Terakhir: Until We Meet Again

582 86 32
                                    


Terakhir

Seoul, 4 tahun kemudian.

Cinta sering kali hanya menjadi seonggok kata tanpa arti. Bagaikan petang yang tidak berpihak pada terang atau gelap, tipuan yang sama juga diberikan oleh cinta. Meski selalu ia jaga hatinya untuk terus mekar untuk seseorang, namun perlahan tapi pasti rasanya hambar tak berisi. Kemana kepercayaannya harus ia labuhkan? Setia berdiri di tempat yang sama atau mencoba membuka kembali hatinya untuk penghuni baru meski sama sekali Liam belum siap.

"Na eolmana gidaryo? (Berapa lama aku harus menunggu?)"

Kepala Liam menoleh ke arah pria tinggi yang tampak sudah berpakaian rapi. Syal biru muda pemberian Liam beberapa bulan lalu melingkar di lehernya untuk menghalau rasa dingin musim salju, tak lupa jaket hitam sepanjang lutut membungkus tubuhnya. Tingginya yang semampai membuat Inho tampak keren mengenakan pakaian apapun, puji Liam dalam hati.

"Dan Ilju-il. (Satu minggu saja.)"

Inho melirik tak percaya dengan ekspresi menggoda, mencibir sebelum mengingatkan Liam memakai mantel yang tebal sebelum siap berangkat ke bandara.

"Inho-ya, nega jinjja gayahae? (Inho, apa aku benar-benar harus pergi?)"

Liam masih ragu apakah ia harus menutup koper yang sudah selesai ia isi dengan keperluan selama seminggu. Tiket pesawat sudah ia pesan sejak satu bulan yang lalu, ia juga sudah atur kegiatan perkuliahannya selama musim dingin, memperbaiki nilai yang kurang di minggu terakhir musim libur.

"Gereom! Jibae gayahae, geneun neo hyungi-ya! (Tentu saja kamu harus pulang. Dia kakakmu!)"

Inho memang orang baik sejak awal. Meski berumur lebih muda satu tahun dari Liam, namun seringkali Liam merasa pria itu jauh lebih dewasa. Tak terhitung seberapa seringnya Liam meminta saran Inho dalam menentukan keputusan penting, dan selalu pria itu memberi masukan yang sangat berguna.

Seperti kali ini meski Liam sudah sempat memutuskan batal pulang ke Jakarta untuk menghadiri acara pernikahan Izan, Inho adalah orang yang mendorongnya untuk menjaga tali silaturahmi dengan keluarga.

Menurutnya, entah kapan di masa depan, pada akhirnya keluarga adalah tempat untuk pulang. Lagipula, acara pernikahan mungkin hanya sekali terjadi seumur hidup bagi seseorang, dan keluarga adalah yang diharapkan menjadi saksi acara bahagia tersebut.

Tapi ada hal yang tidak pernah Liam bicarakan pada Inho, menutup rapat untuk pria itu tahu. Kalau bukan sekadar karena Liam tidak mau bertemu keluarganya, atau karena rasa marah yang masih membekas. Tapi justru rasa takut, takut kalau rasa sakit dari ingatan yang selalu ia simpan rapat dari memorinya kembali menyeruak dan menahannya untuk melangkah maju.

Kalau boleh jujur, Liam masih berharap pria itu mengingatnya. Meski tidak tahu ada di mana dia sekarang, apakah sedang sakit atau sehat? Apa sedang bahagia atau kesulitan? Semua akses pada pria itu seperti digunting putus.

David....

Pria itu bahkan berhenti datang ke mimpinya sejak setahun yang lalu. Membuat Liam mau tidak mau memikirkan hal yang macam-macam.

"Wae geurae? (Ada apa sih?)"

Tiba-tiba Inho sudah duduk bersila di sampingnya ketika Liam tersadar dari lamunan. Matanya yang besar untuk ukuran orang Korea menagih jawaban. Bergumam sekali lagi saat Liam tampak ragu-ragu dengan memberikan senyum canggung.

Liam jelas tahu kalau Inho bukan orang bodoh. Pria itu sadar kalau banyak hal kadang mengganggu Liam, banyak hal juga Liam simpan rapat untuk pria itu, dan juga alasan kenapa sampai detik ini Inho masih belum mendapat jawaban apa-apa.

Until We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang