Part 18

2.1K 186 21
                                    

Naresh menjatuhkan tubuh memeluk istrinya yang tak berdaya. Ia menyurukkan kepala di ceruk Alesha, membuatnya perempuan itu bergidik geli.

"I love you, Alesha," ucap Naresh lirih. Lalu, mengecupi pipi Alesha yang merah bak tomat. Tangannya mengelus sayang kepala perempuan itu, beralih mengusap kening yang dibanjiri keringat sebesar biji jagung.

Alesha memeluk erat tubuh sang suami. Ia terdiam, pikirannya berkecamuk. Antara bahagia dan sedih, bercampur jadi satu di lubuk hati. Ia bahagia, karena bisa menyerahkan keperawanannya untuk lelaki yang ia cintai. Akan tetapi, ia juga sedih jika suatu saat nanti, Naresh akan pergi meninggalkannya lagi. Entahlah, memikirkan itu membuat hatinya mencelus. Ia benar-benar takut. Tanpa sadar air mata pun meluruh kembali melewati pelipis.

Sementara Naresh yang merasakan cairan hangat di pipinya, mengangkat kepala menatap heran Alesha. "Kamu menyesal melakukan ini, Alesha?" tanyanya, bersuara rendah. Menatap tak berkedip wajah lelah di bawahnya.

Alesha terdiam. Ia justru tergugu. Bulir bening pun semakin deras meluruh. Setelahnya ia menggeleng. "Aku takut kamu akan pergi meninggalkan aku, Naresh," ucapnya bersuara serak.

Naresh mengembangkan senyum. Ia menggeleng pelan. "Tidak akan, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kita akan hidup bahagia bersama buah hati kita, kelak."

Tangannya mengusap pelan puncak kepala Alesha, lantas mengecupi seluruh wajahnya. Terutama kedua mata yang terus mengeluarkan cairan bening itu.

Akan tetapi, batin Alesha menyangkal berkata tidak. Entah, apa yang membuat dirinya ketakutan seperti itu. Rasa trauma pernah kehilangan Naresh? Ya, bisa jadi itu salah satu alasannya.

"Jangan pikirkan itu, okay? Sampai kapan pun aku tidak akan meninggalkan kamu. Jangan lagi menghindar dariku. Kamu tahu, Alesha? Aku hampir gila tidak mendapat kabar darimu."

Alesha memeluk tubuh Naresh erat-erat. Bentengnya selalu runtuh jika bersama lelaki dalam dekapannya. Sekuat tenaga berusaha menghindar, ia selalu tidak mampu. Lalu, apa gunanya meminta solusi kepada Diana, jika akhirnya akan tetap jatuh ke dalam pelukan lelaki itu? Ya, cinta memang mengalahkan logika dan akal sehat. Membuat semua yang sudah direncanakan gagal total.

"Sekarang tidurlah. Aku tahu kamu kelelahan." Mengecup bibir istrinya, Naresh berpindah posisi berbaring di sebelah perempuan itu. Tangannya menarik selimut bercover putih yang sudah di tepi untuk menutupi tubuh. Memiringkan badan, ia menyelusupkan lengan kekarnya di bawah kepala Alesha lalu memeluknya erat. Membawa perempuan itu masuk ke alam bawah sadar setelah kelelahan.

***

Keesokan harinya pada sore hari, para kru Dion's Boutique mengadakan party di tepi pantai, untuk merayakan keberhasilannya dalam penyelenggaraan fashion show kemarin. Dion memerintah anak buahnya untuk menyiapkan segala macam persiapan untuk barbeque. Dari menyewa kursi, meja, dan peralatan barbeque lainnya.

Keseruan pun semakin ramai saat hari mulai menggelap. Suara canda tawa dan banyolan dari para kru menggema bebas bersahutan dengan deburan ombak. Alesha dan Naresh duduk bersisian di tikar, menghadap api unggun sembari menonton salah satu kru laki-laki yang sedang bernyanyi diiringi petikan senar gitar.

Di seberangnya, Dion menatap tak suka. Ia memandang tajam Naresh dan melemparkan tatapan permusuhan, seperti siap bertempur untuk memperebutkan kemenangan. Ya, kemenangan untuk memiliki gadis di samping lelaki itu. Meskipun mereka sudah terikat ikatan yang sah, belum tentu hubungan itu akan abadi selamanya, bukan?

"Pak, apa kamu tulus mencintai Alesha?"

Dion terkesiap mendengar suara Diana yang tiba-tiba berada di sebelahnya. Ia menoleh ke arah karyawannya, lalu mengangguk. "Kamu sudah tahu aku menyukai gadis itu dari dulu, Diana."

"Apa Bapak, punya rencana untuk merebut Alesha dari suaminya?" tanya Diana, menatap sepasang suami-istri itu. Hatinya masih geram dengan sifat Naresh yang suka seenaknya kepada Alesha. Rasanya ingin sekali memberi pelajaran yang setimpal, seperti yang lelaki itu lakukan kepada sahabatnya.

"Belum punya. Menurutmu aku harus bagaimana?"

"Tetap berjuang, Pak. Dengan cara halus agar Alesha tidak benci. Tarik hati dia, beri perhatian, jadilah orang pertama yang bisa menenangkan hatinya ketika bersedih."

"Alesha orangnya keras kepala, susah untuk menarik hatinya."

"Ya, aku tahu. Sekeras-kerasnya batu karang, ketika terkena ombak pasti akan terkikis juga."

Dion terdiam dan memikirkan masukan Diana.

"Kalian juga memiliki waktu lebih untuk bertemu. Hampir setiap hari dalam waktu kurang lebih dua belas jam, Bapak dan Alesha berada dalam satu gedung yang sama. Banyak kesempatan untuk menarik hati Alesha."

Dion mengangguk membenarkan ucapan Diana. Lalu, mengembangkan senyum. "Kamu sahabat dia, tapi malah menyuruhku untuk menikungnya."

'Untuk memberi pelajaran kepada suami reseknya itu, Pak. Biar lelaki itu tahu diri, jika Alesha bukan wanita yang seenaknya dipermainkan,' batin Diana dalam hati, sambil membalas senyum Dion.

"Berjuang untuk orang yang dicintai itu perlu, Pak. Yang penting akal sehat masih terpakai. Semangat berjuang!" Diana beranjak dari duduknya, lalu mengayunkan kaki menuju tempat pemanggangan barbeque. Menghampiri Rio yang sedang membakar sayap ayam, sosis, dan jagung manis.

Sementara itu, Naresh yang tidak nyaman mendapat tatapan dari Dion mengajak Alesha mengelilingi sekitar pantai. Tanpa alas kaki, mereka berjalan beriringan di pasir putih. Semilir angin malam terasa sejuk, membuat tubuh keduanya menggigil dengan bulu kuduk berdiri.

Seperti biasa, Naresh akan sangat perhatian membungkus tubuh bagian atas Alesha menggunakan jaketnya. Merengkuh bahu sang istri, sesekali ia memberi kecupan di puncak kepalanya sembari menghirup aroma shampo vanila yang begitu menenangkan.

"Alesha, kalau aku menyuruhmu berhenti bekerja di butik itu, apa kamu mau?" tanya Naresh, memecahkan keheningan.

Alesha menghentikan langkah. Lantas, mendongak menatap wajah lelaki berkaus hitam polos, dengan rambut gondrongnya yang diikat separuh. "Kenapa? Aku suka dengan pekerjaanku, dan ini sudah menjadi passion-ku sejak kecil, kamu tahu itu, Naresh. Di butik itu juga aku bisa menjadi seperti sekarang. Bahkan, cita-citaku untuk menjadi desainer go international pun hampir tercapai. Kalau kamu menyuruhku untuk berhenti, aku tidak bisa."

"Aku tidak suka dengan bosmu yang berusaha mendekatimu, Alesha."

"Pekerjaanku ini jangan jadikan alasan cemburumu, Naresh. Tolooong, jangan seperti dulu lagi. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Jika, kamu memang mencintaiku cobalah untuk percaya kepadaku." Alesha menatap sayu lelaki itu, memperlihatkan wajah memelasnya yang ditelan kegelapan.

Naresh terdiam menatap mata jernih wanita di hadapannya. Menenggerkan kedua tangan di ujung bahu itu, ia menarik sudut bibir membentuk sebuah lengkungan. "Baiklah. Aku akan mengesampingkan rasa cemburu itu untuk kenyamanan hubungan kita."

Alesha membalas senyumnya dengan kedua tangan mencengkeram pinggang Naresh. Mengangguk pelan, ia pun berkata, "Terima kasih."

Naresh mengikis jarak, satu tangannya berpindah ke tengkuk Alesha dan menariknya ke depan. Ia menundukkan kepala, menyambar bibir tipis itu. Seperti sudah menjadi candu, keduanya menikmati ciuman dengan mata saling terpejam.

Alesha mengerang. Napasnya mulai tersengal. Naresh pun melepaskan ciuman lalu menyatukan kening untuk menetralisir napas kembali normal. Saling melemparkan senyum tulus, terpancar jelas wajah bahagia dari keduanya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MARRIED TO EX (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang