Bab 24 : Bosan

89 18 3
                                    

“Jangan bilang putus lagi, Chacha. Aku dari dulu nggak pernah bisa berpaling dari kamu. Tapi kalau ngelirik cewek dikit ya pernah, lah.” Angkasa mengacak rambut Chacha gemas sembari cengengesan.

Gadis berwajah pucat itu mengangkat sebelah alisnya. “A-aku? K-kamu?” tanya Chacha ragu. Hanya anggukan dari kepala Angkasa sebagai jawaban. “Tapi gue kecewa sama lo. Lo pergi dari sini sekarang atau gue nggak akan mau liat muka lo lagi! Kalau lo nggak mau putus, kita break dulu. Gue lagi capek sama lo.”

Angkasa menghela napasnya kasar. Break bukanlah hal yang buruk daripada putus. Namun, tetap saja hatinya merasa teriris.

“Oh, iya, satu lagi. Gue bosen sama lo, Angkasa.”

Untuk kedua kalinya dalam hubungan mereka, Chacha mengatakan hal itu kepada Angkasa. Pria itu berpikir, Chacha sudah tidak seperti dulu lagi. Jika sedang dalam fase bosan, mereka hanya akan diam, tidak terang-terangan.

Angkasa hanya bisa pasrah. Mungkin, Chacha hanya butuh waktu untuk memaafkan dirinya. Hal menyakitkan yang baru saja terlontar dari mulut Chacha mungkin tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Angkasa beberapa hari terakhir kepada Chacha. Angkasa siap menerima karma tersebut.

“Pergi, Angkasa. Gue pengin sendiri.”

“Aku akan pergi. Tapi ingat, aku gak mau putus dari kamu.”

***

Sejak kepergian Angkasa beberapa saat yang lalu, ia melamun. Sebelumnya, Chacha menghabiskan semua makanan yang dibawa oleh Angkasa, berharap bisa melampiaskan masalah serta kesedihannya dengan makan sebanyak mungkin. Ada yang sama seperti Chacha?

Delta juga tidak kunjung datang. Mungkin, ia lebih sibuk belajar untuk bisnis. Karena pria itu adalah penerus perusahaan Papanya. Walaupun, hanya anak tiri.

Kedatangan Angkasa membuat pertahanan Chacha runtuh, luluh, kemudian rapuh. Dia mengakui, bahwa tidak bisa berpisah dengan Angkasa, tidak tahu bagaimana menjalani hidup tanpa Angkasa. Lagipula, keluarganya tidak mempedulikan dirinya sama sekali. Kecuali Delta.

Tiba-tiba, satu kantong plastik besar berwarna putih melayang tepat di atas perut Chacha, lamunannya buyar seketika. “Bangsat! Gak kira-kira!”

“Makan.”

Wajahnya yang dingin, tanpa ampun melemparkan kantong plastik yang terisi penuh oleh makanan ke arah Chacha. Ia membaringkan tubuhnya di atas sofa sebelah Chacha, lalu memejamkan matanya.

“Ngapain lo tidur di sini? Kalau mau tidur ke kamar lo sendiri, atau pulang aja.” ketus Chacha. Karena nantinya ia akan kerepotan jika Delta tidur di sana. Mulai dari memberinya selimut hingga menyumpal mulutnya yang terkadang mendengkur.

“Sebentar. Gue capek banget, gak mau pulang. Papa sama Mama berantem,”

Mendengar hal itu, mata Chacha terbelalak kaget. Sangat jarang kedua orang tuanya bertengkar. Meskipun tidak mendapat kasih sayang sepenuhnya dari salah satu atau keduanya, mereka tetap saja keluarga Chacha. Dan hanya mereka yang Chacha punya.

“Kenapa?”

“Gue disuruh kuliah di Swiss, tapi Mama gak setuju. Mama malah nyuruh lo yang kuliah kesana. Dan Papa gak setuju.”

“Gara-gara gue?”

“Bukan.”

“Terus, itu apa?”

Delta enggan menjawab lagi. Jika dijabarkan lebih luas, ia takut apabila Chacha semakin sedih dan merasa bersalah.

“Gue lemes banget, dari siang belum minum obat.” curhat Chacha sambil menyenderkam kepala pada sofa dan memejamkan matanya. Ia merasa sangat lelah.

Mendengar pengakuan Chacha, Delta berjingkat dari posisinya, lalu menatap Chacha dengan tajam. Tentu saja ia sangat khawatir terhadap saudara tirinya itu. Berhubung dari kedua orang tuanya tidak ada yang terlalu mempedulikan Chacha. Delta berdiri dari tempat yang semula digunakan untuk berbaring, lalu pergi menuju meja makan.

Chacha tetap memejamkan matanya, tidak peduli dengan pergerakan yang Delta lakukan.

Pria itu datang lagi dengan tangan yang sudah terisi oleh beberapa tablet obat-obatan. Dipastikan itu adalah obat Chacha yang diberikan oleh Dokter. “Minum.”

Perut Chacha sudah terisi penuh oleh makanan yang dibawakan Angkasa beberapa saat yang lalu. Tanpa makan lagi, Chacha segera meminum obatnya.

***

Pikirannya kalang kabut. Saat ini, Ulangan Harian sedang dilaksanakan. Gadis itu hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bukan type gadis yang jika tak belajar mendapat nilai bagus. Belajar saja tidak menentukan nilainya. Kadang baik, kadang juga buruk. Semalam, ia kalut dalam tidurnya yang nyenyak. Karena merasa ada seseorang yang menjaganya.

“Van, Van. Gue boleh lirik dikit kali,” ujar Chacha berbisik. Ekor matanya melirik Guru mata pelajarannya yang terus menatap sekeliling ruang kelas.

Bukan hanya Chacha, murid-murid lain juga tidak bisa berbuat banyak. Selain bisa menghela napasnya, mereka hanya bisa berpasrah.

“Vani nggak berani kasih jawaban ke Chacha. Pak Oji liatin kita semua. Maaf ya Chacha,” kata Vani merasa bersalah. Bukannya pelit, seoarang Vanila memang gadis polos yang mudah merasa ketakutan.

“Iya, nggak apa-apa.”

“Sekali lagi Vani minta maaf, ya.”

Chacha hanya bisa mendengus kesal, karena masih setengah soal yang ia jawab. Sementara yang tersaji di kertasnya ada 40 soal mata pelajaran Estimasi Biaya Konstruksi.

Sedikit mencondongkan badan, Chacha menyenggol tangan Tisya yang berada di depannya. Gadis bar-bar itu mengerti, lalu dengan santai, ia menyodorkan kertas jawabannya.

Tanpa takut, Chacha sedikit menarik kertas milik Tisya. Dengan cepat, tangannya lincah menyalin jawaban-jawaban disana dengan runtut.

Brak!

Semua terbelalak kaget, ketika Pak Oji menggebrak mejanya. Seluruh pasang mata menatap Pak Oji heran. Guru killer itu memang terlihat menyeramkan di setiap keadaan.

“Chacha dan Tisya, kalian nyontek?!” Pak Oji mendatangi bangku mereka.

Tangan beliau terulur mengambil kertas jawaban milik Chacha, kemudian Tisya. Tidak ada pembelaan dari kedua gadis itu. Mana mungkin mereka berani menjawab Pak Oji walaupun dipaksa menjawab.

Kertas jawaban mereka terbelah menjadi berkeping-keping. Pak Oji merobek kertas mereka tanpa ampun. “Kalian sudah nyontek. Bapak nggak mau tau, berdiri sambil hormat bendera sampai jam istirahat!”

Let's go!” ujar Tisya. Terdengar dari nada bicaranya, gadis itu terlihat bersemangat jika disuruh keluar kelas.

Mereka berdua pun keluar dari kelas, dan melaksanakan hukuman mereka.


“Pengen nyungsep gue anjir,” cercah Chacha dibawah teriknya sinar matahari setelah beberapa saat berada di tengah lapangan upacara.

“Lemah lo.” cibir Tisya sambil terkekeh.

Tisya menyadari bahwa teman barunya itu sedang lemah. Ia hanya ingin diam, dan ingin mendengar keluhan dari mulut Chacha sendiri. Karena jika Chacha dan Vanila mengeluh padanya, ia merasa bahwa dianggap sebagai seorang teman. Keberadaannya diterima.

***

ToBeContinue...

MATCHASA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang