BAGIAN 1

197 9 0
                                    

"Oaaa...! Oaaa...!"
Senja yang semula hening, pecah oleh suara tangis bayi. Penghuni baru jagad raya ini telah lahir, diiringi desah kegembiraan dan kelegaan ibu sang jabang bayi. Beberapa laki-laki yang semula tegang, tampak menghembuskan napas lega di beranda sebuah rumah kecil di Desa Klawing.
"Lihatlah anakmu, Katmani," ujar seorang laki-laki setengah baya pada laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di sebelahnya.
"Eh! Baik Kang Danubrata!"
Tanpa banyak kata lagi, laki-laki yang dipanggil Katmani bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Gembira di hatinya tak tertahankan lagi. Maka dengan wajah berseri-seri dia hendak menerabas ke dalam kamar. Namun sebelum hal itu dilakukannya...
"Auuu...!"
"Hei, ada apa?! Ada apa, Nyai Kempot?!"
Katmani kaget bukan main ketika tahu-tahu saja satu sosok tubuh menerjangnya. Untung dia cepat melompat ke kiri, sehingga sosok yang ternyata seorang perempuan tua itu tidak menubruknya.
"Itu...! Itu...!" Wanita tua bertubuh kurus dan kedua pipinya kempot yang dipanggil Nyai Kempot menunjuk-nunjuk ke tempat tidur. Tangannya gemetar dan mukanya pucat. Bahkan seketika dia pergi dari tempat ini membawa rasa takut yang amat sangat.
Katmani buru-buru mengikuti pandangan orang tua tadi. Segera dia masuk ke kamar, melihat apa yang ditunjuk Nyai Kempot.
"Astaga...! Tidak! Tidak mungkin...!" bentak Katmani garang. Dia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di tempat tidur.
Katmani seperti orang gila berteriak-teriak tidak menentu sambil meremas-remas rambut. Mendengar ribut-ribut, laki-laki setengah baya yang bernama Ki Danubrata langsung masuk ke kamar segera. Ditenangkannya Katmani. Memang hanya Ki Danubrata saja yang menemani keluarga Katmani di tempat ini.
"Sabar, Katmani! Sabar...! Tenangkan dirimu....
"Tidak! Tidaaak, Kang Danubrata! Coba lihat anak itu, Kang! Coba lihat! Dia pasti bukan anakku!" teriak Katmani tetap saja tidak mau tenang.
Ki Danubrata berpaling. Dan dia segera melihat orok yang berada di sebelah ibunya. Bayi itu memang berukuran diluar batas kewajaran dari bayi biasanya. Dan mungkin hal itu saja masih bisa dimaafkan. Namun wajah bayi itu, memiliki dua muka yang bertolak belakang dan amat mengerikan!
Masing-masing memiliki mulut yang lebar dengan sepasang taring kecil di sudut-sudut bibirnya. Hidungnya lebar dengan lubang besar. Tangannya tidak berjumlah dua, tapi empat. Begitu pula kakinya. Sepasang matanya bulat dengan biji mata hampir melompat keluar.
Ini yang membuat Katmani dan Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi di Desa Klawing kaget setengah mati. Bahkan si orok belum sempat dibersihkan. Tubuhnya masih penuh bercak darah.
"Astaga! Apa yang terjadi...?!" Tanpa sadar seruan kaget pun keluar dari mulut Ki Danubrata, yang juga tetangga dekat Katmani.
"Itu bukan anakku! Bukan anakku...!" teriak Katmani makin kalap.
Laki-laki yang baru saja mendapat putra pertama ini menghampiri wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang tergolek lemah di tempat tidur. Sementara sang jabang bayi tergolek dengan gerakan liar di dekat kaki ibunya. Katmani membungkuk di sisi wanita yang tak lain istrinya.
"Katakan padaku, apa yang terjadi?! Anak siapa dia?! Anak siapa?!" bentak Katmani garang.
"Dia anak kita, Kang...," sahut wanita itu, lirih.
"Dusta! Kau berbohong padaku! Katakan yang sebenarnya! Anak siapa dia?! Meski wajahku tidak tampan, tapi tidak mungkin anakku seperti itu!"
"Ya, ampun... Nyebut, Kang.... Dia anak kita...," sahut istrinya semakin lirih.
Sebenarnya wanita itu pun tidak kalah kaget ketimbang yang lain, sejak Nyai Kempot berteriak tadi, wanita itu sudah merasa terpukul begitu melihat bayinya. Namun sebagai seorang ibu yang merasakan penderitaan mengandung lalu melahirkan, tentu saja dia berusaha menerima meski hatinya amat sedih.
"Tidak! Itu bukan anakku! Itu bukan anakku...!" teriak Katmani seraya menghambur keluar.
"Katmani, tunggu!" cegah Ki Danubrata, seperti tersentak dari keterkejutannya. Ki Danubrata bergegas mengejar keluar. Tampak Katmani berdiri di depan pintu seperti patung membelakangi.
"Katmani...," panggil laki-laki setengah baya ini pelan untuk tidak mengagetkan.
Katmani tak menyahut. Udara senja menjelang malam yang dingin menerpa mereka berdua. Katmani tetap membisu seperti tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Melihat itu pelan-pelan Ki Danubrata menghampirinya.
"Ohh!" Baru beberapa langkah Ki Danubrata tersentak kaget ketika tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka. Mata laki-laki setengah baya itu kontan terbelalak lebar dengan muka pucat pasi melihat sesosok tubuh tegak berdiri pada jarak tiga langkah.
Sosok itu bertubuh kurus dengan pakaian agak besar. Rambutnya yang panjang terurai kelihatan berkibar-kibar. Sebuah tongkat besar tergenggam di tangan kanannya.
"Si..., siapa kau?" tanya Ki Danubrata kaget. Dan tak terasa kakinya mundur selangkah.
"Hi iii hi...! Kau tidak kenal aku?!" Sosok tubuh yang telah berusia sangat lanjut itu menyeringai lebar sambil tertawa nyaring.
Suara wanita tua ini kering dan serak, namun terdengar cukup menyeramkan. Dan tatkala dia mendekat, Ki Danubrata semakin jelas melihat bentuk wajahnya yang pucat. Hidungnya panjang agak bengkok. Matanya cekung dan kedua alisnya bertaut. Senyumnya terlihat menyeramkan.
"Jangan ganggu keluarga ini! Mereka sudah ditimpa kemalangan!" bentak Ki Danubrata memberanikan diri.
"Hihihi...! Apa urusanmu? Aku hanya hendak mengambil cucuku," sahut perempuan tua ini enteng.
"Tidak mungkin!" bentak Ki Danubrata.
"Apa pun katamu, terserah. Aku hendak mengambil cucuku. Dan tidak seorang pun yang bisa menghalanginya!" dengus wanita tua itu.
"Katmani tidak akan mengizinkannya!"
"Katmani? Siapa yang kau sebut Katmani? Lelaki tolol yang berdiri disampingmu itukah?" tunjuk perempuan tua ini sambil tertawa kecil.
Ki Danubrata berpaling pada Katmani. Diguncang-guncangnya tubuh laki-laki yang baru dikaruniai putra itu.
"Sadarlah, Katmani! Jangan kau biarkan dia mengambil anakmul" ujar Ki Danubrata.
Aneh! Katmani sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Bergerak pun tidak. Bahkan pandangannya tampak kosong ke depan. Sepertinya ada sesuatu yang menyihirnya.
"Sadarlah, Katmani! Jangan biarkan wanita itu mengambil anakmu!" bentak Ki Danubrata sambil mengguncang-guncang tubuh Katmani lebih keras.
Namun laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tidak bergeming sedikit pun. Ki Danubrata mulai gelisah. Apalagi ketika matanya kembali menatap tempat perempuan tadi berdiri.
"Heh?! Kemana dia?" desis ki Danubrata, tersentak kaget.
Ternyata perempuan tadi sudah lenyap entah ke mana. Didasari rasa curiga buru-buru Ki Danubrata masuk ke dalam rumah. Benar saja. Ternyata perempuan tua itu telah menggendong bayi yang baru saja dilahirkan.
"Wanita keparat! Letakkan bayi itu. Kau tidak boleh mengambilnya!" bentak Ki Danubrata sengit, sambil menuding.
"Kau tidak akan bisa menghalangiku!" dengus perempuan tua ini seraya mengibaskan tongkat secara tiba-tiba, membuat Ki Danubrata tak mampu memapak.
Bletak!
"Aaakh...!" Tongkat itu tepat menghantam tulang leher Ki Danubrata sampai patah. Karuan saja, laki-laki setengah baya itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental keluar ruangan ini, menabrak pintu. Begitu mencium bumi, dia tidak bergerak-gerak lagi.
"Hihihi...! Kau kira bisa menghalangi keinginan Nyai Warengket?! Dasar kerbau tolol! Rasakan akibatnya!"
Setelah berkata begitu, perempuan tua bernama Nyai Warengket berkelebat dari ruangan ini, dan menghilang begitu cepat. Tak seorang pun yang tahu ke mana putra Katmani dibawa pergi. Bayi itu raib seperti ditelan bumi. Katmani dan istrinya pun lebih memilih diam saat tetangga-tetangga menanyakan perihal anaknya.
Sementara Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi sejak kejadian malam itu, mendadak mengalami gangguan jiwa. Wanita tua itu sering melamun dan kadang ketakutan. Kadang-kadang dia berteriak-teriak sepanjang jalan dengan wajah ketakutan sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Orang segera tahu kalau dia gila. Nasibnya semakin mengenaskan, karena beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan di pinggiran sawah.

***

183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang