BAGIAN 5

104 9 0
                                    

Seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung mempercepat laju kuda hitamnya ketika matahari hendak tergelincir ke barat. Siang terik telah terlewati. Dan bayangannya di tanah kini bertambah panjang. Sementara hutan di sampingnya belum juga habis dilewati.
"Hhh.... Sebentar lagi aku tiba di sana," gumam pemuda itu.
"Ayo, Dewa Bayu! Percepat larimu. Kita mesti tiba secepatnya di sana!"
"Hieee...!" Kuda berbulu hitam yang dipanggil Dewa Bayu meringkik halus seraya mempercepat larinya, membuat rambut panjang pemuda itu berkibar-kibar. Di samping, tampak batang-batang pohon terlihat seperti berkejar-kejaran.
Namun mendadak kuda itu menghentikan larinya ketika di depan terlihat mayat-mayat bergelimpangan. Dengan gerakan indah sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat turun. Langsung dihampirinya mayat-mayat itu.
"Ohhh...!" Terdengar erangan lemah.
Rangga menoleh, melihat seorang yang bergelimpangan menggeliat. Cepat dihampirinya orang itu dan diperiksa lukanya.
Tulang dada orang itu tampak remuk. Tubuhnya tergenang darah. Lukanya cukup parah, namun daya tahan tubuhnya hebat sekali.
"Kisanak! Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini semua?" tanya pemuda itu.
"Makhluk itu...," sahut laki-laki berusia empat puluh tahun yang tengah sekarat.
"Siapa yang kau maksudkan?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Namanya Gardika..."
"Gardika! Makhluk bermuka dua, bertangan dan berkaki empat itu? Hm.... Jadi benarkah yang kudengar tentangnya?"
Laki-laki yang tengah sekarat itu tak kuasa menjawab. Kepalanya sudah terkulai lemah. Dan napasnya putus sudah.
Pemuda berbaju rompi putih ini menghela napas. Mayat-mayat disekitar tempat ini mempunyai luka yang hampir sama. Dada remuk dengan perut pecah. Sebagian batok kepala mereka retak.
"Sungguh terkutuk dia!" desis pemuda ini, geram setengah mati.
Pemuda itu bangkit berdiri. Dihampirinya kuda hitamnya. Dan dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda.
"Ayo, Dewa Bayu bawa aku secepatnya ke tempat tujuan! Heaaa...!"
Seketika, kuda itu kembali berlari sekencang-kencangnya, menerobos pinggiran hutan.

***

"Aku telah tiba di rumah Balung Perkasa...," gumam pemuda berbaju rompi putih di atas punggung kuda hitam bernama Dewa Bayu.
Pemuda tampan ini memang telah berada di depan sebuah rumah berpekarangan luas. Tampak dua penjaga berdiri tegak memegang tombak mengapit pintu gerbang.
"Maaf, Kisanak! Inikah kediaman Ki Balung Perkasa?" tanya pemuda ini.
"Betul. Siapakah Kisanak? Dan ada keperluan apa dengan Ki Balung?" tanya seorang penjaga.
"Namaku Rangga...."
"Ah! Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?!" tukas penjaga itu dengan wajah kaget.
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk.
"Kalau begitu silakan, Pendekar Rajawali Sakti! Majikan kami telah menunggu!" sahut penjaga itu, penuh hormat.
Pendekar Rajawali Sakti turun dari kudanya. Salah seorang penjaga mengambil tali kekang kudanya dan membawanya ke istal. Sementara yang bicara dengan Rangga tadi membawanya ke pendopo utama. Di pendopo, Rangga diperkenalkan dengan seorang abdi dalem yang menjadi pembantu Ki Balung Perkasa.
"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti!" ucap laki-laki setengah baya berusia sekitar empat puluh lima tahun.
"Terima kasih, Paman," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ramah.
"Beliau memang sudah menunggu bersama yang lainnya."
"Hm, beliau mengadakan semacam pertemuan para pendekar, Paman?"
"Begitulah kira-kira...."
"Berapa orang yang berada di sana?"
"Enam orang, termasuk beliau sendiri."
Rangga mengangguk. Kini mereka telah berada di depan pintu sebuah ruangan besar yang berlantai kayu jati. Dinding di dekat pintu penuh ukiran-ukiran indah dan menarik.
"Sebentar aku ke dalam untuk memberitahu beliau," kata abdi dalem itu.
Pendekar Rajawali Sakti kembali mengangguk. Kemudian orang itu lenyap di dalam ruangan. Sementara, Rangga tampak mengagumi keadaan di sekitar tempat ini.
"Hm, aku berani bertaruh kalau Ki Balung Perkasa ini seorang kaya lagi berpengaruh. Mungkin juga pembesar kerajaan yang memilih tinggal di perkampungan sepi ini," gumam Rangga.
Tengah asyik Pendekar Rajawali Sakti mengagumi keadaan di tempat ini, abdi dalem tadi telah kembali.
"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti. Beliau telah menunggu...," ucap laki-laki itu.
"Terima kasih." Tanpa ragu-ragu Rangga masuk ke dalam. Dan abdi dalem tadi menutup pintu. Rangga sedikit tercekat. Tempat yang dimasukinya ternyata bukan sebuah ruangan besar seperti yang diduga, melainkan sebuah lorong gelap.
"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Rajawali Sakti pelan dan agak kesal.
"Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti! Silakan masuk ke ruanganku!"
Mendadak terdengar satu suara, namun tidak ketahuan wujudnya. Rangga memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya hanya kegelapan.
"Kenapa malu-malu Pendekar Rajawali Sakti. Silakan datang ke tempat kami!" lanjut suara tadi.
Pemuda itu tersenyum ketika mengetahui maksud Ki Balung Perkasa.
"Hm... Orang tua ini agaknya hendak mengujiku...."
Set! Set!
"Heh?!" Rangga tersentak ketika mendadak melesat beberapa sinar putih keperakan ke arahnya.
"Hup!" Cepat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Namun beberapa sinar putih keperakan yang tak lain adalah senjata rahasia terus menerjangnya.
Tap! Tap!
Dengan mengandalkan penglihatan serta pendengaran yang tajam, beberapa senjata rahasia berupa pisau kecil dapat ditangkap lewat sela-sela kesepuluh jari Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiih!" Dengan kecepatan luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti menyentakkan pisau-pisau kecil itu ke arah datangnya tadi. Seketika terdengar beberapa orang kalang kabut menghindari serangan balik itu.
Belum lagi habis serangan gelap barusan, mendadak terasa sesuatu mendesis dari segala arah. Samar-samar Pendekar Rajawali Sakti melihat asap putih bergerak cepat mengurungnya.
"Hm...." Rangga merapatkan kedua telapak tangannya dengan kuda-kuda kokoh.
"Aji Bayu Bajra...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil menghentakkan kedua tangannya. Dia segera memutar tubuhnya, seraya terus mengarahkan aji 'Bayu Bajra' hingga seperempatnya.
Wuusss!
Bersamaan dengan itu, bertiup angin kencang bagai topan yang bergerak cepat, melabrak asap putih yang mengurungnya. Bahkan hebatnya lagi, ruangan ini terasa bergoyang-goyang seperti dilanda gempa. Benda-benda yang berada di ruangan berpindah tempat, terpental, dan pecah karena terjatuh.
"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti!"
Kembali terdengar suara. Dan Rangga pun menghentikan tindakannya. Tidak berapa lama kemudian mendadak ruangan ini menjadi terang menderang, karena jendela-jendela yang mengelilinginya terbuka lebar dari luar. Cahaya obor menyeruak ke dalam. Dan dari beberapa buah pintu, muncul orang-orang bersenjata lengkap.
Pendekar Rajawali Sakti tenang saja. Matanya tertuju ke depan, pada seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya sederhana. Dia didampingi beberapa orang yang agaknya anak buahnya. Orang tua berwajah polos tanpa jenggot dan kumis itu tersenyum ramah seraya melangkah lebar menghampiri.
"Selamat datang di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti!" sambut orang tua ini.
"Terima kasih, Ki Balung Perkasa! Keramah-tamahanmu telah kurasakan dengan baik," sahut Rangga.
Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun Rangga yakin dialah pemilik tempat ini. Dan ternyata benar Ki Balung Perkasa.
"Hahaha...! Maafkan penyambutanku yang tidak semestinya. Telah kudengar nama besarmu dari jauh-jauh hari dan menggelitikku untuk membuktikan kebenarannya. Dan permainan kecil tadi telah membuka mataku bahwa apa yang kudengar itu ternyata tidak berlebihan," sahut Ki Balung Perkasa seraya mengajak tamunya keluar melalui salah satu pintu di ruangan ini.
"Apa yang kau dengar kebanyakan cerita bohong yang ditiupkan orang yang tidak bertanggung jawab, Ki. Aku hanyalah seorang yang perlu bimbingan dari orang sepertimu, Ki," sahut Rangga merendah.
Ki Balung Perkasa mengekeh pelan. Kini mereka tiba di sebuah ruangan luas namun sederhana. Di sana telah berkumpul beberapa orang, Bukan enam seperti yang dikatakan orang tadi kepadanya, tapi lebih.
Rangga duduk pada sebuah kursi yang tidak jauh dari Ki Balung Perkasa. Sedang orang tua itu sendiri duduk di sebelah kursi lebar, dan saling berhadap-hadapan dengan tamu-tamunya.
"Para hadirin! Hari ini telah lengkap kedatangan tamu kita yang terakhir, yaitu Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti!" seru Ki Balung Perkasa, lantang.
Rangga bangkit dari kursinya seraya menjura hormat pada tamu-tamu lain. Mereka pun membalas salam hormatnya. Kemudian Ki Balung Perkasa sendiri segera memperkenalkan para tokoh persilatan itu satu persatu kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebagian tentu mengerti, mengapa aku mengundang kalian semua ke tempatku ini. Namun begitu, beberapa lainnya tentu masih diliputi tanda tanya, bukan?" lanjut Ki Balung Perkasa langsung membuka persoalan setelah acara perkenalan selesai.
"Ya, aku juga masih belum mengerti, Ki!" sahut Rangga. "Bisakah kau menjelaskannya?"
"Persoalan ini menyangkut urusan yang belakangan ini terjadi. Yaitu pembantaian yang dilakukan seorang makhluk aneh bernama Gardika," jelas Ki Balung Perkasa.
Orang-orang yeng berada dalam ruangan itu mengangguk-angguk.
"Kerajaan mengutusku untuk membereskan persoalan ini karena dianggap penting. Sebab dalam waktu satu purnama, telah terjadi korban lebih dari seratus orang," lanjut orang tua itu.
"Ya! Sebelum tiba di sini, aku bertemu orang-orang yang menjadi korbannya. Apakah kau mengetahui, apa maksud Gardika membunuh orang-orang itu, Ki?" tanya seorang gadis muda membawa pedang di punggung.
"Alasannya tak jelas, Sekartaji! Tapi beberapa anak buahku mengatakan bahwa orang ini laksana hewan buas. Dia haus darah dan ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Kesulitanku adalah, Gardika bukan orang sembarangan. Beberapa anak buahku yang kuutus membereskannya, banyak yang mati," lanjut Ki Balung Perkasa, menjelaskan pada gadis bernama Sekartaji.
"Lalu apa yang hendak kau rencanakan mengumpulkan kami di sini, Ki?" tanya Rangga.
"Itulah! Pihak kerajaan merasa kewalahan. Bila mengutus para prajurit, dikhawatirkan akan menjadi makanan empuk baginya. Maka itu, aku punya prakarsa mengumpulkan para pendekar agar kiranya sudi membantuku. Dan untuk itu, tentu saja akan ada imbalannya bagi kalian semua," jelas Ki Balung Perkasa.
"Berapa imbalan yang bisa kau berikan kepada kami?" tanya seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan brewok lebat. Dia duduk agak di belakang.
"Apakah dua puluh lima keping emas masih kurang, Aswatama?" Ki Balung Perkasa balik bertanya sambil tersenyum.
"Hahaha...! Benarkah? Itu jumlah yang hebat!" sahut laki-laki bertubuh gemuk dengan senjata golok besar yang dipanggil Aswatama.
Aswatama alias si Golok Terbang tertawa bergelak mendengar jumlah yang disebutkan. Mungkin jumlah itu dianggapnya kelewat besar untuk tugas yang dianggapnya ringan.
"Jumlah itu kelewat sedikit!" Terdengar suara yang bernada meremehkan.
"Hm, berapakah jumlah yang pantas untukmu, Ki Sugala?" tanya Ki Balung Perkasa sambil tersenyum.
Lelaki dengan dahi lebar dan mata agak sipit yang bernama Ki Sugala tersenyum tengik.
"Dia telah membunuh Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti. Padahal kita tahu bahwa kedua orang itu bukan tokoh sembarangan. Ini membuktikan kalau Gardika bukan orang sembarangan. Maka tugas ini terasa berat dengan mempertaruhkan nyawa. Aku tidak mau dihargai dua puluh keping emas, karena itu bukan harga yang pantas untuk nyawaku. Untukku, paling tidak seratus keping emas!" lanjut Ki Sugala.
"Ya! Kurasa usul Ki Sugala memang pantas!" sambut seorang wanita tua bertubuh kurus dengan rambut kelabu.
Orang-orang persilatan tahu siapa wanita itu. Dia adalah tokoh terkenal bernama Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.
"Harga yang disebutkan Ki Balung Perkasa tidak pantas untuk pekerjaan ini. Kita tidak bekerja sukarela. Tapi menerima upah!" lanjut Nyi Pacet.
"Bukan begitu, Ki Dawala?" Lintah Penghisap Darah menoleh pada laki-laki kumis berhidung panjang.
"Bagaimana, Ki Balung Perkasa? Apakah kau setuju menaikkan imbalan yang kami terima?" desak tokoh yang dipanggil Ki Dawala oleh Nyi Pacet.
Ki Balung Perkasa berpikir sebentar, lalu mengangguk setuju.
"Baiklah.... Aku setuju tiap seorang dari kalian mendapat imbalan seratus keping emas. Berhasil ataupun tidak, kalian akan mendapat imbalan seratus keping emas. Tapi tidak kuberikan sekarang, melainkan nanti setelah pekerjaan ini selesai. Sebagai awalnya, maka kalian kuberi bekal masing-masing tiga keping emas. Bagaimana? Setuju?"
Hampir semua mengangguk mendengar keputusan itu, kecuali Rangga. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, persoalan itu bukan masalah pekerjaan yang perlu imbalan, tapi tanggung jawab seorang pendekar terhadap tindakan kesewenang-wenangan.
"Nah! Kalau begitu kalian boleh mencarinya sekarang juga. Tangkap Gardika hidup atau mati. Dan bawa ke sini!" lanjut Ki Balung Perkasa.
"Beres, Ki!"
Ki Balung Perkasa bertepuk tangan. Maka dua anak buahnya mendekat seraya membawa sekantung uang.
"Siapa saja boleh maju bergiliran untuk menerima bagian bekalnya!" lanjut Ki Balung Perkasa.
Maka satu persatu para tokoh persilatan itu maju ke depan. Setelah mengambil bekal, mereka segera berlalu diantar para pengawal Ki Balung Perkasa.
Melihat itu Rangga tenang-tenang saja. Dia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan setelah semuanya selesai mendapat bagiannya.
"Kenapa kau tenang-tenang saja, Pendekar Rajawali Sakti? Apakah tidak ingin mengambil bagianmu?" tanya Ki Balung Perkasa, heran.
"Kedatanganku ke sini adalah memenuhi undanganmu. Dan itu bukan berarti aku mesti memenuhi permintaanmu. Apalagi sampai mematuhi perintahmu," sahut Rangga datar.
"Maafkan kalau kau merasa tersinggung karena kejadian ini, Rangga...," ucap Ki Balung Perkasa, jadi tidak enak sendiri.
"Tidak mengapa. Aku belum mengenalmu lebih jauh. Dan juga tidak tahu, siapa kau sebenarnya sampai mendapat kepercayaan dari kerajaan sehingga mengurusi soal ini?"
"Aku penasihat Kerajaan Girilayu ini. Juga penasihat pribadi Gusti Prabu Arga Sena. Beliau sendiri yang memberi mandat kepadaku untuk menyelesaikan persoalan ini. Aku punya surat perintah untuk itu," jelas Ki Balung Perkasa.
"O, begitu? Baiklah. Kalau begitu, aku mohon pamit dulu, Ki."
"Tunggu dulu, Rangga! Apakah kau bersedia membantuku?" cegah Ki Balung Perkasa.
"Bantuan apa yang bisa kuberikan?" tanya Rangga sambil melangkah menuju ke depan.
"Menumpas Gardika," sahut Ki Balung Perkasa, terus membuntuti.
Rangga tersenyum.
"Itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, Ki. Perbuatannya tidak bisa dimaafkan," kata Rangga.
"Ah! Terima kasih, Rangga! Aku amat menghargai bantuanmu ini."
"Tidak usah terlalu berlebihan, Ki. Aku mengerjakannya karena sukarela. Bukan ingin imbalan darimu."
"Kau memang pendekar sejati, Pendekar Rajawali Sakti!" puji Ki Balung Perkasa.
"Jangan kelewatan memujiku, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Kalau begitu aku pamit dulu," sahut Rangga setelah melihat kudanya dibawa ke halaman depan pintu keluar ruangan yang dimasuki tadi.
"Aku tidak bermaksud memuji, tapi kenyataan!"
Rangga hanya tersenyum lalu melompat ke punggung kudanya. Dan setelah memberi salam hormat dia bergegas menggebah kudanya.
"Heaaa...!"
Setelah melewati rumah itu, Rangga tidak berhenti lagi. Dia terus memacu kudanya untuk segera keluar dari desa ini secepatnya.
Baru saja melewati batas desa, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melambatkan laju kuda. Bahkan pada jarak tertentu, berhenti sama sekali ketika beberapa orang menghadang jalannya.
"Berhentilah sebentar, Pendekar Rajawali Sakti!" seru perempuan tua bertubuh ramping yang membawa cambuk di tangan kanan.
"Nyi Pacet? Ada apa gerangan?" tanya Rangga heran.
Rangga juga memandang yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditemuinya di tempat Ki Balung Perkasa, yakni Ki Sugala, Ki Aswatama, Ki Dawala yang bertampang lucu dengan hidungnya yang panjang, dan Nyi Pacet sendiri.
"Berapa Ki Balung Perkasa memberimu?" tanya wanita tua itu, curiga.
Rangga tersenyum. Dan dia mulai mengerti, apa keinginan mereka yang sebenamya mencegatnya di sini.
"Kalau itu yang kau tanyakan, maka biar kukatakan sejujurnya bahwa aku tidak menerima uang sekeping pun!" sahut Rangga seadanya.
"Dusta! Jangan membohongi kami!" tukas Nyi Pacet sambil berkacak pinggang dan menuding garang.
"Apa maksudmu, Nyi Pacet? Kau bertanya, lalu kujawab dengan jujur. Dan tahu-tahu seenaknya saja menuduhku berdusta!" sahut Pendekar Rajawali Sakti mulai tak senang.
"Ki Balung Perkasa menyambutmu dengan baik. Sementara kami tidak. Dia juga menyuruhmu antri paling akhir, dan menyuruh kami lebih dulu keluar. Itu tidak adil! Kau pasti mendapat bagian yang lebih dibanding kami!" tuduh Nyi Pacet, keterlaluan.

***

183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang