Bab 23 : DATANG

89 20 1
                                    

Tangan mulusnya mencengkram erat, ia menyembunyikan seluruh badannya di balik selimut yang tebal. Seluruh bagian tubuhnya bergemetar, pikirannya merenung sejak kejadian beberapa saat yang lalu, rasa bersalah kini menghantui pikirannya.

Rasa senangnya bercampur aduk, terkotori oleh rasa bersalah. “A-apa aku tadi buat kesalahan?” Gadis itu menggigit bibir bawahnya.

“T-tapi...kalo gak gini, aku...aku gak bisa bahagia di sisa hidupku yang cuma sebentar.”

Tanpa bisa dibendung, air matanya mengalir deras di pipinya. Wajahnya sangat panas, dadanya semakin terisak sesak.

Sebagai seorang wanita, ia begitu paham dengan setiap perasaan wanita lain. Akan tetapi untuk saat ini, ia perlu egois. Jika sewaktu-waktu Tuhan mengambil nyawa secara tiba-tiba, ia pasti akan sangat menyesal. “Aku janji, misal ada keajaiban untuk aku sembuh, aku bakal nebus semua kesalahan aku biar gak menyakiti hati orang lain.”

***

Tinggal sendirian memang membuatnya kesusahan dalam banyak hal. Mulai dari mengerjakan setiap pekerjaan rumah sendiri bahkan sampai curhat pada dirinya sendiri. Hari ini, Chacha memang sangat lemas. Sejak tadi siang, gadis itu belum minum obat dari dokter.

Chacha terbaring lemah di ruang tengah, televisi nya menyala agar keheningan rumahnya terpecahkan. Tangan Chacha terulur ke meja, mengambil benda pipih lalu mengetikkan sesuatu di dalamnya.

To : DeltaJurang.
Del, gue laper. Gak bisa masak, dari siang belum minum obat. Lemes bgt.

Hanya kepada Delta, tempatnya untuk mengeluh dan merengek. Pria itu selalu mengutamakan Chacha jika ia tidak sibuk. Tidak ada harapan lagi bagi Chacha agar mendapat perhatian dari Angkasa.

Kelopak mata gadis itu tertutup sejenak, menghirup oksigen lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Napasnya panas, tanda bahwa dirinya memang sedang sakit. Perut rampingnya bergemuruh, cacing-cacing di dalam sana meronta.

Diliriknya ponsel yang masih berada di genggaman, pesan tersebut belum dibaca oleh Angkasa. Tatapan Chacha beralih ke chat teratas. Bahkan, nama Angkasa masih terukir dengan indah di WhatsApp Chacha, masih ter-pin.

Suduh bibirnya terangkat, menyunggingkan senyum miring. Ia hanya bisa mengingat kenangan-kenangan yang dirangkai secara manis bersama Angkasa.

Tok...tok...tok...

Lamunan Chacha buyar seketika setelah mendengar suara ketukan pintu. “MASUK!” teriak Chacha. Tidak salah lagi, bahwa yang mengetuk pintu adalah Delta. Jadi, Chacha membiarkan saudara tirinya itu untuk membuka pintu, karena ini juga merupakan rumahnya. Teriakan Chacha pasti terdengar dari depan, karena selain suaranya yang mirip toa, jarak ruang tengah dengan teras tidak jauh.

Gesekan sandal dengan lantai saling bertautan, Chacha menoleh ke arah sumber suara. “Del, lo bawa makanan ap---loh?!” Setengah kalimat yang akan diucapkan Chacha terpotong.

Bukan sosok Delta yang ia temukan, melainkan Angkasa yang datang dengan baju basah kuyub. Tubuh Chacha yang semula lemas, menjadi tambah lemas. Jantungnya berpacu kencang, wajahnya memanas.

“Lo ngapain kesini?” tanya Chacha sendu.

Tanpa dipersilahkan untuk duduk, Angkasa sudah mendaratkan badan di samping Chacha. Menaruh semua kantong plastik ke meja, kemudian ia bersedekap dada. “Emang salah kalau main ke rumah cewek gue?”

Pertanyaan sekaligus pernyataan dari Angkasa membuat Chacha berhenti bernapaa sejenak, tubuhnya menegang karena merasa terharu bahwa Angkasa mengakuinya sebagai seorang kekasih.

MATCHASA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang