Kamu Orang Seperti Apa?

408 75 11
                                    

Liam melihat ragu ke arah David, setelah ia kembali masuk ke dalam mobil setelah meminta izin pada Ulfah untuk pergi sebentar. Awalnya Ulfah melarangnya, menyuarakan intuisinya kalau David bukanlah orang baik. Tapi Liam memaksa, meyakinkan Ulfah kalau dia akan baik-baik saja.

“Teman kamu gak apa-apa sendiri?”

Kepala Liam mengangguk, “akhir-akhir ini tempatnya sepi. Jarang ada orang datang.”

“Padahal aku suka penampilan Milky setelah dirapiin sama kamu. Kok bisa tempatnya sepi pengunjung?”

Liam mengangkat bahunya, “mungkin karena hanya ada aku dan Ulfah di sana. Ketimbang cepat, kami lebih memperhatikan kerapian hasil akhir pekerjaan kami, jadi kebanyakan pergi gitu aja sebelum sempat dilayani.”

Mobil David berjalan pelan memotong jalan melewati jalan kecil, menghindari terjebak macet di perempatan depan.

Mereka sama-sama bergelut dengan pemikiran masing-masing, karena rasa canggung yang semakin kental terasa, membuat mereka sama-sama gatal. Karena banyak yang ingin mereka bicarakan.

“Kamu sehat, kan?” tanya David canggung.

Liam mengangguk pelan, “kamu, gimana?”

“Mungkin gak kemarin-kemarin, tapi sekarang aku ngerasa lebih segar.”

“Kamu sakit kemarin-kemarin?” tanya Liam melirik David ragu-ragu.

Bibir David terkekeh, mengacak rambutnya sendiri tanpa alasan, “dada aku sering sakit. Tapi gak apa-apa, sekarang udah gak pernah kambuh.”

“Kamu mau makan ramen buatan aku atau makan makanan lain?” tanya David merubah topik pembicaraan.

“Aku belum lapar.”

“Mau ngopi?”

Kepala Liam menggeleng, menolak.

“Mm, jadi sekarang kamu umur dua puluh, kan?”

Kepala Liam tertunduk. Sadar kalau sekarang dia sangat pasif. Bahkan pertanyaan-pertanyaan David yang ia yakini sudah susah payah pria itu pikirkan hanya dia jawab singkat.

“Iya aku dua puluh sekarang,” jawab Liam pelan sebelum ia mendelikkan matanya saat menyadari kalau ia tidak tahu berapa umur David sekarang, “aku gak ingat kamu umur berapa.”

David tersenyum, memutar kemudi disebuah persimpangan, “aku dua puluh lima sekarang,” jawabnya sambil meraih beberapa bungkus permen dari dasboard mobilnya saat matanya tak lama tadi tak sengaja melirik, menyodorkan pada Liam yang kemudian pria itu ambil satu, “lucu ya. Aku gak pernah cocok berteman sama orang seumuran atau orang yang lebih tua. Malah senang banget temenan sama yang masih bocah kayak kamu.”

Kening Liam merengut tak suka, “aku bukan bocah!” sergahnya tajam agak menekan.

“Ah!” David mendesah, memundurkan tubuhnya sampai kepalanya sedikit mendongkak sambil tersenyum kecut, “maaf. Aku mau ledekin kamu dikit, aku juga gugup tapi apa kamu gak ngerasa ini terlalu awkward?”

Liam setuju. Kenyataan bahwa dia sangat nyaman sekarang, meski tidak banyak pembicaraan antara mereka membuatnya tambah bingung. Benar-benar seperti telah mengenal David selama bertahun-tahun.
Duduk di sini, meski rasanya sangat canggung. Liam tidak keberatan sama sekali.

“Kamu udah punya cewek belum?” tanya David dengan nada meledek, tawanya pecah masuk ke telinga Liam.  Sedikit terkejut karena pertanyaan tersebut.

“Cewek?” ulang Liam dengan suara hampir berbisik.

David menoleh, bergantian melihati wajah Liam dan jalanan di depannya yang mulai ramai setelah keluar dari salah satu jalan kecil.

“Iya, kok kaget?” tanya David agak tidak menduga respon sedemikian rupa yang diberikan Liam, “gak mungkin jomblo, kan? Atau malah playboy?”

Until We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang