Part 23

1.7K 174 19
                                    

“Loh, katanya kaitan bra-nya nyangkut?” Naresh yang baru masuk kamar, tercengang melihat istrinya berbaring santai di ranjang.

Perempuan itu terkikik. Melambaikan tangan menyuruhnya mendekat, setelahnya merentangkan kedua tangan. Mengerti maksudnya, ia menghampiri dan menindih tubuh  sang istri, menjadikan siku sebagai tumpuan untuk menahan beban.

“Hanya alasanku. Aku tidak ingin kamu dekat-dekat sama dia,” ucap Alesha, mengalungkan tangan di leher Naresh lalu mengecup bibir lelaki itu sekilas. “Lebih baik kita mandi sekarang terus berangkat kerja. Sumpek lihat dia di sini, mana tidak tahu sopan santun sama sekali.”

Mengangguk menyetujui, Naresh menarik diri dari atas Alesha, lantas membantu perempuan itu berdiri.
Dalam hati Alesha tertawa membayangkan seperti apa wajah Zenya di luar sana. Geregetan, geram, marah, semua perasaan itu pasti menyatu jadi satu. Ah! Senang sekali mengerjai perempuan itu.

Sementara di ruang tamu, Zenya yang masih duduk di sofa tampak tak percaya mendengar ucapan Alesha. Pandangannya terus tertuju ke lorong kamar.

‘Aku tidak salah dengar, bukan? Perempuan  itu menyuruh Naresh untuk melepaskan kaitan bra-nya? Astaga, berarti ... sekarang Naresh sedang disuguhi buah dada yang tak berisi itu. Shit! Alesha telah melanggar aturan. Perempuan itu memakai cara licik. Oke, lihat saja nanti, aku pun bisa memakai cara yang lebih panas untuk merayu Naresh.’

Dalam hati ia kesal, lalu mengacak rambutnya asal. Hatinya panas membara dan dongkol. 

“Alesha sialan!” umpatnya sembari beranjak. Ia mengentakkan kaki meninggalkan ruang tamu, lalu membanting pintu saat keluar.

Memasuki apartemennya, Zenya berjalan ke sana-kemari seperti orang linglung sembari menggigiti kuku-kuku jemari tangannya bercat warna peach. Pusing bukan main rasanya memikirkan cara untuk mendapatkan perhatian Naresh. Ia ingin sesuatu yang elegan dan berkelas untuk menggoda lelaki itu.

“Tapi dengan cara apa dan bagaimana?” gumamnya.
“Kau baru dari mana, Ze?”

Zenya berjingkat, mengelus dadanya naik turun. “Kau ini mengagetkanku saja,” ketusnya menatap Zack yang berdiri di ambang pintu kamar. Lelaki itu seperti baru saja bangun tidur, wajahnya masih kusut, rambut juga acak-acakkan.

“Dari apartemen Naresh,” lanjut Zenya lagi sambil menghempaskan pantat ke sofa. “Huh! Sial sekali pagi ini, Zack. Aku berniat ingin merebut perhatian Naresh dan memanas-manasi perempuan itu. Tapi, justru aku yang kena getahnya.”

“Maksudmu?” Zack duduk di sebelah Zenya, menatap perempuan itu penasaran.

“Aku ingin memperlihatkan kemesraanku dengan Naresh di hadapan Alesha, justru mereka yang bermesraan di hadapanku.”

Mendengar itu, gelak tawa dari mulut lelaki gemulai yang masih memakai piama, meledak begitu saja. Tidak bisa membayangkan seperti apa wajah Zenya yang memberengut kesal. Pasti lucu sekali.

“Stop, Zack! Ini tidak lucu!” kesal Zenya, menajamkan pandangan kepada lelaki itu.

“Sayang sekali aku tidak di sana. Seharusnya kau membangunku tadi, biar aku bisa merekam wajahmu saat sedang terbakar cemburu. Astaga,  Zenya!”

“Shut up! Kau ini, bukannya bantu cari solusi malah ngeledek!”

“Okay, okay, sorry. By the way, aku sangat penasaran seperti apa wajah istrinya.”

“Sudah dibilang jangan penasaran. Masih cantikkan aku ke mana-mana.”

“Aku belum melihatnya sendiri. Tapi, dari prediksi sepertinya Alesha-Alesha itu sangat cantik. Nyatanya, pagi ini kau kalah bersaing.”

“Astaga, Zack! Telingaku semakin panas mendengarmu berbicara.” Napas Zenya memburu. Seperti tidak ada pasokan oksigen untuk dihirup. “Hari ini apa schedule-ku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Tanda tangan kontrak kerja sebagai model brand ambasador dari Alashka Fashion. Jam sepuluh harus sampai di sana. Jadi, cepatlah bersiap. Aku mandi dulu.” Zack beranjak meninggalkan Zenya, menuju kamarnya.

Sementara perempuan itu masih terdiam di sofa sembari mengatur napas, meredakan emosinya yang hampir meledak. Setelahnya, ia beranjak mengayunkan kaki menuju kamar.

***

“Aku dengar dari Rio, perempuan itu sering datang ke kantor suamimu, Al.”

“Iya, Naresh juga cerita.”

“Kamu tidak cemburu?”

“Aku percaya sama Naresh. Aku sudah membuat kesepakatan kepada Naresh juga Zenya.”

“Really? Kesepakatan seperti apa yang kalian buat? Baru kali aku mendengar istri sah mengajukan kesepakatan kepada pelakor.”

“Dia bukan pelakor, Ana. Hanya saja masih belum terima kenyataan, kalau Naresh telah memutuskan hubungannya.”

Siang ini mereka berada di toko kain, meninjau langsung kain yang dibutuhkan untuk model fashion terbarunya. Dan sudah beberapa minggu ini, Zenya sering ke kantor Naresh. Lelaki itu menceritakan semuanya, semoga saja tidak dikurang-lebihkan dari ceritanya. Rasa cemburu tentu ada dalam hati Alesha, tetapi ia harus memakai akal sehat untuk menanggapinya.

“Kamu masih membela perempuan yang akan merebut suamimu?” Diana memegang kain berbahan heavy silk, merabanya sembari memberi penilaian dalam hati.

“Bukan begitu. Aku dan Naresh bersepakat memberi ruang kepada Zenya. Biarkan perempuan itu berbuat sesukanya. Nanti juga lelah dan mundur sendiri jika tidak ditanggapi, kan?” Alesha yang tadinya meraba-raba kain chiffon di seberang kain heavy silk, membalikkan tubuh menatap Diana. “Aku berpikir cara ini lebih bagus untuk menghadapi dia. Daripada aku harus mencak-mencak tidak jelas, yang ada dia makin kesenangan.”

“Iya juga, sih.” Diana menjadi ingat ucapan Dion tadi pagi. Lelaki itu juga sudah merasa lelah mengejar Alesha. Bahkan, sudah angkat tangan tidak ingin mengharapkan Alesha kembali.

“Aku macam orang gila, jika terus mengejarnya tanpa kepastian, Diana. Hati Alesha sudah terpatri untuk suaminya. Sangat susah untuk dijangkau, seperti tidak ada celah untuk orang lain menyusup masuk,” kata Dion, saat di pantri bersama dirinya.

Diana memahami, menerima keputusan lelaki itu. Toh, Naresh sudah memperlihatkan keseriusannya. Hanya saja sekarang hubungan mereka mulai diguncang badai kembali. Ia hanya bisa berharap, Naresh tetap kukuh dengan pendiriannya untuk mempertahankan Alesha.

“Ngomong-ngomong, kamu dan Rio semakin dekat. Kalian sudah menjalin hubungan?” tanya Alesha, melemparkan tatapan menggoda.

Malu-malu, Diana menjawab, “Belum lama, sih.”

“Astaga! Kalian jadian dan tidak memberi tahuku? Sahabat macam apa, eh!” Alesha menjerit, menjadi pusat perhatian orang-orang sekitarnya.

“Jangan teriak juga. Malu, Al.” Diana membekap mulut sahabatnya. Kaget juga melihat Alesha bisa menjerit seperti itu, baru kali ini ia mendengar suara lepasnya. “Kan, masih baru Alesha. Merasa cocok saja dengan lelaki itu.”

“Sorry.” Alesha menyengir. “Aku senang mendengarnya, Diana. Semoga kalian cepat menikah.”

“I hope too,” balas Diana sembari mengembangkan senyum tipis.

Mereka melanjutkan mencari kain dan berpindah ke tempat lain. Sambil berbincang di setiap langkahnya, sampai tidak terasa jika sudah menghabiskan waktu lumayan lama di toko tersebut.

Setelah mendapat kain yang dibutuhkan keduanya menuju kafe bernuansa modern. Bagian depan terdapat tumbuhan, sedangkan dalamnya memiliki interior yang unik dan menarik. Banyak anak remaja yang mengunjungi kafe tersebut, ada yang nongkrong dan juga mengerjakan tugas.

Menuju tempat duduk di pojok samping dinding kaca, mereka berdua menghempaskan pantat di kursi bercat pelitur berbusa. Dari dalam bisa melihat pemandangan luar yang langsung tertuju ke kolam ikan mini, di sampingnya ada tempat duduk beratap payung besar. Yeah, tempatnya cukup nyaman untuk nongkrong santai.

“Sepertinya Zenya dan Pak Dion cocok jika dijodohkan. Mereka sama-sama mengalami percintaan yang malang.” Diana terkekeh, meratapi nasib dua orang tersebut.

“Apa kita comblangkan mereka saja? Kita bisa menggunakan Zenya sebagai model gaun keluaran terbaru ini.”

Diana menjentikkan jari. “Nah, setuju. Daripada terus merecoki hubunganmu dengan Naresh, mending cariin pengganti yang pasti-pasti saja.”

Obrolan mereka pun terhenti oleh kedatangan seorang pelayan wanita berseragam hitam. Menanyakan menu yang ingin dipesan kepada Alesha dan Diana, lantas berlalu kembali setelah mendapat jawaban.

***

“One shoot again!”

Teriakan dari seorang fotografer radius lima meter di depan sana, membuat Zenya mengubah pose dengan melekukkan tubuh, dagu terangkat, tangan kiri berkacak pinggang, serta pandangan dibuat sayu dan bibir terbuka sedikit. Hari ini ia memakai dress ketat warna merah menyala, yang menampilkan lekukan tubuhnya bak gitar Spanyol. Bagian bawah memiliki belahan panjang sampai paha, membuat kaki jenjangnya tampak memesona. Sedangkan bagian atasnya terbuka dengan tali spageti mengait di bahu. Sangat jelas memperlihatkan belahan dadanya menyembul.

“Done! Good job, Zenya!” teriak fotografer itu lagi, membuat para kru bernapas lega, dan menyingkir dari sekitar Zenya.

Mereka berpencar, ada yang duduk, ada juga yang melihat hasil pemotretannya di layar monitor komputer. Sedangkan Zenya langsung menuju ruang ganti, ingin segera berlalu dari lokasi pemotretan dan bertemu Naresh.

Seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap hari, selesai pemotretan ia akan menghampiri Naresh sambil membawakan makanan untuk lelaki itu. Mengajaknya makan bersama, tetapi selalu berakhir sia-sia karena lelaki itu selalu beralasan sudah makan di luar bersama sekretarisnya. Sangat menyebalkan, bukan? Namun, ia tak gentar dan akan tetap berjuang. Dengan begitu Naresh akan kembali luluh melihat usahanya.

“Kau yakin lelaki itu akan menerimamu kembali?” tanya Zack, melihat Zenya keluar dari ruang ganti yang kini memakai mini leather skirt dipadukan dengan tanktop putih.

Perempuan itu melangkah menghampiri Zack sembari memakai jaket kulitnya warna hitam. “Aku yakin, Zack. Usahaku pasti tidak akan sia-sia,” balasnya sambil meraih tas tangan di genggaman Zack, lantas berlalu dari studio pemotretan menuju tempat parkir.

“Aku rasa kau mundur saja, Ze. Relakan dia. Jika seperti ini, kau yang akan menyiksa diri sendiri.” Zack membukakan pintu mobil untuk Zenya. Setelahnya ia masuk, menghempaskan pantat di balik kemudi.

“Aku tidak merasa tersiksa, pasalnya cinta itu memang butuh perjuangan,” balas Zenya, menarik seat belt dan menautkannya.

Zack mulai melajukan mobil, sebenarnya merasa kasihan dengan perempuan di sampingnya. Ia tahu seperti apa perjuangannya untuk mendekati Naresh, tetapi selalu tidak dipedulikan dan tak dianggap. Kesal sendiri jadinya, padahal ia sering memperingatkan.

“Istrinya bahkan sangat cantik. Mana mungkin dia bisa berpaling darinya? Mereka juga terlihat sebagai pasangan yang serasi. Sekarang aku berubah pikiran, tidak mendukung keputusanmu untuk merusak hubungan mereka, Ze.”

“Hei! Seharusnya kau mendukungku, bukannya membandingkanku dengan wanita rendahan itu. Kau sendiri tahu, dia yang merebut Naresh dariku,” sungut Zenya berapi-rapi. Seketika wajahnya berubah muram mendengar ucapan Zack.

“Aku tidak membandingkanmu. Hanya menyadarkanmu. Kau cantik, karier bagus, banyak lelaki yang mengantre untuk menjadi kekasihmu. Sungguh, Ze. Jika seperti ini terus, harga dirimu yang akan jatuh.”

“Sudahlah, jangan banyak omong. Sekarang sudah jam setengah dua, aku telat untuk bertemu Naresh. Kita ke restoran dulu beli makanan.”

Tidak menyahut ucapan Zenya, Zack mulai fokus mengendarai kendaraannya. Rasanya percuma menasihati perempuan keras kepala di sampingnya itu.

Keadaan mulai hening. Zenya sibuk memainkan ponsel mengirim beberapa pesan kepada Naresh, tetapi tidak mendapat balasan. Sedangkan Zack lebih menikmati musik yang mengalun indah dari radio, musik Indonesia yang entah apa judulnya, ia tidak tahu. Sesekali pandangannya melihat jalanan sekitar yang cukup lengang di siang hari ini.

***

Naresh masih sibuk di ruang kerjanya. Sepuluh jemari tangan menari-nari cepat di atas keyboard, membalas email yang masuk di laptop. Sedangkan komputer yang menyala di depannya, menampilkan histogram perkembangan dari pabrik Semarang. Bulan ini pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukannya. Sangat tidak sepadan dari bulan-bulan sebelumnya yang lebih banyak pemasukan. Alasannya cukup jelas karena kebakaran itu, dan sekarang masih dalam pembangunan pabrik baru, belum jadi sempurna.

Membalas satu email untuk rekan bisnisnya yang langsung terkirim, ia menyandarkan punggungnya sambil meregangkan otot-otot tangan. Pegal sekali, bahkan pinggang pun terasa panas seperti dipasang koyo. Jika ada yang bilang menjadi orang kaya itu enak, mereka salah besar. Mereka hanya melihatnya dari satu sisi, tanpa melihat bagaimana cara bekerjanya. Bahkan, untuk menjadi orang kaya pun harus rela mengurangi waktu istirahat. Itu yang ia rasakan selama ini.

“Naresh.”

Melihat perempuan yang berdiri di ambang pintu, ia mengembuskan napas lelah. Seakan-akan beban hidup semakin bertambah di bahunya. Ia memijit pangkal hidung sambil memejamkan mata.

“Aku sudah bilang jangan datang ke sini dan membawa apa pun itu, Ze,” keluhnya.

“Salah sendiri tidak pernah menerima ajakanku untuk makan siang bersama.” Zenya meletakkan dua paper bag ke meja kaca depan sofa, lalu menghampiri Naresh.

“Stop! Jangan melangkah lebih dekat.” Naresh tahu apa yang akan dilakukan perempuan itu selanjutnya. Pasti bergelayut manja di pangkuannya.

“Apa aku terlihat seperti kuman sampai kamu bertingkah seperti itu?” tanya Zenya sendu.

“Anggap saja seperti itu.”

“Kamu jahat, Naresh.”

“Kamu sudah tahu aku jahat, kenapa masih terus datang kemari? Sebaiknya keluar dari ruanganku, Ze. Aku masih banyak pekerjaan.”

“Tidak akan. Sebelum kita makan bersama, aku tidak akan keluar dari sini.”

“Jangan jadi wanita murahan seperti ini. Aku muak melihatmu. Jika diibaratkan, kamu tidak lebih seperti ulat berbulu. Kegatelan.”

Ucapan itu terdengar sangat kasar di gendang telinga Zenya. Namun, perempuan itu mencoba tidak mengacuhkan.

“Bisakah melihat usahaku, Naresh?”

“Tidak ada yang perlu dilihat dari usahamu, Ze. Yang harus dibuka itu mata dan batinmu. Buka mata, lihat jika aku sudah memiliki istri, hubungan kita selesai. Buka batinmu, aku tidak ada perasaan untukmu. Kamu seharusnya sadar itu.” Naresh beranjak, melangkah menuju pintu keluar dan memanggil Rio. “Bawa makanan di atas meja itu, kasih ke OB,” perintahnya.

“Baik, Pak.”

“Naresh! Aku tidak membelikan untuk OB! Itu untukmu!”

“Terima kasih, Ze. Berarti itu sudah hakku, bebas untuk memberikan kepada siapa saja.”

“Tega kamu, Naresh!” Mata Zenya berkaca-kaca. “Kamu selalu membuang makanan yang aku beli! Tidak bisakah menghargai sedikit saja.” Kali ini pertahanannya mulai terkikis, ternyata berdiri di atas duri tidak segampang yang ia pikirkan. Ia sudah mencoba sabar dan menerima cacian dari Naresh. Namun ... astaga sakit sekali rasanya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, perempuan itu langsung berlalu dari ruangan Naresh. Dengan air mata berlomba-lomba melewati wajahnya yang terpoles make up.

“Apa Anda tidak terlalu keterlaluan, Bos?” tanya Rio, berdiri di samping Naresh sambil menenteng dua paper bag isi makanan.

“Tidak ada cara lain untuk membuatnya menjauh dariku. Dia yang datang untuk menyakiti dirinya sendiri,” balas Naresh datar. “Cepat bawa itu ke pantri.”






MARRIED TO EX (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang