Part 11, Josh

106 12 1
                                    

Ini part tambahan setelah direvisi, selamat membaca! 😄

--

Matahari pagi masih malu-malu menunjukkan diri, namun semburat oranye teriknya mampu membangunkan Joshua. Pria itu menggeliat tak nyaman dalam tidur. Panas, itu yang ia rasakan. Bajunya basah kuyup oleh keringat. Ia sadar semalam dirinya tidur tanpa menyalakan pendingin ruangan.

Joshua duduk dan mengacak rambutnya dengan sebelah tangan. Pria itu meraih ponsel dan mematikan alarm yang baru saja berdering. Dengan satu kali usapan, suaranya berhenti.

Kebiasaan Joshua tiap pagi adalah mengecek pesan yang masuk. Ibu jarinya bergerak cepat membuka berbagai aplikasi. Senyumnya terbentuk membaca pesan masuk dari teman-teman satu grupnya yang mengkhawatirkan keadaan Joshua. Pria itu juga membalas pesan yang dikirimkan sang ibunda, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja sehingga Ibu tidak perlu menyusulnya ke Seoul.

Terakhir, Joshua membuka email. Ia menghela napas panjang. Kantor baru ditinggal tiga hari, namun laporan sudah menumpuk banyak begini. Pria itu melewati semua surel yang berasal dari sekretarisnya. Mata jeli Joshua menangkap sebuah pesan dari seorang teman lama. Langsung saja ia buka dan baca isinya.

Pria itu berjengit kaget ketika ponselnya berbunyi nyaring. Ia nyaris saja melempar benda berbentuk persegi panjang tersebut ke lantai. Joshua mengelus dada dan mengangkat panggilan masuk.

"Halo, Hyung," sapa Joshua.

Ia tahu, sebentar lagi dirinya pasti akan mendengar omelan dari sang manajer. Joshua sudah menghilang selama tiga hari dan tidak memberi kabar sedikit pun pada Minho. Boro-boro mengirim kabar, untuk bangun dari kasur dan menelan makanan saja Joshua membutuhkan usaha ekstra keras.

"Ternyata kau masih hidup," Joshua terpaksa menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia mendengarkan cacian dari sang manajer tanpa membantah. Joshua tahu, walaupun Minho marah besar, pria itu sangat menyayanginya.

"Hyung, aku mau persiapan pergi ke kantor," putus Joshua sambil melihat jam dinding. "Marahnya nanti saja ya."

Terdengar hembusan napas panjang dari seberang. "Nanti aku akan datang ke kantormu. Ada beberapa tawaran yang datang, kita harus membahasnya," ucap Minho. "Tapi, aku tidak akan membiarkanmu mengambil semua pekerjaan."

Joshua terkekeh geli. Ia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi. "Iya Hyung. Aku menurut padamu saja. Pagi ini aku ada rapat. Kita bertemu pukul satu siang saja, bagaimana?"

Minho menyanggupi. Setelah mengucap salam perpisahan, Joshua segera bersiap-siap. Pekerjaan telah menunggunya.

- - -

Aku membuka mata dan menatap Victoria yang masih tertidur pulas di sampingku. Aku tersenyum, menikmati pemandangan indah untuk memulai hari. Victoria pasti sangat lelah hingga tidak terganggu sedikit pun dengan suara alarm ponsel.

Dengan hati-hati aku bangun dan menjulurkan tangan untuk mematikan dering ponselnya. Victoria tampak terganggu dengan pergerakanku. Ia melenguh kecil dan merubah posisi tidurnya jadi telentang. Aku menahan napas, takut membuat wanitaku makin terganggu tidurnya.

Setelah menyelesaikan misi mematikan alarm, aku kembali berbaring menyamping mengamati profil wajah Victoria dari samping. Sudah hampir dua tahun umur pernikahan kami. Aku tidak pernah bosan melihat wajah damai Victoria yang sedang terlelap. Karena keadaan, aku dan dia harus tinggal terpisah benua. Tentu ini pemandangan langka yang tidak bisa kudapatkan setiap hari.

Aku dan Victoria menjalin hubungan sebagai kekasih hanya tiga bulan. Selama waktu itu berlalu, kami hanya bisa menjalin komunikasi melalui bantuan teknologi. Berkirim pesan, telepon, terkadang kami menghabiskan weekend bersama dengan video call. Aku sangat menikmati masa-masa itu, namun ego dalam diriku mengatakan harus segera menikahinya. Entahlah, aku tidak tahan berlama-lama untuk jauh darinya.

[SVT FF Series] In The End of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang