BAGIAN 6

88 9 0
                                    

"Tuduhan itu tidak beralasan. Kalian boleh tanyakan sendiri pada beliau!" sahut Rangga.
"Mana mungkin dia mau jujur! Kalian telah bersekongkol!" tuding Ki Aswatama.
"Terserah apa pendapat kalian. Tapi jangan kira aku menerima tugas yang diberikannya. Ki Balung Perkasa tidak punya hak memerintahku meski dengan imbalan! Bukan sombong. Uang seratus keping emas bisa kudapatkan dengan mudah. Bahkan lebih dari itu. Jadi buat apa mesti minta lebih segala?!"
"Huh, dasar sombong!" dengus Ki Sugala.
"Mulutmu kelewat besar, Anak Muda! Mungkin selama ini kelakuanmu pun sama!" timpal orang yang bernama Dawala.
"Sudah lama aku mendengar namanya yang melejit sampai ke mana-mana. Sehingga kau jadi besar kepala! Kali ini mumpung ada kesempatan, ingin kubuktikan apakah kehebatanmu sama dengan yang dihebohkan orang!" ujar Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.
"Nyi Pacet! Tidak usah memperbesar persoalan kecil. Aku tidak merasa diriku hebat. Itu hanya kabar bohong. Dan orang setuamu kenapa percaya tentang kabar bohong?" tukas Rangga.
"Phuih! Kau coba mengelabuiku? Ayo, cabut pedangmu! Ingin kulihat, sampai di mana keampuhan pedangmu!" bentak Lintah Penghisap Darah.
"Jangan memaksaku, Nyi Pacet..."
"Anak muda! Jangan berlagak di depan kami! Kalau kau takut dikeroyok, maka kami akan menonton pertarungan kalian saja!" teriak Ki Aswatama.
"Ya! Perlihatkan pada kami, kalau kau memang seorang pendekar besar!" timpal Ki Sugala.
"Atau barangkali semua itu hanya omong kosong? Karena sesungguhnya dia hanya seorang badut!" ejek Dawala.
Mendengar ejekan itu rasanya merah juga telinga Pendekar Rajawali Sakti. Dipandangnya Lintah Penghisap Darah dengan tajam.
"Kau yang menginginkannya, maka silakan mulai!" sahut Rangga dingin.
Lintah Penghisap Darah langsung melompat menyerang ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja turun dari kuda. Ujung cambuknya melesat bagai kilat menyambar ke dada.
"Hup!"
Ctar...!
Pendekar Rajawali Sakti keburu melejit ke atas, sebelum ujung cambuk melukainya. Tubuhnya bergulung di udara, lalu meluruk mendekati dengan tendangan kilat.
"Hiyaaa...!"
"Uhhh...!" Nyi Pacet terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Terpaksa wanita itu melompat ke samping sambil menunduk.
"Hiih!" Begitu menjejak tanah, Rangga terus mengejar. Kepalan tangan kanannya meluncur deras ke muka. Sebisanya Lintah Penghisap Darah menangkis dengan telapak kiri.
Plak!
Tapi ujung kaki kiri Rangga telah menyusuli dengan sodokan ke dada.
Wut!
"Setan!" Sambil memaki geram, Nyi Pacet terpaksa mencelat ke belakang. Bahkan cambuknya belum lagi sempat dihempaskan. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah mengejar lewat tendangan beruntun yang harus ditangkis dengan kalang kabut.
Memang bukan hanya wanita tua itu yang sudah jatuh nyalinya melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan kuda-kudanya juga mulai goyah. Dan ketika pemuda itu melakukan gerak tipu dengan menyodorkan kepalan kiri, Nyi Pacet cepat menangkis.
Plak!
Namun secepat itu pula Rangga berputar ke kiri. Sementara kaki kanannya menyapu pinggang dengan gerakan indah dan cepat. Sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!" Nyi Pacet mengeluh kesakitan, ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di pinggangnya.
"Kurang ajar!" maki Lintah Penghisap Darah geram, berusaha tegak berdiri dengan mantap. Sorot mata perempuan tua ini tajam memandang Pendekar Rajawali Sakti penuh kebencian.
"Kurasa urusan ini disudahi saja," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu Rangga hendak berbalik menghampiri kudanya....
"Berhenti kau, Bocah!" bentak Lintah Penghisap Darah, garang.
"Ada apa lagi, Nyi Pacet?" tanya Rangga sambil berbalik dengan malas-malasan.
"Apa kau kira begitu mudah menyelesaikannya begitu saja? Aku belum kalah, Bocah!" dengus Nyi Pacet.
"Lalu apa lagi maumu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Kau belum merasakan jurus-jurusku yang lain! Bersiaplah menerima jurus 'Lintah Mengerubung Kerbau'!"
Setelah berkata begitu, Nyi Pacet bersiap menyerang dengan menggunakan jurus andalannya.
"Yeaaa...!"
Cambuk perempuan ini mulai berputar-putar. Dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya siapmenyusul bila serangannya gagal.
"Hup!" Ctar!
Begitu bergerak, cambuk Lintah Penghisap Darah langsung mengincar pada jalan kematian di tubuh Rangga. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya. Kali ini, agaknya perempuan tua itu hendak menggunakan siasat penyerangan jarak jauh untuk merepotkan lawan.
"Hup! Heaaa...!"
Tapi Rangga akhirnya tidak mau berlama-lama. Langsung dikerahkannya gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Jurus yang mengutamakan kecepatan bergerak dan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi ini memiliki keampuhan untuk mengecoh.
"He, kurang ajar!"
Ctar! Ctarrr...!
Nyi Pacet menggeram kesal. Cambuknya bergerak ke segala arah, namun tak mampu mengimbangi gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan akhirnya, hanya sia-sia saja yang didapatkan.
"Hiih!"
Sebaliknya serangan balik Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat. Dengan satu gerakan mengagumkan, Rangga meluruk dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya cepat.
Desss...!
"Aaakh...!" Nyi Pacet memekik kesakitan begitu dadanya terhantam kibasan tangan Rangga. Tubuhnya terjungkal ke belakang tanpa mampu bangkit disertai muntahan darah.
"Di antara kita tak ada saling permusuhan, maka jangan kelewat memaksaku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti kesal, seraya meninggalkan Nyi Pacet yang terengah-engah duduk di tanah.
Tapi belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang langsung berdiri menghadang. Bentuk tubuhnya benar-benar mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Dewa Bayu sempat terkejut dan meringkik.
"Hieee...!"
"He, apa ini?!"
"Astaga! Itu Gardika!" desis Ki Sugala, yang pernah mendengar ciri-ciri sosok yang menghadang Rangga.
"Ya! Itu Gardika...!" timpal Ki Dawala.
Sementara Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dia tegak berdiri mengawasi makhluk di depannya, seorang pemuda bermuka dua. Hidungnya besar dengan sepasang taring di sudut bibirnya. Kakinya empat dan tangannya pun empat.
"Kepung dia...!" bentak Ki Aswatama, mengagetkan Rangga yang masih terkesima melihat orang yang belakangan menghebohkan semua kalangan.
Ki Sugala dan Ki Dawala serentak melompat mengepungnya. Sementara dengan tertatih-tatih Nyi Pacet ikut pula menghampiri.
"Untuk sementara lupakan dulu persoalan kita, Anak Muda! Persoalan sebenarnya telah berada di depan mata. Ini yang lebih utama!" seru Ki Aswatama.
"Kita mesti saling bantu-membantu!"
Pemuda itu tidak menjawab. Matanya masih memandang tajam kepada Gardika yang berwujud aneh di depannya.
"Jadi, kaukah yang bernama Gardika?" Tanya Rangga dingin.
"Ya! Kudengar ribut-ribut di sini. Maka aku datang untuk melihatnya. Lalu kulihat kalian bertarung. Dan itu semakin menggembirakanku," sahut Gardika polos tanpa beban.
"Huh! Kami tidak bermaksud membuatmu senang!" dengus Nyi Pacet.
"Hahaha...! Kalau begitu, maka biarkan aku yang mencari kesenangan dengan bertarung melawan kalian!" sahut Gardika cepat.
"Pertarungan seru sampai kalian mampus!"
"Iblis keparat!" umpat Ki Sugala.
"Hahaha...! Kenapa tidak kau saja yang lebih dulu maju?"
"Takut apa aku denganmu?!" dengus Ki Sugala.
Sring!
Secepat itu juga Ki Sugala mencabut pedangnya. Dan dengan waktu yang hampir bersamaan, Ki Aswatama pun mencabut sepasang golok besarnya. Sementara Nyi Pacet telah siap dengan cambuk. Dan Ki Dawala dengan tongkatnya.
"Kenapa kau tidak mengeluarkan senjatamu seperti mereka?" tanya Gardika, pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Nanti akan kuperhitungkan, apakah senjataku perlu untuk dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.
"Hahaha...! Sayang sekali! Padahal aku lebih suka bertarung denganmu. Kulihat kau hebat ketika bertarung dengan nenek peot itu!"
"Akan kita lihat apakah keinginanmu terpenuhi," sambung Rangga, kalem.
"Anak muda! Kenapa banyak mulut segala?! Sebaiknya kita serang saja dia sekarang!" teriak Ki Sugala.
"Ya, silakan dimulai. Biar aku mendapat giliran belakangan saja," jawab Rangga enteng.
"Huh!" Ki Sugala mendengus geram. Dia memang tidak begitu suka pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka begitu mendengar jawabannya, hatinya semakin sebal saja melihat tampang pemuda itu. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan untuk menumpahkan kekesalannya, dia sudah langsung menyerang Gardika.
"Yeaaa...!"
Gardika hanya bergeser ke samping. Tiba-tiba satu tangannya menangkap batang pedang Ki Sugala. Lalu dibetotnya keras.
"Hiih!"
"Ohh...!" Karuan saja, Ki Sugala jadi gelagapan. Buru-buru pedangnya dilepas kalau tak ingin kepalan Gardika menghancurkan batok kepalanya.
"Yeaaa...!"
Namun sebelum Gardika kembali menyerang, Ki Aswatama dan Ki Dawala telah ikut menyerang dengan gencar mengancam ke segala arah. Dan....
Ctar!
Cambuk Nyi Pacet mulai ikut merepotkan Gardika. Tapi pemuda berwajah mengerikan itu bukannya kerepotan. Bahkan ketawa kegirangan.
"Hahaha...! Kenapa tidak sejak tadi saja? Dengan begini terasa lebih seru dan hebat!" teriak Gardika, sombong.
"Huh! Kalau sudah mampus, baru terasa lebih hebat lagi!" dengus Ki Aswatama.
"Hahaha...! Orang-orang seperti kalian tidak membuatku gentar. Tapi malah menggelikan!" ejek Gardika.
"Kurang ajar!" Ki Aswatama menggeram. Golok besarnya bergerak semakin cepat, menyambar-nyambar ke mana saja makhluk aneh ini bergerak.
Tapi Gardika memang tidak kerepotan. Bahkan sesekali terlihat dia berusaha menangkap senjata. Kini justru Ki Aswatama yang terpaksa menghindar, karena tahu kalau goloknya tidak mampu melukai Gardika. Dan sekali-sekali laki-laki bertubuh gemuk itu terpaksa melompat mundur, ketika pedang Ki Sugala yang berhasil dirampas mulai mengancam keselamatannya.
"Graaaugkh!"
Gardika menggeram tatkala tongkat Ki Dawala mengincarnya dari belakang. Pedang di salah satu tangannya berkelebat menangkis, sekaligus mematahkan senjata laki-laki berhidung panjang itu. Tubuhnya bergerak cepat mengirimkan tendangan kilat. Sama sekali tidak dipedulikannya cambuk Nyi Pacet yang mengancam.
Des!
"Aaa...!" Ki Dawala terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan beberapa tulang rusuk patah akibat tendangan Gardika. Sementara cambuk Nyi Pacet sama sekali tidak berarti di tubuhnya.
"Yeaaa...!" Saat itu juga, Ki Aswatama menyerbu dari samping dengan bernafsu.
Trang! Wut!
Dengan cepat Gardika mengibaskan pedang, membabat satu golok yang dipegang Ki Aswatama hingga terpental. Namun tanpa menghiraukan telapak tangannya yang lecet akibat benturan tadi, Ki Aswatama memutar golok yang satu lagi. Kembali dicobanya menebas leher Gardika. Gardika cepat menekuk pedangnya untuk menangkis serangan.
Trang!
Lalu secepat kilat senjata di tangan makhluk aneh ini bergerak memapas pangkal tangan kiri Ki Aswatama.
Crasss!
Karuan saja laki-laki gemuk dengan wajah dipenuhi brewok itu menjerit kesakitan. Dan sebelum dia menguasai diri, perutnya telah mendapat tendangan kuat dari Gardika hingga membuatnya jungkir balik muntah darah.
"Sekarang giliranmu, Tua Bangka Peot!" desis Gardika.
Meski Nyi Pacet kelihatan garang, tapi melihat sepak terjang makhluk aneh itu mau tak mau jadi takut juga, Sesekali matanya melirik Pendekar Rajawali Sakti sambil mengutuk habis-habisan. Pemuda itu terlihat tenang-tenang saja menonton pertarungan. Dan celakanya, Gardika malah belum mau mengusiknya!
"Ayo, cepat! Kenapa diam saja? Apa kau takut mati?!" teriak Gardika mengejek.
"Bangsat! Kau kira aku takut denganmu, he?! Rasakan seranganku!" dengus Lintah Penghisap Darah.
Perempuan tua itu langsung mencelat menerjang dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan yang dikuasainya. Namun dengan empat tangan serta empat kaki yang bergerak selaras, Gardika agaknya sulit ditanggulangi.
Plak! Plak!
Gardika menyambut serangan Nyi Pacet dengan enteng. Kemudian tubuhnya berbalik, seraya mengibaskan pedang. Nyi Pacet terkejut. Terpaksa dia mencelat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Tapi pada saat itu Gardika justru mengejarnya dengan cepat seraya mengirim tendangan beruntun.
Duk! Des!
"Aaakh...!" Lintah Penghisap Darah memekik kesakitan ketika tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dari mulutnya muncrat darah segar. Tulang dadanya patah. Dan sesaat dia hanya menggelepar-gelepar, lalu diam tak berkutik. Entah hidup atau mati.
"Hahaha...! Mereka sudah beres, kini giliranmu!" tunjuk Gardika pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak...! Apa sebenarnya yang kau cari dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa?" tanya Rangga.
"Eh, apa ini? Kenapa malah kau mengajak bercakap-cakap? Aku tidak butuh itu! Ayo, seranglah aku seperti yang mereka lakukan!"
Rangga tersenyum.
"Kelakuanmu sungguh kejam. Tapi semua orang punya alasan untuk melakukan itu. Sayang alasan yang kau miliki kelihatan sederhana. Hanya untuk memuaskan hawa nafsumu belaka. Bahkan hewan buas sekalipun hanya membunuh bila lapar atau terganggu. Tapi kau lebih kotor dari hewan buas mana pun!" desis Rangga.
"Kurang ajar! Tidak usah banyak bicara! Ayo, cabut pedangmu!"
"Karena kau bersenjata, maka biarlah kupinjam senjata kawanku ini!" sahut Rangga seraya meminjam golok besar di tangan Ki Aswatama yang saat itu masih meringis menahan rasa sakit hebat.
"Huh! Dengan senjata apa pun, kau boleh menghadapiku!"
"Silakan!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya tegak berdiri ntienantang.
"Yeaaa!" Gardika bergerak cepat, menerkam. Tapi Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan golok besar di tangannya.
Tak! Trang!
"Uhh!" Gardika yang merasa kulitnya tidak mempan senjata tajam, tidak begitu menghiraukan tebasan golok. Padahal saat itu Rangga bukannya tidak mengetahui kalau Gardika kebal senjata tajam. Tapi meski sekebal apa pun, toh dia pasti akan merasa sakit kalau benda tajam itu membentur tubuhnya dengan keras. Dan itu yang dilakukannya saat ini.
Takkk..!
Mata golok itu menghantam pergelangan tangan Gardika. Namun makhluk aneh ini masih sempat mengibaskan pedang. Rangga cepat menangkisnya.
Trang!
Terasa pedang di tangan Gardika bergetar ketika merasakan tenaga dahsyat membenturnya. Dan belum juga makhluk aneh itu berbuat sesuatu, Rangga telah melepaskan tendangan keras.
Buk!
"Uhh?!" Seketika makhluk aneh itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Dua tangannya memegangi dadanya yang terhantam tendangan Rangga.

***

183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang