7. Jei Punya Banyak Alergi

45 13 13
                                    

"Ingin makan apa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ingin makan apa?"

"Diamlah."

Kini rambutnya gelap berpendar. Surainya sudah berevolusi sebahari itu, tetapi tabiat tengiknya tiada mereda. Suan ingin getok saja kepala yang katanya pernah dikecup cemeti malaikat itu. Aneh.

"Su, diamkan otakmu. Mereka berisik."

Oh?

Suan bersimpuh di sanding Dennis atau sapa saja Jae untuk nostalgia. Ia menyiapkan lembar pakaian demi darmawisata yang rajin ada selepas ujian semester. Kepergiannya sekarang dan Jae baru sadar jika namanya turut terdaftar. Suan tiada masalah akan kebahlulan tuan mudanya, hanya saja, mengapa aku harus ikut?

"Seorang bawahan harus senantiasa dengan tuannya, bukan?"

Suan mendahului menjawab dengan tersenyum. Tertekan. "Untuk apa kau membawa Haru? Kepingin buat anak perempuan orang jeritan?" Dirinya menyoal dengan telaten pasca Jae menjinjing gitar relik pujaannya.

"Diam dan bawa ke depan."

Ingat berapa kali ia cakap diam. Pundak kanan Suan membopong Haru dan kiri menggendong tas bukan miliknya. Jae tetiba berubah arah, serempak ia menimpuk bunbunan Suan. "Diam."

Menit merayapi waktu. Jangkrik- jangkrik mencium bayu di petang hari, tenda-tenda berpijak, dan notasi-notasi lagu merinai. Suan di pucuk kiri memandang tepat pada konstelasi persona yang memangku Haru. Persis di tengah kerumunan, sorang yang gemar berfoya-foya itu mengalunkan lagu. Dia benar-benar tukang pamer.

"Hei, anak-anak. Mari rehat dan minum susu sapi."

Neraka. Siapa yang minum susu sapi di tengah malam begini? Meski mendamprat sampai menyebut alam baka, Suan tetap meneguk hingga berkumis putih.

Takah-takahnya, sepuluh menit untuk kepala Suan berproses bila tuan mudanya tidak di persemayaman. Ia menenggak ludah, sadar perihal bahala tepat di ujung bulu mata. Jei punya banyak alergi. Sinar matahari, benang sari, debu, persik, dan susu sapi?  Sial, dia alergi laktosa.

Kaki cegak Suan menyisir rimba, lambat-lambat sampai dirinya terperosok, dan dahi yang mengesun batu. Leleh darah tiada peduli. Suan terus bercempara hingga kekuku kakinya berjumpa bibir sungai. Jae duduk di sana. Konteks Jae tempo ini: napasnya melengking malah nyaris sesak. Rapuh nan mungil, ingin Suan kantongi.

"Jei! Kau lupa bawa antihistamin?" Sembari tangannya menyodorkan selembar obat.

Jae menjemput dua langkah lambat, kemudian ia berlari merangkum Suan. Erat.

Untuk anak ayam, oleh: Shoucan Loo1209 dan aku simpan di bagian berikutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk anak ayam, oleh: Shoucan Loo
1209 dan aku simpan di bagian berikutnya.

he who never criesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang