BAGIAN 2

108 9 0
                                    

Waktu terus berjalan tanpa ada yang bisa menghalangi. Perlahan-lahan Penduduk Desa Klawing telah melupakan kejadian yang menimpa Katmani. Dan sampai hari ini telah genap tujuh belas tahun bayi Katmani terampas dari orang tuanya. Sebagaimana biasanya, sebagian penduduk Desa Klawing yang berdekatan dengan Hutan Kemojang, bermata pencaharian sebagai pencari kayu bakar. Mereka kerap menebangi pohon, lalu hasilnya dijual ke kota kadipaten.
Seperti juga hari ini. Dua orang laki-laki setengah baya tampak mulai memasuki kawasan hutan, seperti tanpa mengenal takut sedikit pun. Padahal Hutan Kemojang tergolong hutan lebat dengan pohon-pohonnya yang besar-besar. Bahkan ada yang tak terpeluk oleh empat orang dewasa.
Namun baru saja memasuki hutan, langkah mereka mendadak terhenti. Kedua laki-laki ini memandang ke sekeliling dengan sinar mata bingung.
Betapa tidak? Kemarin mereka habis dari tempat ini. Namun sekarang, tempat ini telah berubah menjadi porak-poranda, Banyak pohon tumbang tak tentu arah. Bukan karena tebangan kapak. Karena kalau melihat patahan bentuknya tak karuan, patahan pohon bagai patahan yang dilakukan oleh tangan raksasa! Kalau pohon itu tumbang karena petir, jelas tak mungkin, karena yang hangus justru bagian patahan yang terletak di bagian bawah. Tapi oleh apa?
Belum sempat kedua orang itu berpikir lebih jauh, mendadak berkelebat satu sosok tubuh dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka sejauh tiga tombak.
"Heh?!" Mereka kontan terperanjat, melihat sosok yang baru datang. Apa yang terlihat memang sungguh pemandangan tak lumrah. Sosok tubuh yang berdiri tegak dengan sikap mengawasi itu memiliki sepasang muka. Rambutnya tegak berdiri. Kedua telinganya lebar. Sepasang taring mencuat keluar dari sudut-sudut bibirnya. Tangannya berjumlah empat. Demikian pula kakinya. Dari keadaannya, jelas kalau makhluk ini adalah laki-laki yang paling tidak berusia sekitar tujuh belas tahun.
"Siapa kalian?! Apa yang kalian lakukan di sini?!" tanya makhluk aneh ini dengan suara berat dan kasar.
"Eh! Kami..., kami..., adalah penduduk Desa Klawing. Aku Sukmana dan temanku Bantet," sahut salah seorang pencari kayu bakar itu.
Makhluk itu mendekat. Kini jarak mereka hanya terpaut tiga langkah. Wajahnya yang menyeramkan menatap dingin pada kedua laki-laki ini.
"Kenapa kalian ketakutan?" tanya makhluk itu lagi.
"Kami tersesat!" sahut laki-laki yang mengaku bernama Sukmana, tetap berusaha memberanikan diri.
"Tersesat? Di mana rumah kalian?"
"Di Desa Klawing, tak jauh dari sini," kali ini laki-laki bernama Bantet yang menyahuti.
"Siapakah kau? Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sukmana.
"Namaku Gardika. Aku tengah berlatih," sahut makhluk bernama Gardika.
"Berlatih apa?" tanya Bantet.
"Ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan...."
"Ilmu olah kanuragan?!"
Sukmana dan Bantet saling berpandangan. Lalu bersamaan memandang makhluk itu dengan mulut ternganga.
"Ya. Kenapa?"
"Jadi, batang-batang pohon ini semua hasil perbuatanmu?" tanya Bantet, seraya menatap ke sekeliling hutan yang porak-poranda. Demikian pula Sukmana.
"Ya."
Kedua pencari kayu bakar ini mendecah kagum. Dan mereka kembali memandang takjub kepada makhluk itu.
"Apakah kalian tak percaya?"
"Eh! Tentu saja kami percaya. Tapi kedengarannya hebat sekali. Dan...."
Belum lagi selesai kata-kata Sukmana, mendadak Gardika menghentakkan tangan kirinya yang berjumlah dua buah.
Wusss!
Krakkk!
Seketika dari kedua telapak tangan kirinya melesat dua larik cahaya kelabu yang langsung menghantam sebatang pohon sampai ambruk, menimbulkan suara bergemuruh.
"Wah, hebat!" desis Sukmana dan Bantet hampir berbarengan.
"Kalian mau melihat yang lainnya?" tanya Gardika.
"Tentu saja kalau kau tidak keberatan!" sahut kedua pencari kayu bakar bersamaan.
"Nah! Berdirilah di sana!" tunjuk Gardika pada tempat di dekat tumpukan batang pohon yang roboh.
"Eh, untuk apa?" tanya Sukmana sedikit curiga.
"Sudah. Turuti saja!" ujar Bantet.
"Aku curiga, Tet!" ungkap Sukmana berbisik
"Sudah! Jangan macam-macam. Kalau dia marah, bisa habis kita!" sergah Bantet, seraya melangkah ke tempat yang ditunjuk Gardika.
Meski agak berat, akhirnya Sukmana menurut juga. Dia berdiri mepet di sebelah Bantet. Bahkan agak ke belakang, karena khawatir terjadi sesuatu.
"Sekarang lihat!" seru Gardika.
Bersamaan dengan itu, makhluk aneh ini membuat kuda-kuda kokoh. Karuan saja, kedua penebang kayu itu pucat pasti dan amat ketakutan.
"Eh! Ja..., jangan...."
Gardika tak peduli kedua tangan kanannya yang kini dihentakkan.
Wusss! Wusss!
Dua larik cahaya kelabu langsung melesat ke arah kedua penebang kayu ini. Namun begitu, Sukmana yang semula curiga, telah melompat lebih dulu.
Des!
"Aaa...!" Bantet menjerit setinggi langit ketika salah satu cahaya kelabu menghantam dadanya. Sementara cahaya yang lain terus melesat menghantam pohon, karena Sukmana bisa menghindar. Tubuh Bantet yang pendek kekar itu kontan terpental ke belakang dengan dada remuk. Lalu dia membentur batang pohon. Dan begitu jatuh ditanah, Bantet mati saat itu juga.
"Jahanam! Kau telah membunuhnya. Apa salah kami kepadamu?!" bentak Sukmana kaget begitu bangkit dan melihat kejadian itu.
"Kalian kesini. Dan itu satu kesalahan!" sahut Gardika enteng sambil tersenyum-senyum.
"Sekarang giliranmu!"
Mendengar itu, keberanian Sukmana yang baru tumbuh mendadak layu. Tubuhnya kontan gemetar ketakutan.
"Sekarang bersiaplah menerima giliranmu!"
"Eh! Tidak..., tidak.... Ampuni aku.... Jangan bunuh aku...," keluh Sukmana putus asa sambil bergerak mundur.
"Hihihi...! Aku tak peduli meski kau menangis dengan air mata darah sekalipun. Aku pasti akan tetap membunuhmu!" dengus Gardika sambil tertawa menggiriskan. Gardika mengangkat keempat tangannya, siap menghantamkan serangan. "Yeaaa...!"
Dan tanpa belas kasihan, Gardika melesat secepat kilat sambil mengibas-ngibaskan tangan-tangannya bagai sebuah gurita mendapat mangsa.
"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak.... Aaa...!"
Crab! Bret! Bret!
Tak ampun lagi, Sukmana tewas dengan tubuh terkoyak. Isi perutnya terburai berhamburan. Dan darah menggenang laksana banjir. Tubuhnya ambruk sesaat, setelah Gardika melepaskannya.
"Hahaha...!" Makhluk aneh itu tertawa keras sampai menggetarkan dedaunan serta ranting-ranting pepohonan yang berada di sekelilingnya.
"Gardika! Apa yang baru saja kau lakukan?!" Mendadak terdengar suara lantang dari sebelah kiri.
Gardika berpaling ke samping kiri. Dan begitu melihat sesosok wanita tua berlari ke arahnya dengan gerakan gesit, dia segera tahu siapa yang muncul.
"Nenek Warengket...!" seru Gardika sambil membungkuk sedikit.
"Hm....!" Wanita bermata cekung dan berhidung bengkok itu menggumam tak jelas. Tangannya membawa tongkat besar. Rambutnya dikonde asal-asalan. Sepasang matanya tajam memandang dua bangkai manusia yang menjadi korban kekejaman Gardika.
"Kaukah yang membunuh mereka?" tanya perempuan tua yang tak lain Nyai Warengket.
"Iya, Nek! Hebat, bukan?!" sahut Gardika bangga.
"Huh! Apanya yang hebat? Mereka bahkan lebih lemah ketimbang batang kayu yang kau jadikan kawan berlatih!" dengus Nyai Warengket meremehkan.
Gardika memandang wanita tua itu dengan wajah tak mengerti.
"Lalu siapa yang mesti menjadi sasaran latihanku. Nek?"
"Mereka yang memiliki kehebatan hampir mirip denganmu. Bisa bergerak lincah, baik menyerang maupun menghindar. Bertenaga kuat dan berani melawan. Bukan kerbau-kerbau seperti mereka!" jelas Nyai Warengket.
"Di mana orang-orang seperti itu bisa kutemui, Nek?" tanya Gardika penasaran.
"Di luaran sana!" tunjuk perempuan tua itu jauh melewati hutan ini.
Gardika memandang arah tangan Nyai Warengket.
"Apakah disana bentuk mereka sama seperti kedua bangkai ini, Nek?" tanya Gardika, seraya menoleh kembali ke arah neneknya.
"Ya."
"Seperti Nenek juga?"
"Apa maksudmu?"
"Punya satu muka, dua tangan, dan dua kaki?"
"Sudahlah! Jangan bertanya macam-macam! Aku tahu kemana pertanyaanmu selanjutnya!" tukas Nyai Warengket.
"Tapi Nek.... Siapa kedua orang tuaku? Di mana mereka?" lanjut Gardika tak peduli.
"Sudah kukatakan berkali-kali! Mereka sudah mati. Apakah kau tidak mengerti?!"
"Di mana kuburannya jika mereka telah mati?"
"Tidak ada!" sahut perempuan tua itu, kesal.
"Kenapa tidak ada. Nek?"
"Kenapa kau banyak bertanya? Orang tuamu mati ditelan banjir. Dan mayat mereka hanyut dibawa air bah entah ke mana!" sahut Nyai Warengket asal jadi.
Gardika terdiam. Kendati begitu, dia merasa belum puas. Apalagi bila menyadari keadaan tubuhnya yang aneh. Gardika yakin kalau keadaan dirinya sebenarnya sama dengan neneknya. Punya dua kaki dan dua tangan. Namun takdir menentukan Iain. Keadaan tubuhnya benar-benar di luar batas kewajaran.
Nyai Warengket memang pernah bercerita kalau ke dua orang tua Gardika juga manusia biasa seperti dirinya. Namun perempuan tua ini tidak suka kalau bicara soal kedua orang tua Gardika. Dia akan menjawabnya dengan ketus. Dan kalau terus didesak, dia akan marah-marah dan ngamuk.
"Nenek ingin agar aku berangkat sekarang?" lanjut Gardika mengalihkan perhatian, karena merasa sungkan pada perempuan tua ini.
"Kapan lagi? Kau sudah kubekali ilmu-ilmu kedigdayaan. Kesaktianmu hebat. Dan tenagamu kuat. Mereka tidak akan bisa mengalahkanmu!" sahut Nyai Warengket, membentak.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang. Nek...!"
Setelah berkata begitu Gardika ngeloyor pergi. Nyai Warengket memandang kepergian Gardika sambil tersenyum senang.
"Hihihi...! Sebentar lagi mereka akan melihat kehadiran neraka yang kuciptakan. Baru tahu rasa orang-orang itu!" desis perempuan tua ini.

183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang