Part 1

6.7K 268 16
                                    


Aroma tanah basah dan aroma harum bunga segar, menyeruak tajam di indera penciuman. Alesha, gadis berusia 23 tahun berpakaian serba hitam itu menangis tersedu, bersimpuh, sembari memeluk batu nisan yang belum lama tertancap di gundukan tanah merah. Tatapannya kosong. Ia masih belum percaya, jika sang papa benar-benar pergi untuk selamanya menyusul sang mama.

Sudah hampir tiga puluh menit, gadis itu masih dalam posisi sama. Termenung, meratapi kematian orang tuanya yang begitu cepat. Hanya berjarak dua bulan, kini kesedihan itu kembali menyelimuti hati. Ia juga memikirkan perkataan sang papa sebelum meninggal, menyuruhnya untuk menikah dengan Naresh, lelaki masa lalu yang sudah membuat hatinya hancur. Meninggalkan tanpa mau mendengar penjelasan darinya. Bahkan, ia dan lelaki itu hilang kontak sampai sekarang.

“Al, ayo pulang sekarang. Biarkan Papa tenang di sana bersama Mama.” Ben—kakak Alesha—berucap sembari memegang bahu sang adik. Sedari tadi, setelah semua orang berlalu dari pemakaman, lelaki berusia 30 tahun itu hanya bisa memerhatikan Alesha dalam diam.

Gadis itu menggeleng lemah. “Aku masih ingin di pusara Mama sama Papa,” ucapnya lirih. Tidak peduli meski matahari sudah di atas ubun-ubun. Memberi rasa gerah dan panas menyerang tubuh.

“Aku merindukan hari-hari saat bersama mereka. Merindukan pelukan Mama yang begitu hangat. Merindukan lelucon Papa. Bahkan, kemarin pagi dia masih bercanda dan tertawa bersama aku. Tapi, semua itu ... kini tinggal kenangan. Sekarang aku sendiri.”

“Masih ada kami untukmu, Al. Kamu tidak sendiri. Kalau kamu seperti ini terus, mereka akan sedih melihatmu. Ikhlaskan kepergian mereka,” ucap Ben lagi, bersuara rendah.

“Benar yang dikatakan Kakak kamu, Alesha. Ikhlaskan kepergian Mama dan Papa. Masih ada kami di sampingmu.” Nayaka—istri Ben—yang sedari tadi diam ikut membuka suara. Perempuan itu membungkuk berniat membantu Alesha berdiri. Namun, gadis itu tetap bertahan dalam posisinya.

“Aku masih ingin di sini, Kak. Kalau kalian mau pulang … pulang saja dulu tidak apa-apa!” ketus Alesha, tanpa menoleh ke belakang menatap kakak iparnya. Ia tidak ingin diganggu, tetapi mereka terus saja menyuruhnya pulang, seperti tidak mengerti perasaannya.

Ben yang melihat menghela napas panjang. Ia mengitari pandangannya ke sekitar. Menatap pusara yang tertata rapi dengan rumput hijau tertanam di setiap gundukan. Tidak sama sekali membawa kesan mencekam di pemakaman itu. Mengalihkan pandangan lagi, ia menatap istrinya yang sudah berdiri, lantas berucap, “Aku tidak tega melihatnya seperti itu terus. Dari semalam di rumah sakit, dia tidak berhenti menangis.”

“Beri dia waktu lagi, Ben. Biarkan hatinya yang bergerak sendiri untuk meninggalkan makam Mama dan Papa. Mungkin Alesha masih syok atas meninggalnya Papa.” Nayaka memberi pengertian. Tangannya mengelus bahu Ben, pelan.

Mempertimbangkan ucapan sang istri, sedetik kemudian Ben mengangguk. Tangan kanan terangkat membetulkan kacamata hitam yang hampir merosot dari tulang hidungnya, lalu bersedekap menunggu Alesha dengan sabar.

Lima menit, sepuluh menit, sampai lima belas menit, belum ada tanda-tanda dari gadis itu untuk meninggalkan pemakaman. Entah akan berapa lama lagi ia tetap bertahan di tempatnya. Jika dibiarkan saja, mungkin Alesha juga akan menginap di pusara.

“Besok masih bisa ke sini lagi, Al. Kamu juga butuh istirahat,” kata Ben lagi.

“Kita pulang sekarang, ya,” pinta Nayaka, sambil berjongkok. Hatinya terenyuh memandang adik iparnya tampak kacau. Matanya sembab, bibir ranumnya berubah sedikit pucat, sedangkan air mata terus meluruh tanpa henti.

Alesha memicingkan mata sambil menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak seperti terimpit benda berat. Ia juga membenarkan ucapan kedua kakaknya. Seberat apa pun cobaan yang menimpanya sekarang, ia harus bisa menerimanya dengan ikhlas.

MARRIED TO EX (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang