07: Obat kebahagiaan

37 14 0
                                    

"Jika kedatangan kalian akan membuat lukaku hilang, tolong berjanji untukku, jangan pernah pergi, dan selalu lah jadi obat kebahagiaan untukku."
-Zia.

***










"Harus banget ke mall?"

Bintang turun dari motornya, ia menggenggam tangan Zia untuk mengikuti langkahnya.

"Kenapa? Bukannya cewek-cewek suka ke mall?"

Zia menggeleng, gadis itu tertawa sambil melihat-lihat pengunjung yang ramai, "Suka, tapi males juga kalau harus boros-boros uang, lagipula uang jajan gue di korupsi sama nenek lampir terus, dan sekarang malah di korupsi sama tuh anak nenek lampir,"

Bintang menatap wajah Zia sekilas, ia tahu gimana perasaan gadis disampingnya saat ini, "Nenek lampir dirumah lo punya anak?"

Zia mengangguk singkat, "Putri."

Nama itu berhasil membuat Bintang memberhentikan langkahnya, dan otomatis Zia yang ada digenggamannya harus terpaksa berhenti.

"Dia anak bunda tiri gue, dan semalem dia baru datang ke rumah." Lanjut Zia, gadis itu melepaskan genggaman Bintang, dan memilih melangkah lebih dulu karena malas untuk membahas kedua perasut yang sudah menghancurkan kebahagiaan nya.

Bintang yang mengerti dengan perubahan sikap Zia pun langsung segera menyamakan langkahnya, tanpa ada niat untuk bertanya tentang kehadiran Putri di keluarga Zia.

Laki-laki itupun menuntun langkah Zia untuk masuk ke salah satu cafe yang ada di mall tersebut, Zia risih di bawa masuk ke cafe, karena saat ini di tasnya hanya membawa handphone dan dompet yang tak ada uangnya.

Tapi pikirannya teralihkan karena ada suara riuh yang menyebut namanya, padahal yang meneriakinya hanya tiga orang, tapi kekencangan suaranya seperti satu kelurahan.

"ZIA ... YUHU!"

Disana, tepat di meja nomer tiga belas, ada tiga remaja, satu perempuan dan dua laki-laki.

"Keadaan lo gimana? Ada yang luka selama lo di penjara? Aaaa ... Gue kangen woyy!" Kia langsung memeluk erat Zia, penjara yang dimaksud oleh Kia yaitu rumah Zia, sedangkan gadis yang dipeluknya malah risih dan mendorong bahu Kia begitu saja.

"Gak usah alay!" ucap Zia memperingati Kia.

"Udah woy, ini mall gak usah malu-maluin. Mending lo sama Zia pesen makanan, Tang," ujar Darel.

Bintang mengangguk, lalu memanggil pelayan cafe dan memesan makanan untuk dirinya dan juga Zia.

'Anjir, gue bayar pake apaan, masa iya mau ngutang, gak lucu bangett.'

Jujur saja, Zia bingung harus membayar makanan yang dipesan Bintang untuk dirinya dengan apa, bahkan sepeser uang pun tak ada di tasnya.

Sampai makanan datang pun, gadis itu belum berani untuk memakannya, sedangkan Kia yang paham dengan gerak-gerik Zia yang mulai khawatir pun langsung menepuk bahu sahabatnya, "Gue traktir, makam aja."

Kenapa lagi-lagi Zia selalu membuat Kia repot, bahkan Zia hanya sahabat yang sering menyusahkan sahabatnya sendiri.

"Gue gak laper, buat lo aja, Ki."

"Lo gak capek terus-menerus nahan laper gitu? Kenapa lo selalu gitu sih, Zi?" Kia mendekatkan makanan Zia untuk lebih dekat ke tangan gadis tersebut.

"Banget malah, kadang gue suka mikir, gue gak makan kenapa gak mati-mati ya, capek banget hidup dengan penuh penderitaan." terang Zia.

Perkataan Zia membuat semua orang yang ada didekatnya melamun tak percaya, segitu nyerahnya Zia dengan kehidupan yang ia jalani sekarang?

RUMIT!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang