Serbuan Ingatan

432 76 13
                                    

Dek?”

Liam mengerjap saat suara Izan terdengar memanggilnya. Hari ini rasanya sangat panjang, yang Liam lakukan hanya melamun sampai Ulfah merasa sedikit khawatir dan menyuruhnya pulang saja sejak siang. Sampai malam hari, menuju ke rumah, semuanya masih lanjut mengganggu.

“Bengong terus. Mau beli martabak, gak?”

Gelengan Liam berikan sebagai jawaban, membenarkan posisi duduknya dengan gelisah dengan pandangan terus ia lempar ke jalanan yang macet.

“Masih marah sama Abang?”

Liam menggeleng lagi.

Izan mengembus napas. Sungguh berat kalau Liam sudah seperti ini, membuat Izan selalu menyesal sudah membuat adiknya itu kesal atau marah setiap diamnya datang.

“Mau apa? Jangan diem terus, dong. Abang sedih.”

“Jawab jujur ya.” Liam tiba-tiba buka suara, agak memiringkan tubuhnya ke arah Izan.

Izan menoleh, “apa?”

“Waktu aku koma dulu. Gak ada kejadian apa-apa, kan?”

Bibir Izan mengcap, “kenapa tanya-tanya itu?”

“Jawab aja.”

Lagi-lagi yang bisa Izan lakukan adalah mengembus napas. Tidak bisa berargumen saat Liam sedang seperti ini.

“Kejadian apa maksud kamu?”

Liam memajukan tubuhnya, wajahnya tampak pucat, urat-urat dikeningnya menonjol, “aku gak pernah hilang ingatan, kan?”

Izan sangat paham kalau adiknya sedang serius sekarang, tapi dia tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk tidak tertawa, “hilang ingatan gimana? Enggak ada yang kayak gitu. Kamu sendiri, ngarasa ada yang kamu gak ingat, emang? You’re fine, okay?”

“Abang yakin?”

“Hm,” gumam Izan mengiyakan, “ada apa emang? Abang bingung, nih.”

Entah kenapa Liam merasa sedih. Seperti ada penyesalan yang tidak bisa ia jelaskan. Matanya bahkan panas sekarang, mengingat kembali wajah David saat pergi dari Petshop tadi siang.

“Aku gak bisa ingat seseorang.”

Suara Liam gemetar menahan buncahan emosi yang tiba-tiba datang. Air mata setetes demi setetes lolos, sampai suara isakan yang tidak bisa ia tahan.

Izan terkejut, mencari tempat aman untuk mobilnya menepi.

“Kenapa, sih, Dek? Cerita makanya.”

Tangan Izan menggapai lengan Liam yang terangkat menutupi wajahnya, suasana kelam yang paling Izan benci. Saat ada air mata yang jatuh.

Setelah ia buka sabuk pengaman, Izan bergerak mendekat, merengkuh tubuh Liam ke dalam dadanya. Mendengarkan pilu rauangan Liam yang tertahan. Ia tidak tahu, ia tidak paham apa yang terjadi. Tapi jauh di dalam hatinya, lagi-lagi ada dirinya sendiri yang ia salahkan.

-000-

“Tolong matikan kompornya.”

David berjalan ke arah meja panjang setelah ia angkat gulungan telur dadar yang selesai ia goreng. Seorang karyawannya bergegas cepat, mematikan kompor gas seperti yang diperintahkan.

Dengan telaten ia potong gulungan telur itu menjadi kecil-kecil, membuat bentuk spiral sebelum ia letakkan beberapa ke atas mie ramen yang mengepulkan asap karena baru dituang dari panci.

Kepalanya miring sambil mendesis saat melihat hasil ramen buatannya, ada rasa tidak puas karena entah kenapa sesuatu seakan hilang.

“Apa dia suka udang?” tanyanya pelan sambil meletakkan tangan di kedua pinggangnya.

Until We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang