Keputusanku

1.6K 130 20
                                    

Republish.

-000-

Kehidupan tidak melulu tampak sesempurna kelihatannya. Orang bilang rumput tetangga tampak lebih hijau. But you never know.
Membenci apa yang kita miliki dan mengharapkan apa yang orang lain punya, memang sudah menjadi tabiat manusia. Membandingkan kehidupan dengan orang lain, lalu lupa bahwa banyak hal sudah kita miliki yang pantas untuk disyukuri.

Orang yang ku kenal punya segalanya yang dia butuhkan. Dukungan orang tua, materi, dan segala hal yang menggambarkan kehidupan yang nyaman. Tapi dia kesepian, orang-orang tidak melihatnya seperti yang dia harapkan. Dia tumbuh tidak mempercayai siapapun, hanya dirinya sendiri.

Lalu ada yang tampak bahagia dikelilingi teman yang banyak. Tertawa lepas sambil duduk santai di kedai kopi. Menyenangkan sekali punya banyak orang untuk dijadikan tempat bersandar, berkeluh kesah, atau hanya untuk sekadar berbagi cerita. Namun ada rasa khawatir besar yang dia simpan rapat untuk dirinya sendiri, ketakutan akan hari esok, memikirkan bagaimana caranya bersembunyi dari rasa kekurangan. Tawa itu hilang saat ia sampai rumah, karena hanya ada kesengsaraan di sana.

Ada yang beruntung punya keduanya. Keluarga yang hidup nyaman tanpa secuilpun kekhawatiran akan kekurangan, ditambah kehidupan sosial yang penuh dengan kepedulian. Tapi lagi-lagi itu tetap tidak sempurna. Karena dia menyimpan kemarahan, hidup tanpa hak untuk memilih, terbelenggu kasih sayang berlebih yang berubah menyesakkan.

Tidak ada yang sempurna.

Liam membenarkan posisi tasnya saat seorang perempuan berjalan ke arahnya.
“Hari ini dijemput siapa?” tanya perempuan itu sambil matanya melihat ke luar petshop miliknya.

“Bang Izan,” jawab Liam santai sambil merogoh ponselnya yang bergetar di saku celana. “Iya, ini udah mau keluar, kok. Sebentar, mau kunci pintu dulu.” Ia mengangkat alisnya ketika perempuan tadi tersenyum mendengar obrolannya di telepon.

“Kok abang lo yang satu lagi udah jarang jemput?”

“Ulfah, dengerin gue. Bang Temi itu orangnya gak asik, udah gak usah berharap sama dia.”
Perempuan bernama Ulfah itu tersenyum mengejek sambil mengeluarkan kunci dari tas selempang berwarna merah muda yang sedari tadi tersampir di bahunya.

“Idih, siapa yang berharap?” tanyanya menyangkal dengan malu-malu, “lagian abang lo yang namanya Izan itu lebih gak asik.”

Liam terkekeh, melambaikan tangannya kemudian ke arah mobil Ford putih yang terparkir diseberang petshop.

“Orang-orang tuh banyak bilang kalau bang Izan itu lebih asik. Lebih gampang berbaur gitu. Which is gue setuju. Temi itu... Terlalu susah ngebuka diri sama orang baru.”

Ulfah mengangguk-anggukan kepalanya setelah ia memasukkan kembali kunci ke dalam tas, memeriksa pintu Petshop setelahnya untuk memastikan itu sudah terkunci. Matanya kemudian mengarah ke sosok tinggi yang keluar dari mobil di seberang jalan. Sedikit berlari ke arahnya dan Liam yang berjalan santai.

Here we go again,” desah Ulfah yang hanya ditanggapi embusan napas persetujan dari Liam.

“Halo Ulfah,” sapa Izan.

“Bang Izan makin lama makin mirip kayak bodyguardnya Liam tau gak?”

Pria bernama Izan itu hanya tersenyum. Dalam hati bersyukur ketika melihat adiknya tampak masih sehat dengan senyum lebar menghias wajahnya.

“Anak ini gampang kepeleset, harus dijagain terus.”

Liam mengibaskan kepalanya ketika kakak tertuanya itu mengacak rambutnya gemas. Menampilkan wajah geram yang tak pernah tidak ia tunjukan saat diperlakukan seperti tadi.

Until We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang