Begitu sinar kelabu menghantam dalam waktu singkat empat buah rumah telah hancur porak-poranda. Penghuninya kontan berteriak-teriak dan berlarian keluar, karena rumah mereka bagaikan tersambar petir.
"Hahaha...!" Gardika tertawa keras penuh kesenangan. Dia tidak berhenti sampai di situ. Kembali tangannya menghentak ke arah rumah-rumah lain yang belum mendapat giliran.
"Tolong...! Tolooong...!" teriak penduduk desa yang rumahnya ambruk tak berbentuk lagi.
Mereka lari serabutan tak tentu arah. Dan kesempatan itu digunakan Gardika untuk membantai mereka kembali. Seketika tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibas-ngibaskan keempat tangannya.
"Hiih!"
Begkh! Duk!
"Aaa...!"
Kedua tangan Gardika bergerak menghantam batok kepala para penduduk satu persatu hingga remuk. Keempat kakinya menyodok perut serta dada sempai pecah. Jerit kematian terdengar sambung-menyambung.
"Lariii...! Selamatkan diri kalian masing-masing!" teriak seseorang.
Agaknya yang lainnya pun tak perlu diberitahu. Sebab dengan sisa-sisa keberanian yang ada, mereka berusaha menyelamatkan keluarga masing-masing untuk kabur ke mana saja. Yang penting berada jauh dari pembuat bencana itu.
Sementara Gardika tenang-tenang saja melihat mereka kabur. Dan dia memang tidak perlu mengejar semuanya. Makhluk ini hanya mengejar ke arah yang dituju sebagian besar penduduk desa yang bergerak lambat. Dalam waktu singkat, Gardika telah menghadang mereka.
"Hehehe...! Mau lari ke mana kalian? Aku tidak akan membiarkan kalian hidup!" teriak Gardika kegirangan.
"Jahanam terkutuk! Apa maumu sebenarnya?!" bentak salah seorang penduduk desa yang berusaha membulatkan keberaniannya.
"Membunuh kalian!" sahut Gardika dengan seringai menggiriskan.
"Dasar kutukan iblis!"
"Hahaha...! Aku tidak peduli apa pun yang kalian katakan yang jelas kalian akan mati di tanganku!"
Setelah berkata begjtu, Gardika langsung mengayunkan dua kakinya kepada dua orang yang berada di dekatnya.
"Uts...!" Kedua orang itu berusaha menangkis. Tapi usaha mereka sia-sia saja karena tenaga lawan lebih kuat. Tangan mereka yang digunakan untuk menangkis seperti habis menghantam besi baja saja. Dan belum sempat mereka berbuat sesuatu, kedua tangan Gardika telah berkelebat cepat menyodok perut dan dada.
Duk! Krek!
"Aaa...!"
Karuan saja, keduanya terpekik dan terjungkal ke belakang tanpa bisa bangun lagi.
Melihat keadaan itu, penduduk yang lain menjerit-jerit ketakutan. Terutama para wanita dan anak-anak. Tapi Gardika tidak peduli. Dia langsung memperbesar jumlah korbannya tanpa ampun.
"Lari...! Lariii...!" teriak beberapa orang.
Tapi percuma saja mereka melarikan diri. Kelompok yang saat ini berjumlah sekitar dua puluh orang berikut wanita dan anak-anak, tidak bisa bergerak bebas. Gardika berkelebat cepat memecahkan batok kepala serta mematahkan tulang-belulang mereka.
"Aaa...!"
Jerit kematian dan kesakitan bercampur jadi satu. Tak seorang pun saat ini yang bisa menolong. Gardika begitu leluasa menghabisi dalam waktu singkat.
"Hahaha...! Mampus kalian semua! Mampus...!" teriak makhluk aneh bertangan dan berkaki empat sambil tertawa lebar.
Sepasang mata Gardika berbinar-binar melihat mayat-mayat bergeletakan bermandi darah. Namun sesaat kegembiraannya berganti. Wajahnya sedikit murung.
"Brengsek! Nenek tentu tidak akan senang melihat hasil latihanku ini. Mereka sama saja seperti batang-batang pohon itu. Lemah tidak berdaya!" gerutu makhluk ini kesal, seraya melangkah. Baru saja Gardika beberapa tombak melangkah....
"Jahanam terkutuk! Apa yang kau perbuat terhadap mereka?!"
Mendadak terdengar bentakan keras dari arah samping. Gardika berhenti dan langsung menoleh. Bibirnya yang tebal dengan taring runcing menyeringai pada seorang laki-laki bertubuh besar dan berkumis lebat. Di tangannya tergenggam sebatang golok besar. Wajahnya tampak geram penuh kemarahan, memandang tajam Gardika.
"Aku membunuh mereka. Mau apa kau?!" sahut Gardika tidak kalah garang, begitu laki-laki ini sudah berada dua tombak di depannya.
Dan laki-laki itu kontan tercekat melihat wujud Gardika yang bagaikan manusia iblis dari dasar neraka.
Untuk sesaat, laki-laki berkumis lebat itu tidak mampu bersuara. Dia memandang makhluk di depannya dengan mata terbelalak.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Namaku Gardika."
"Makhluk apa kau ini?"
"Tidak usah tanya-tanya! Mau apa kau ke sini?!"
Mendengar bentakan itu, laki-laki yang baru muncul ini terkesiap. Dan dia kembali teringat pada niat semula. Matanya memandang sekilas pada mayat-mayat yang berserakan di tanah, lalu memandang penuh kebencian kepada Gardika.
"Setahuku, kami tidak bermusuhan denganmu. Lalu kenapa kau bunuh mereka dengan biadab?!" desis laki-laki ini marah.
"Mereka hendak membunuhku. Maka sudah sepantasnya mereka kubunuh," sahut Gardika seenaknya.
"Bohong! Aku tahu, mereka tidak akan sembarang membunuh kalau kau tidak membuat salah lebih dulu."
"Tidak usah banyak bicara. Kalau kau tidak senang, boleh maju menghadapiku untuk menuntut kematian mereka!"
"Huh, sudah tentu! Aku Legowo juga penduduk desa ini. Dan aku juga berkewajiban membantu mereka."
Setelah berkata begitu, laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Legowo ini memutar golok besarnya seraya mendekati.
"Graaakh...!"
Namun sebelum Legowo mulai menyerang, Gardika telah lebih dulu melompat menerkamnya sambil bertariak serak laksana raungan seekor harimau.
"Uts!" Legowo cepat berkelit gesit, sehingga serangan Gardika luput dari sasaran. Namun dua kaki makhluk itu yang lain nyaris menyambar kepalanya, kalau saja tidak menjatuhkan diri.
"Hahaha...! Hebat juga kau. Mungkin orang seperti kau yang dikatakan nenek!" teriak Gardika sambil tertawa-tawa kegirangan.
"Huh! Aku tak peduli dengan nenekmu. Jangan harap kau bisa menyamakan aku dengan yang lain!" dengus Legowo geram, begitu bangkit berdiri.
"Ya! Kau beda dengan mereka. Tapi bukan berarti kau kubiarkan hidup. Kau akan menjadi kawan berlatihku yang cukup lumayan," sahut Gardika terang-terangan.
Setelah berkata begitu, makhluk ini menyerang lagi dengan ganas. Dan kali ini, Legowo dibuat kerepotan. Gerakan Gardika gesit dan mengandung tenaga kuat. Setiap kali angin serangannya menerpa, maka Legowo dibuat gelagapan.
"Yeaaa...!" Laki-laki berkumis lebat itu melompat ke belakang menghindari serangan Gardika yang bertubi-tubi. Makhluk itu tak peduli dan terus mengejar. Kedua belah tangannya menyodok ke dada dan muka. Sementara kedua kaki menghantam ke perut dan pinggang.
Plak! Des!
"Aaakh...!" Legowo hanya berhasil menangkis sekali, karena selanjutnya pukulan serta tendangan Gardika bertubi-tubi menghajarnya. Sambil berteriak kesakitan, dia terjungkal ke belakang.
"Hiiih!" Gardika tak mau membiarkannya begitu saja. Tubuhnya langsung melompat menerkam.
"Uhhh...!" Injakan dua kaki Gardika berhasil dihindari, ketika Legowo bergulingan. Namun dua kakinya yang lain bergerak cepat, menyodok ke perut.
Desss...!
"Aaa...!" Legowo terpekik. Isi perutnya pecah. Dan dari mulutnya muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot seperti hendak melompat keluar.
"Huh! Hanya segitu saja kepandaianmu!" dengus Gardika kesal.
Setelah mendengus beberapa kali, makhluk ini kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Desa Sengon yang telah hampir rata dengan tanah. Dilangkahinya mayat-mayat yang berserakan.***
Kabar tentang pembantaian di Desa Sengon mulai merambah ke mana-mana, terutama di desa-desa di sekitar Hutan Kemojang. Dalam waktu satu purnama saja, seluruh desa di sekitar hutan itu telah dilanda kecemasan yang amat sangat.
Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sejak semalaman Gardika tidak berhenti. Kakinya terus melangkah sambil membuat keonaran di mana saja. Menebar maut untuk sekadar memuaskan nafsu amarah!
Memasuki Desa Demban, Gardika mulai hati-hati. Dia tidak terangan-terangan menunjukkan diri. Dari pengalamannya selama ini, ternyata orang-orang kaget melihat wujudnya.
Letak desa itu tidak berapa jauh dari ibukota kadipaten. Kalau menunggang kuda ke arah timur, maka hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah hari untuk tiba di ibukota kadipaten. Tidak mengherankan kalau desa ini cukup ramai. Penduduknya kebanyakan hidup dari berdagang. Hanya sebagian kecil saja yang hidup bertani dan membuat alat-alat kebutuhan sehari-hari. Namun sepandai-pandainya Gardika menyembunyikan diri.....
"Hei, Makhluk Aneh! Enyah kau dari sini."
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar, ketika Gardika tengah mengendap-endap untuk menyembunyikan dirinya dari tatapan aneh penduduk.
Gardika menoleh, melihat seorang laki-laki bertubuh besar dengan kumis melintang. Baju di bagian dadanya terbuka lebar memperlihatkan otot dadanya yang kuat.
"Bukan urusanmu!" sahut Gardika.
"Kurang ajar! Kalau aku bertanya, maka kau mesti menjawab! Kalau tidak.... Hhh!"
Laki-laki itu menggeram sambil mempermainkan gagang golok pinggangnya. Rupanya nyali laki-laki ini cukup besar juga. Dia sama sekali tidak gentar melihat perawakan Gardika yang menyeramkan.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Tapi kalau kau mau memukulku, aku terpaksa membunuhmu," sahut Gardika.
"Setan!" Laki-laki yang agaknya berwatak berangasan ini menggeram murka.
"Rupanya kau ingin buru-buru mampus di tangan Sudira. Baiklah, akan kukabulkan keinginanmu!" dengus laki-laki ini dingin. Suaranya bergetar menahan marah yang semakin meluap.
Srek!
Secepat kilat laki-laki yang mengaku bernama Sudira mencabut golok. Dia langsung memamerkan kemahiran memainkan senjatanya yang tajam di hadapan Gardika.***
KAMU SEDANG MEMBACA
183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka Dua
AksiSerial ke 183. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.