Bab 20 : Taman

65 16 0
                                    

Kedua kaki jenjang Chacha dihentakkan ke lantai dengan sangat keras. Setelah beberapa saat yang lalu berdebat dengan Angkasa, mood-nya seketika memburuk. Gadis itu sudah kembali duduk di meja yang sama dengan Tisya, Vani, serta Iqbal.

Kompak, mereka bertiga menaikkan salah satu alisnya ke atas, bertanda meminta penjelasan. Mereka tahu, alasan pertengkaran Angkasa dan Chacha adalah karena tantangan yang dijalankan gadis itu. Sedangkan hal lain yang menyebabkan pertengkaran itu, mereka sama sekali tidak mengerti.

“Kenapa?” tanya Vani dengan takut. Saat ini, wajah Chacha berubah menjadi garang, siap menerkam siapapun yang berani menganggunya.

Chacha tidak membalas, ia meremas kaleng minuman yang ada di hadapannya. Dirinya sama sekali tidak peduli dengan si pemilik minuman tersebut.

“Ebuset, ngeri amat lo kalo ngamuk. Minuman punya orang main gasak aja.” ucap lantang Iqbal. Pria ini memiliki suara yang paling keras di antara teman-temannya. “Mana uang saku gue tinggal lima ribu,”

Iqbal selalu saja mengeluh mengenai uang sakunya. Padahal, keluarganya hidup serba berkecukupan, Iqbalnya saja yang tidak pernah cukup dengan apa yang ia punya.

“Maaf, Cha. Gue nggak bermaksud gitu,” Tisya menggigit bibir bawahnya. Tentu saja ia merasa bersalah, gara-gara tantangan darinya, teman barunya itu harus bertengkar dengan kekasihnya.

“Nggak apa-apa, si Angkasa emang harus dipanasin dulu biar mau bicara sama gue,” ujae Chacha menenangkan diri. Kini, wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Ia melakukan itu agar ketiga teman cerewetnya tidak terus menanyakan hal yang malas untuk dibahas. “Kuy, masuk ke kelas. Gerah banget liat doi sama cewek lain duduk berdua, padahal di sini udah full AC.” Chacha berdiri dari duduknya, tanpa mengunggu teman-temannya ia melengos pergi begitu saja.

“Kayaknya lo tiap hari harus bikin Angkasa cemburu, deh,” ucap Tisya setelah berhasil menyusul Chacha yang berjalan dengan cepat.

Chacha mengangkat sebelah alisnya. “Gitu?” tanyanya memastikan, kemudian dibalas anggukan oleh Tisya.

Keempat manusia itu berjalan beriringan, “Tapi kalo gue liat-liat tadi si Alden suka sama lo. Buktinya, ia senyum-senyum pas ngeliat lo, biasanya juga kalo ada yang berani dia pasang muka galak.” ujar Iqbal.

“Ya terus? Kalo Alden suka sama gue emangnya kenapa? Wajar, sih. Gue emang cantik,” balas Chacha dengan penuh percaya diri.

Tisya menepuk keningnya sendiri, “Astaga, lo bego kebangetan. Maksud Iqbal tuh, si Alden suka sama lo, terus coba deh gunain Alden buat panas-panasin Angkasa.”

“Sotoy lo kunang-kunang!” damprat Iqbal.

“Jahat nggak, sih, manfaatin orang?” Vani yanh polos mengerutkan kening.

***

Beberapa menit yang lalu, bel pulang sekolah sudah berbunyi nyaring. Rupanya, ada seseorang yang tidak menyukai dering bel tersebut. Hanya untuk hari ini saja, ia tidak menyukainya. Duduk termenung di taman samping perpustakaan, Chacha hanya ingin sendiri. Percuma saja dia pulang, yang ada hanya kesepian.

Di rumah ia sendiri. Apalagi, pembantunya sedang izin untuk pulang kampung lagi. Sekarang sudah tidak ada lagi tempat untuk mengeluh jika kesepian. Hari-harinya hanya begitu, dan terus terulang.

Bedanya, dulu ada seseorang yang menemani ketika Chacha kesepian. Sayangnya, orang itu perlahan pergi meninggalkan Chacha. Entah hanya firasatnya saja, atau memang orang itu benar-benar akan meninggalkannya.

Terpaan angin sore yang kencang menambah suasana sunyi ini. Beruntung, masih ada kegiatan anak yang ikut Ekstrakulikuler, jika tidak, gerbang sudah ditutup sejak tadi.

“Hei! Chacha, ya? Aku boleh duduk di sini?”

Suara pelan seorang gadis memecah keheningan dan membuyarkan lamunan Chacha. Gadis itu tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Kenapa?”

Mata gadis itu berbinar, tanpa pikir panjang, ia mendaratkan tubuh rampingnya di bangku panjang sebelah Chacha. “Kamu kok belum pulang?” basa-basi gadis itu.

Sebenarnya, Chacha sangat malas menanggapi gadis ini. Namun, gadis ini tidak salah kepadanya, ia jadi tidak tega untuk mengacuhkan gadis polos itu. “Nggak apa-apa. Lo sendiri kenapa belum pulang?”

“Lagi nunggu man---eh teman maksudnya,” Irene menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal.

“Emang temen lo masih ngapain?”

“Tadi ada piket kelas.”

Chacha hanya membulatkan mulutnya sembari mengucapkan 'O' tanpa suara. Ia kembali menatap lurus ke depan.

Suasana di antara mereka berubah menjadi hening seketika. Chacha bingung, harus membuka percakapan mulai dari mana. Ia sangat canggung, karena mereka berdua memang tidak mengenal satu sama lain. Mungkin, hanya kenal sebatas nama. Meskipun Irene nempel kepada pacarnya setiap saat, ia merasa belum membenci Irene, tidak tahu nanti kedepannya. Mungkin jika ini berlanjut, ia akan memakan Irene hidup-hidup.

Chacha memilih diam. Lagipula, ia bukan tipe cewek yang SKSD.

“Ekhm!” Deheman Irene memecah kecanggungan antara mereka berdua, “Em...kamu masih pacarnya Angkasa, ya?”

Secepat kilat, Chacha menganggukkan kepala. Mau bagaimanapun sikap Angkasa yang sekarang, ia tetap kekasihnya. Tidak ada yang bisa mengubah status itu kecuali Angkasa dan Chacha sendiri. “Iya, ada masalah?”

“Kalo aku ngomong sesuatu, boleh? Tapi, jangan marah.”

Jantung Chacha seakan dipompa, tubuhnya merinding seketika membayangkan hal yang akan menyakitinya pasti akan terjadi. Sepertinya, Chacha harus menguatkan diri sebelum mendengar penuturan dari Irene. “Iya, bilang aja. Gue nggak marah, kok.”

“Beneran kamu nggak marah?” tanya Irene sekali lagi guna memastikan. Chacha hanya membalas dengan anggukan. Kemudian, Irene menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, sembari mengumpulkan kata. “Jadi, kamu udah tau kalo aku mantannya Angkasa?

Telinga Chacha hampir jebol ketika mendengar pertanyaan Irene. Padahal, volume bicara Irene bisa terbilang sangat kalem. Bukan karena volumenya, namun karena makna dari perkataannya.

“M-mantan? Gue nggak tau,”

Irene mengangguk antusias. Gadis polos itu sebenarnya menyadari keterkejutan dan kekecewaan dalam mata Chacha, “Iya! Sekarang kita satu kelas, udah lama rasanya nggak saling nyapa sama Angkasa lagi. Sekalinya ketemu, dia langsung perhatian banget sama aku!!”

Mulut Chacha menganga tak percaya. Jadi, sikapnya belakangan ini karena bertemu mantannya lagi? Chacha yakin, Angkasa masih memiliki perasaan untuk Irene. “Terus?”

“Kamu liat sendiri, 'kan? Kalo Angkasa itu lebih milih sama aku. Padahal pacarnya Angkasa itu kamu, bukan aku. Aku pikir, Angkasa masih ada rasa ke aku!!”

Bibir tipis Chacha melengkung ke samping, ia tersenyum tipis menahan kesakitan yang bergejolak di dalam dadanya. “Gue pikir juga begitu,”

Mata berbinar Irene semakin terlihat, entan apa yang dipikirkan gadis ini. “Chacha, kamu mau kalo aku suruh putusin Angkasa?” Pertanyaan absurd itu meluncur dengan mudah dari bibir Irene. “Please, aku mau ngerasain bahagia di waktuku yang singkat, Chacha,”

Gadis di samping Irene itu nampak kebingungan, “M-maksud lo?”

***

MATCHASA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang