang ke udara tanpa diduga.

Plak!

Satu tamparan berhasil mendarat dengan keras di pipi Chacha. Pipinya memerah, jiplakan tangan Irene terlihat jelas di pipinya yang putih bersih. Serangan mendadak dari Irene membuatnya hampir tumbang. Sial! Mengapa ia selemah ini? Kepalanya terasa berat seketika. Tanpa bisa dicegah, darah kotor meluluh keluar dari hidung mancung Chacha hingga meninggalkan banyak bercak di bajunya.

Chacha tidak ingin terlihat lemah. Walaupun di hidungnya mengalir darah karena penyakitnya, ia berdiri dengan tegas, lalu mengangkat tangannya hendak membalas tamparan Irene.

“MATCHA!” Suara bariton yang tiba-tiba datang menghentikan aksi Chacha yang akan membalas tamparan Irene.

Tangan Chacha masih terangkat di udara, lalu menurunkannya dengan pelan. Setelah mengetahui pemilik suara itu, ia segera memalingkan wajah ketika pria itu mendekat. Chacha menutupi hidungnya yang terus mengeluarkan darah kotor, agar pria itu tidak melihatnya lemah.

“Lo ngapain mau nampar Irene? Lo ngelabrak dia?!” bentak pria itu, dirinya adalah Angkasa yang datang untuk membela Irene.

“Bu-bukan gitu...gue cuma...”

“Nggak usah ngeles! Gue udah liat dengan kedua mata gue sendiri!” Angkasa tidak bisa melihat Chacha, gadis itu terus menunduk dan kepalanya sedikit serong ke kanan. “Gue yakin, lo benci sama Irene. Tapi, jangan gini caranya. Main fisik, dikira bakal keren kaya gitu?! Lo sadar? Yang baru saja lo lakuin itu hal sampah.”

Salah satu tangan Chacha meremas roknya, sedangkan tangannya yang lain berusaha menutup hidung berdarahnya.

“Irene...lo tau semua. Jelasin ke Angkasa,”

Gadis yang baru saja disebutkan namanya itu justru memeluk lengan Angkasa, dengan wajahnya yang ketakutan. Yang pasti, ekspresinya saat itu fake, alias palsu. “Aku nggak tau apa-apa. Kamu kan yang tiba-tiba mau nampar aku. Aku sendiri juga nggak tau alasannya,” jelasnya. Dasar ratu drama!

“Matcha, gue tau lo iri sama Irene, kan? Tapi gue ingetin, jangan pernah berani sentuh Irene. Kalau lo berani ngelanggar, lo bakal tau akibatnya.”

Buliran air mata mulai jatuh dari kelopak mata indah Chacha, ia hanya menatap sepatunya. Kedua kalinya, ia dibentak oleh Angkasa. “Lo ngancem gue?”

“Iya, gue ngancem!”

Chacha semakin tersentak kaget dengan jawaban Angkasa. Seluruh tubuhnya bagaikan di tusuk ribuan pedang berkali-kali dalam waktu yang sama. Ditambah badannya yang mulai lemas, rasanya ingin jatuh pingsan. Sebisa mungkin, Chacha menahannya.

“Yaudah kalo lo lebih milih Irene.”

Satu kalimat yang membuat Angkasa menelan salivanya susah payah. Ia berpikir, apakah yang dilakukannya salah? Angkasa hanya melihat bahwa Chacha yang salah karena akan menyakiti orang lain dengan kekerasan.

“Mumpung gue udah tau kebenaran tentang perasaan lo yang sekarang...” Chacha memberi jeda untuk berbicara, hal itu membuat Angkasa semakin takut mendengar kalimat Chacha yang selanjutnya. “Kita udahan aja. Makasih dua tahunnya, Angkasa. Gue sayang sama lo, dan bakal tetap seperti itu.”

“Lo yakin?!” tanya Angkasa tak terima dengan keputusan Chacha. “Tatap mata gue sekarang,” perintah Angkasa melepas tangan Irene yang terus memeluknya.

Chacha menggeleng pelan. “Gue yakin, kok. Yaudah, gue mau pulang dulu,” Chacha membalikkan badan untuk pergi dan segera pulang dari sana.

Sebelumnya Chacha membalikkan tubuh, Angkasa sempat melihat beberapa bercak darah yang masih basah di seragam Chacha. Kemudian, ia juga memperhatikan pipi Chacha yang merah, hanya sebelah.

***

Langkah Chacha terseok, kakinya sangat lemas. Meskipun dalam kondisinya, ia nekat jalan kaki agar bisa memiliki waktu di luar untuk sendiri.

Mimisan di hidungnya sudah berhenti sejak ia keluar dari area sekolah. Chacha ingat, hal yang membuat ia semakin lemah adalah karena siang ini ia tidak minum obat dari Dokter.

Sudah hampir setengah jam ia berjalan kaki sambil menatap kendaraan yang berlalu lalang. Karena sudah lelah, Chacha berhenti dan istirahat sebentar di depan sebuah warung yang tutup.

Suara motor yang dikemudikan seorang pria berhenti tepat di depan Chacha secara tiba-tiba. Chacha sangat hafal, siapa pemilik motor ini. Pria itu melepas helmnya, lalu turun. “Maafin gue. Sekarang gue antar pulang.”

Chacha tersenyum miris. “Kita udah nggak ada urusan,”

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MATCHASA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang