Almost Heaven

425 75 27
                                    

"It was almost heaven, lovers laying side by side but when we reach forever, will there be a place where you and i may find home? In heaven?"

Liam menepuk-nepuk tangannya setelah dengan iseng ia mainkan tanah yang belum lama David gemburkan untuk menanam biji cabai. Melihat ke arah David yang tengah fokus memasukkan biji-biji cabai ke dalam lubang-lubang kecil.

Sambil berjongkok, Liam lipat kedua lengannya di atas lutut. Menaruh dagunya dengan bibir memanyun karena merasa bosan.

“Aku bosan.”

David menoleh, mendapati ekspresi menggemaskan Liam yang selalu berhasil membentuk senyum di bibirnya.

“Sini bantu aku makanya.”

“Gak seru, ah!” Liam menyentak cepat. Mengirim lirikan sinis ke arah David sebelum ia melihat sembarang ke arah samping rumah mereka yang dikelilingi pepohonan rindang.

Padahal kemarin sejak mereka baru sampai, Liam pikir akan menyenangkan tinggal di desa seperti ini. Bahkan jarak rumah terdekat dari rumah yang mereka tinggali cukup jauh, akan sangat damai pikir Liam.

Tapi ternyata ia salah. Liam sudah habiskan seluruh hidupnya tinggal di kota, menikmati kemajuan teknologi dan hiruk pikuk keramaian di sana. Semalam, mereka bahkan hanya menyalakan satu lampu di kamar. Saking terbatasnya aliran listrik di sini.

“Kalau sekarang aja desanya kayak gini apalagi dulu. Pasti belum ada listrik.”

David terkekeh mendengar gerutuan Liam. Ia putuskan menghentikan aktifitasnya, menghampiri Liam kemudian berjongkok di samping pria itu.

“Aku dulu belajar membaca cuma diterangi lilin.”

“Kok tahan?” tanya Liam spontan, menidurkan kepalanya di tumpukan lengannya sendiri menghadap David.

“Aku lahir di sini. Dari kecil udah kayak gitu, ya terbiasa jadinya.”

Napas Liam terembus seraya mengangguk kecil.

Sekarang tiba-tiba Liam merasa khawatir, karena mereka bahkan belum genap dua puluh empat jam berada di tempat ini dan Liam sudah merasa tidak betah.

“Apa karena itu Ibu kamu mau pindah ke Lombok?”

Kepala David menunduk, menancapkan pisau kecil yang ia gunakan untuk menggali lubang ke tanah di antara kakinya, “mungkin. Di sana kami memang tinggal di daerah yang lebih baik. Memang tidak semaju Jakarta. Tapi jauh lebih maju dari tempat ini.”

Liam melihati David dengan tatapan dalam dari tempatnya, mencoba memahami perasaan pria itu sekarang. Jujur, Liam sudah terlalu dalam jatuh cinta dengan pria di hadapannya itu. Di samping semua kisah menyakitkan yang telah David alami, menurut Liam, David adalah orang yang kuat. Membuat Liam berpikir kalau mungkin selama ini ia kurang mensyukuri apa yang dia punya.

Liam punya keluarga yang utuh, menyayanginya, menerima jati dirinya. Mereka memang tidak sempurna. Tapi jelas lebih baik ketimbang merasa sendiri dan tidak diinginkan oleh orang terdekat, kalau jadi David, Liam tidak tahu apa sanggup.

“Kenapa?” tanya David sambil terkekeh dengan kepala menunduk, tidak tahan dilihati terlalu lama oleh Liam.

“Kamu kangen Ibu kamu?”

Senyum di bibir David lenyap seketika. Kepalanya menoleh ke sembarang arah, melihat jauh seperti menerawang.

“Ketimbang Ibu, aku lebih kangen Ayah aku.”
Dengan gerakan perlahan David lepas sarung tangan kuning yang sedari tadi ia kenakan. Menaruhnya di atas tanah setelah ia lipat rapi. Kemudian ia dudukkan dirinya di atas tanah langsung, melingkarkan kedua lengan di kakinya yang terlipat.

Until We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang