Alana berdandan sangat cantik malam ini. Pada dasarnya ia memang suka berdandan seperti cewek kebanyakan. Tapi ia malu kalau Edgar, Juki dan Cahyo meledeknya.
Ia sedang menunggu kedatangan Adrian di teras, sesekali ia merapikan poninya. Matanya terbelalak ketika melihat Edgar datang.
"Lan, mau ke mana?"
"Mau, em ... Mau jalan sama Adrian." Alana menjawab terbata.
"Katanya dia buaya?" Edgar menyindir Alana yang beberapa hari lalu menangisi Adrian.
"Gue cuma salah paham waktu itu."
"Jalan ke mana?"
Alana kesal dengan sifat kepo Edgar. Tidak hanya Edgar, sahabatnya yang lain juga begitu. Edgar, Juki dan Cahyo akan selalu menanyainya perihal cowok yang sedang dekat dengannya.
"Makan malam aja." Alana menjawab malas.
"Gue ikut boleh?"
"Mau apa lo, mau jadi setan?" Alana tak habis pikir dengan permintaan Edgar. Dipikir dia adik Alana yang masih balita apa?
"Lana."
Alana menoleh, tampak Adrian datang dengan motor sport mahalnya. Edgar menatap sinis ke arahnya. Begitupun Adrian, ia kurang senang melihat Edgar ada di rumah Alana.
"Gar, gue berangkat dulu, ya." Alana pergi meninggalkan Edgar. Ia segera naik ke boncengan Adrian. Ia tidak berpamitan pada bundanya yang sedang menghadiri pengajian di komplek sebelah.
"Hati-hati, Lan." Edgar menatap kepergian Alana dengan pandangan hampa.
Edgar memutuskan untuk pulang saja, lagipula bunda sedang tidak ada di rumah. Ketika akan menaiki motornya tiba-tiba bunda datang dengan membawa nasi kotak.
Rupanya pengajiannya telah usai, beliau menyuruh Edgar duduk dan memakan nasi kotaknya.
"Gar, kamu kenal sama Adrian?"
Edgar hampir tersedak mendengar pertanyaan bunda. Ia segera meraih teh hangat yang sudah disediakan bunda untuknya.
"Dia pembina eskul PALA di sekolah, Bun." Edgar menjawab sekadarnya.
"Alana kayaknya suka sama dia."
Edgar tertegun mendengar cerita bunda. Lagi dan lagi hatinya merasa resah ketika mendengar Alana menyukai cowok lain. Mengapa selalu begini, ia sendiri tak mengerti. Seharusnya ia senang kalau sahabatnya itu berbahagia.
Hanya saja ia takut dan trauma. Kalau tiba-tiba Alana datang padanya kemudian menangisi kisah cintanya yang kandas. Entah mengapa hatinya ikut sakit. Walaupun sebulan setelahnya Alana akan kembali ceria, bahkan sudah menemukan gebetan lain.
Alana memang tipe cewek yang periang dan gampang jatuh cinta, serta gampang juga move on-nya, syukurlah.
"Tiap hari mereka telponan, dia juga sering main ke sini."
"Oh, ya?" Edgar berdoa dalam hati, semoga setelah ini ia tak akan melihat Alana menangis lagi.
***
Adrian membawa Alana ke restoran roof top hotel berbintang. Alana sudah panas dingin memikirkan tagihan makanan yang baru saja mereka santap. Ia takut uangnya tidak cukup.
"Lana."
"Iya."
"Lana ...."
"Apa sih, Mas?" Alana canggung memanggil Adrian seperti itu, yang tadi itu reflek saja. Masa ia harus memanggil nama saja, kan tidak sopan? Lagipula Adrian lebih tua darinya.
"Mau manggil aja." Adrian tersenyum tampan.
"Ish, aneh."
"Saya senang menyebut nama kamu."
"Kenapa?"
"Seneng saja."
"Lebih baik kamu nyebut nama Allah, Mas. Istighfar gitu, pasti dapat pahala." Alana nyeletuk bebas.
"Kamu sadar dikit, dong! Saya lagi gombalin kamu." Adrian kesal bercampur malu mengucapkannya.
"Kok aku nggak ngerasa digombalin, ya?" goda Alana. Dalam hati ia merasa gemas dengan sikap Adrian yang malu-malu.
"Kamu nggak suka digombalin ternyata." Adrian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Suka, tapi gombalan Mas itu garing." Alana semakin senang meledek Adrian, kini wajah cowok itu terlihat sangat lucu.
"Ya sudah, saya mau to the point saja."
"Apa?"
"Kamu mau jadi pacar saya?"
"Hah?" Alana terkejut dengan pertanyaan Adrian. Ia tak menyangka Adrian akan menembaknya secepat ini. Ia memprediksi acara pendekatan ini setidaknya berlangsung selama satu bulan.
"Jawab, Lana." Adrian kesal, bukannya menjawab Alana malah melamun.
"Mas, apa nggak kecepatan? Kita baru kenal dua minggu."
"Jadi kamu nolak? Ya sudah."
Alana kesal karena Adrian terlihat tidak niat mengutarakan perasaannya. Lihat saja, sekarang pria itu malah melanjutkan makan puding.
"Mas, kok pasrah gitu? Kalau di novel-novel itu lakinya maksa. Kamu jadi pacar aku, nggak ada penolakan, gitu!" Alana menggerutu karena kesal dengan sikap pasrah Adrian.
"Saya nggak mau memaksa orang buat jadi pacar saya." Adrian berkata datar.
"Ah, Mas terlalu pasif." Alana mencebik kesal.
"Kamu yang terlalu ribet. Terima saja apa susahnya?" Adrian ikut kesal dengan Alana. Apa maunya, kalau mau terima ya terima, enggak ya enggak. Kenapa dia malah kesal?
"Gengsi, Mas."
"Terus maunya gimana?"
"Di novel itu biasanya si cewek minta waktu buat mikir."
Alana teringat dengan alur sebuah roman yang pernah dibacanya, bedanya cewek dalam roman itu ditembak di atas kapal pesiar. Romantis sekali, ia juga ingin seperti itu.
"Ini real life, kenapa harus disamakan novel. Saya suka kamu, kamu juga suka saya 'kan? Apa saya salah?"
"Kamu nggak salah, aku memang suka kamu, tapi ...." Alana ragu menjawab pertanyaan Adrian. Apakah ia akan tahan menjadi pacar Adrian yang dingin dan maunya serba praktis ini. Alana jadi ragu.
"So?"
"Kita sekarang jadian." Alana memutuskan untuk menerima cinta Adrian.
"Gitu 'kan simpel."
"Tapi nggak romantis, Mas." Alana merajuk, masih memimpikan ditembak seperti pemeran wanita di roman. Walaupun tidak di atas kapal pesiar juga, sih.
"Lana, mungkin saya memang bukan pria romantis. Tapi saya akan berusaha mencintai kamu dengan sebaik-baiknya."
Alana terhipnotis dengan ucapan Adrian, ia sampai tak tau harus bicara apa. Yang barusan diucapkan Adrian itu sangat romantis menurutnya, yah untuk seukuran pria kulkas macam Adrian. Melebihi quotes Fiersha Besari.
"Lana?" Adrian heran melihat Alana yang tampak seperti orang ling lung.
"Aku lagi blushing, Mas."
"Oh."
Alana kesal karena Adrian menanggapi 'oh' saja ucapannya. Setelah itu pria itu malah fokus ke pudingnya.
"Udah, blushing-nya? Makan puding kamu, setelah itu kita pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.