BAGIAN 4

95 9 0
                                    

"Kudengar selama sebulan ini kau telah membuat keonaran di mana-mana, Makhluk Aneh! Sekarang rasakan golokku! Telah lama dia tidak menghirup darah segar."
"Hiih!" Sebagai jawabannya, Gardika langsung melepas tendangan kilat, membuat Sudira terkejut.
"Heh?!" Buru-buru Sudira menyabetkan golok. Namun dengan gerakan indah sekali, makhluk aneh itu cepat menarik kakinya. Sehingga senjata Sudira cuma menebas angin. Bahkan kaki Gardika yang lain mendadak menyambar ke tengkuk, membuat Sudira tak mampu berkelit. Dan...
Duk!
"Aaakh...!" Tubuh Sudira kontan tersungkur ke depan disertai jerit kesakitan merasakan tulang lehernya yang seperti mau patah.
"Yeaaa...!"
Baru saja Sudira berhasil menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh, Gardika telah melompat menerkamnya. Meski pandangannya agak kabur dan kepalanya pusing, tapi dia tahu nyawanya terancam. Secepat kilat laki-laki berangasan ini bergulingan sambil menyabetkan golok.
Wuuut!
Gardika tidak berusaha menghindar.
Tak!
Tepat ketika kaki Gardika terhantam golok, sebelah kakinya yang lain menghantam ke pergelangan tangan. Sementara, kaki yang satu lagi menyodok ke perut dengan keras.
Duk!
"Aaakh...!" Kembali Sudira memekik keras ketika isi perutnya seperti diaduk-aduk akibat tendangan itu. Namun yang lebih mengerikan lagi, tatkala makhluk aneh itu melesat ke atas. Setelah berputaran di udara beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan keempat kakinya mengarah ke dada serta perut Sudira.
Bros! Krak!
"Aaa...!" Tulang dada Sudira remuk. Isi perutnya pecah ketika keempat telapak kaki Gardika meluluh-lantakkan tubuhnya. Sudira kontan terkulai lemah dengan darah menggenangi tubuhnya. Mati!
Suara-suara pertarungan tadi, rupanya mengundang perhatian beberapa penduduk yang semula tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Satu persatu mereka datang melihat pertarungan. Dan begitu melihat kematian Sudira yang mengenaskan, mereka benar-benar tercengang.
Betapa tidak? Sudira dikenal memiliki kepandaian cukup tinggi. Namun hanya beberapa kali gebrak, dia tewas mengenaskan. Jadi jelas, berita tentang makhluk aneh ini bukan isapan jempol belaka. Para penduduk yang memang sudah mendengar tentang adanya makhluk aneh itu. Dan sungguh mereka tidak menyangka kalau kesaktian makhluk itu benar-benar menggiriskan.
"Ohhh?!" Orang-orang tampak semakin bergidik ngeri. Yang wanita menjerit-jerit ketakutan, buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.
"Siapa lagi yang mau mengikuti jejaknya?!" teriak Gardika seperti mengejutkan mereka yang tertegun sesaat.
"Kejam...!" desis seseorang.
"Terkutuk! Kabar itu berarti memang benar. Dia makhluk keturunan iblis!"
"Jahanam! Setan berwujud manusia ini ternyata memang suka menyebar petaka di mana-mana!"
"Diam kalian!" bentak Gardika. Makhluk aneh ini tiba-tiba berkelebat cepat dan disambarnya salah seorang penduduk yang berada di dekatnya.
Krep!
Dengan tangan kiri mencengkeram leher baju, tangan kanan Gardika menghantam batok kepala orang itu.
Prak..!
"Aaa...!" Sebelum orang itu sempat berbuat apa-apa, kepalanya sudah remuk terhantam kepalan Gardika yang kokoh.
"Hei?!" Karuan saja, para penduduk semakin ternganga. Kali ini bukan lagi karena takut, namun benci yang menyulut keberanian mereka.
"Aku tidak segan-segan membunuh kalian semua!" dengus Gardika mengancam.
"Kurang ajar! Dia tidak bisa membunuh kita semaunya. Kita mesti melawan!" teriak seseorang, memberi semangat.
"Bunuh dia!"
"Bunuh...!"
Penduduk yang lain pun segera menimpali dengan bersemangat seperti api menyambar minyak.
"Yeaaa...!"
Serentak mereka mengurung, dan langsung mengeroyok Gardika dengan senjata apa saja.
"Gerrr! Keparat! Akan kubunuh kalian semua!" desis Gardika geram dengan tatapan laksana seekor hewan buas.
Tak! Bletak!
"Aaakh...!"
Keempat tangan makhluk aneh ini bergerak menangkis dan menyarangkan pukulan. Demikian pula keempat kakinya. Gardika tidak peduli lagi dengan jerit kesakitan dan pekik kematian. Dalam keadaan seperti itu, dia betul-betul haus darah dan ingin membereskan para pengeroyoknya secepat mungkin.
Duk! Des!
"Aaa...!"
Korban berjatuhan di pihak pengeroyok dengan luka-luka dalam yang amat parah. Dan sebelum jatuh korban lebih banyak lagi.....
"Berhenti...!" Mendadak terdengar teriakan bernada memerintah yang kebetulan sebelum teriakan itu bergema, para pengeroyok pun telah bersiap menyingkir untuk menyelamatkan diri masing-masing. Mereka merasa tidak ada gunannya mengantar nyawa percuma menghadapi makhluk aneh itu.
"Jahanam terkutuk! Agaknya tidak puas-puasnya kau menebar maut di mana-mana!"
Orang yang barusan berteriak adalah laki-laki berusia lanjut, sekitar tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya tidak terlalu besar. Dan sepintas kelihatannya lemah. Namun sorot matanya tajam laksana sembilu memandang Gardika.
"Ki Gendeng Rupa! Hati-hati. Dia berbahaya sekali!" kata seorang penduduk, memperingatkan.
"Hm...!?" Laki-laki tua bernama Ki Gendeng Rupa hanya menggumam tak jelas. Laki-laki tua ini sebenarnya memang seorang tokoh persilatan yang berkepandaian cukup hebat. Tak seorang tokoh pun yang tak mengenal Harimau dari Campa. Dengan jurus-jurusnya yang dahsyat, nama Harimau dari Campa memang telah disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.
"Orang tua busuk.! Apakah kau hendak membela mereka?!" dengus Gardika.
"Entah iblis mana kau ini. Tapi kuperingatkan padamu hentikan semua kekejamanmu sekarang juga!" desis Ki Gendeng Rupa.
"Hahaha....! Enak saja kau melarangku. Kau kira dirimu siapa?" leceh Gardika.
"Hm.... Agaknya kau keras kepala juga. Aku bukan orang sabar meladenimu berdebat. Karena telah kudengar dan sekarang kulihat kekejamanmu. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras. Berdoalah kau, mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosamu!"
"Hahaha...! Kau hendak berbuat apa padaku? Membunuhku?! Orang tua sinting! Kau boleh coba kalau sudah bosan hidup!"
Ki Gendeng Rupa tidak menyahut lagi. Sebagai jawabannya, tubuhnya mencelat menyerang secepat kilat.
"Heyaaa...!"
Gardika sama sekali tidak berusaha menghindar. Dua tangannya bergerak menangkis pukulan Harimau dari Campa yang bertubi-tubi mengincar batok kepala, dada, hingga perut.
Plak!
Wuuttt...!
Bahkan Gardika masih sempat balas menyerang dengan gerakan tidak kalah gesit. Ki Gendeng Rupa penasaran bukan main. Maka jurus-jurus anehnya pun dikeluarkan. Sebentar-sebentar terlihat kedua tangannya mencakar. Dan di lain kesempatan, terkepal sambil menyodok dengan tiba-tiba. Kelihatannya lemah gemulai, namun sesungguhnya mengandung serangan ganas tak terduga.
"Yeaaa...!"
Kedua tangan Harimau dari Campa yang membentuk cakar menyambar wajah Gardika. Sementara sebelah kakinya mengincar tenggorokan.
Namun Gardika melayaninya santai saja. Jurusnya terlihat lemah dan tidak berarti. Tapi karena yang memainkannya Gardika, maka keadaannya jadi Iain.
Keduanya tampak silih berganti menangkis dan menyerang. Sementara Ki Gendeng Rupa tampak mulai kerepotan. Kembali terlihat dia menggunakan cakar, setelah serangan pertama gagal.
Dengan nekat Gardika menahan dengan telapak tangan kiri dan sebelah kaki. Kemudian tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Harimau dari Campa, sambil melepaskan hantaman.
Prak!
"Aaa...!"
Keadaan seperti itu sama sekali tak diduga Ki Gendeng, Rupa. Dia hanya terkesiap sebentar, dan Gardika tak menyia-nyiakan kesempatan. Saat itu juga, batok kepala Harimau dari Campa remuk. Dan langsung berlelehan ke tanah. Ki Gendeng Rupa tewas tanpa disangka-sangka, begitu ambruk di tanah.
"Hehehe...! Siapa lagi yang mau menyusul tua bangka ini?!" tantang Gardika pada yang lain.
"Kami yang berjuluk Sepasang Petani Sakti!"
Pada saat itu juga muncul dua lelaki bertubuh sedang, memakai baju serba hitam. Masing-masing membawa arit dan cangkul. Mereka mengaku sebagai Sepasang Petani Sakti.
"Aku Gumira! Dan temanku Ajidarma!" lanjut salah seorang Sepasang Petani Sakti yang membawa cangkul, tanpa rasa ngeri sedikit pun melihat wujud Gardika.
"Kisanak! Kelakuanmu sudah keterlaluan! Kau telah menebar petaka d mana-mana! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!" bentak laki-laki yang membawa arit.
"Mereka hendak membunuhku. Bukankah kalian pun melihatnya? Maka sudah sepatutnya aku balas membunuh mereka," sahut Gardika, membela diri.
"Kelakuanmu seperti maling. Mana mungkin mereka akan membiarkanmu begitu saja!" desis Gumira.
"Aku tidak mencuri apa pun dari mereka. Maka jangan menuduh sembarangan! Atau kalian akan segera menyusul si tua bangka ini.'" tuding Gardika pada mayat Ki Gendeng Rupa.
"Hehehe....! Boleh jadi kau bisa menepuk dada, setelah mengalahkan Harimau dari Campa. Tapi kami tidak bisa disamakan dengannya.'" sahut Gumira lagi, hendak meruntuhkan nyali Gardika.
"Benarkah?!" tanya Gardika seperti bocah yang mendapat mainan kesukaannya.
"Berarti kalian lebih hebat darinya? Ah! Sungguh kebetulan sekali. Ayo mari kita bermain-main sampai salah seorang ada yang mampus!"
Setelah berkata begitu, Gardika langsung meluruk menerjang Gumira yang jadi terhenyak karena gertakannya tadi ternyata tidak berjalan mulus. Dia berharap makhluk aneh ini ciut nyalinya. Tapi malah kegirangan mendengar mereka lebih hebat dari Ki Gendeng Rupa.
"Hup!" Sambil membuang tubuh ke samping menghindari terjangan tangan kanan Gumira menangkis.
Plak!
Tapi serangan Gardika tidak berhenti sampai di situ. Karena tiga tangannya yang lain telah menyerang secara bergantian. Dan ini membuat Gumira harus jungkir balik menyelamatkan diri. Serangan itu bukan saja sangat cepat, tapi juga terasa mengandung tenaga dalam kuat. Kalau saja menemui sasaran bukan tidak mungkin Gumira akan terluka dalam. Paling tidak tulang-tulang patah.
"Gila!" desis Gumira sambil melompat jauh menghindari serangan yang bertubi-tubi.
"Hehehe...! Tunggu apa lagi? Ayo cabut senjatamu. Dan, ajak kawanmu itu untuk membantu!" tantang Gardika seraya menghentikan serangannya sesaat.
"Huh! Aku sendiri pun masih mampu meladenimu!" dengus Gumira dengan hati panas karena merasa direndahkan.
"Kuberi kesempatan. Dan bila kau tidak menggunakan sebaik-baiknya, maka rasakan akibatnya!" bentak Gardika, begitu menganggap enteng.
"Yeaaa...!" Kembali Gardika mencelat menyerang secepat kilat.
"Hup!" Gumira melompat ke samping. Namun Gardika terus mengejarnya. Maka terpaksa dia menjatuhkan diri. Sambil bergulingan cangkulnya dibabatkan ke tubuh Gardika.
Wuuuttt...!
Melihat lawan mengayunkan cangkul, Gardika maju tiga langkah. Langsung dipapasnya batang cangkul dengan tangan kirinya sampai patah.
Krakkk!
Lalu bersamaan dengan itu, kaki kanan makhluk aneh ini menyodok ke perut.
Desss...!
"Aaakh...!" Gumira kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang. Sementara Gardika terus jungkir balik mengejar untuk menghabisi sekaligus.
"Jahanam...!" desis Ajidarma geram sambil melompat menyerang Gardika untuk menyelamatkan Gumira.
"Hiih!" Meski secepat apa pun gerakan Ajidarma, tetap tak akan berhasil menyelamatkan kawannya. Kedua kali Gardika lebih dulu menghantam dada Gumira.
Jrott!
"Aaa...!"
Terdengar derak tulang-tulang dada Gumira yang patah dan melesak ke dalam. Satu dari Sepasang Petani Sakti terpekik. Nyawanya melayang sesaat kemudian. Pada saat yang sama, serangan Ajidarma meluncur datang. Seketika Gardika mengebutkan tangannya, menangkis.
Plak!
Ajidarma menyeringai ketika tangannya terasa sakit bukan main saat berbenturan. Dan belum lagi habis kagetnya, kedua tangan Gardika telah bergerak silih berganti, berusaha menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Terpaksa dia melompat ke belakang sambil mencabut senjata kebanggaannya.
Sret!
"Yeaaa...!"
"Hehehe...!" Gardika malah tertawa mengekeh melihat Ajidarma menyabetkan senjata ke arahnya.
"Senjata itu tidak berguna di depanku.'" lanjut Gardika sombong.
Kesombongan Gardika memang bukan tanpa alasan. Padahal Ajidarma telah mengerahkan segenap tenaga untuk membabatkan senjatanya. Namun lihai sekali Gardika menghindar. Bahkan serangan baliknya amat mengagetkan. Dengan tiba-tiba, sebelah tangan makhluk aneh ini mencengkeram pergelangan tangan Ajidarma yang menggenggam arit.
"Hiih!" Sekali sentak, tubuh Ajidarma tersuruk ke arah Gardika. Namun laki-laki ini sudah nekat. Daripada mati sia-sia, dia memilih lebin baik mati bersama lawan. Maka dengan mengerahkan seluruh tenaga, tangan kirinya dikepalkan kuat-kuat dan langsung menyodok dada kiri.
Plak!
Gardika membuka telapak tangan kirinya, menangkis serangan. Lalu bersamaan dengan itu, lutut kirinya menyodok ke lambung Ajidarma.
Duk!
"Aaakh...!" Karuan saja, laki-laki itu menjerit kesakitan. Belum cukup sampai di situ, Gardika berkelebat ke atas. Lalu tiba-tiba kedua kakinya menghantam batok kepala Ajidarma.
Prak!
"Aaa...!" Ajidarma terpekik lemah. Tubuhnya sempoyongan sebentar, sebelum akhirnya ambruk tak berdaya di dekat mayat kawannya. Tamat sudah riwayat Sepasang Petani Sakti.
"Ohhh...!" Orang-orang yang melihat kejadian itu dari tempat persembunyian, memandang takjub bercampur ngeri.
"Gila! Manusia seperti apa dia? Kejam dan telengas sekali!" desis seseorang.
"Orang itu pasti keturunan iblis!" umpat yang lain.
Tapi seperti juga yang lain, mereka hanya memaki tanpa berani bertindak. Kalau saja Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti binasa di tangan makhluk aneh itu, maka apa artinya perlawanan mereka?
"Siapa lagi yang mau menyusul mereka? Ayo keluar! Cepat keluar sebelum kuratakan tempat ini!? teriak Gardika garang.

***

183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang