Part 17, Josh

172 13 1
                                    

Joshua melepas jasnya dan menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku. Pria itu mengambil sekaleng minuman bersoda dari tas belanja di kursi belakang dan keluar dari mobilnya. Ia menuju salah satu bangku taman yang langsung menghadap ke sungai Han.

Sepulang dari acara pernikahan Baekyung, Joshua tidak langsung menuju kediamannya. Ia sedang tidak ingin berada di sana. Apartemen adalah tempat yang mengingatkannya pada Victoria. Joshua pun tidak yakin akan bisa langsung jatuh tertidur. Salah-salah, ia justru akan terjaga sepanjang malam dan membayangkan Victoria berada di tiap sudut rumahnya. Seperti dulu.

"Sudah hampir satu tahun berpisah kenapa aku tidak bisa melupakannya," erang Joshua pada diri sendiri. Ia menyesap air soda dan memandang kejauhan ke depan. "Aku benar-benar payah."

--

Aku kembali ke rumah setelah tiga hari tidak pulang. Tiga hari pula aku menggelandang tidur di kantor, rumah Hyesung-Jihoon, dan di kediaman Nari-Jeonghan. Aku sengaja tidak membuka semua pesan singkat Victoria. Baru siang tadi aku melihatnya dan tahu bahwa gadis itu memilih pulang kembali ke New York sehari yang lalu.

Ya, dia menungguku kembalil, namun aku mengabaikannya. Hingga mungkin ia sadar bahwa aku tidak akan pulang jika dirinya masih tetap berada di apartemenku. Victoria menyerah dan pergi.

Suasana apartemen tampak sepi dan dingin. Aku masuk sembari menyeret langkah. Hal pertama yang kulakukan adalah menyusuri semua ruangan. Benar saja, tidak ada Victoria, tidak ada kopernya. Aku bergerak cepat menuju lemari baju. Hatiku mencelos ketika tidak ada satupun baju miliknya yang tergantung disana. Kepalaku menoleh cepat ke atas meja rias. Kosong. Tidak ada peralatan wanita satu pun.

Haha, benar-benar. Aku bahkan belum menandatangi surat cerai sesuai keinginannya, namun wanita itu sudah mengemasi seluruh barang dari rumahku. Mengesalkan.

Aku duduk di pinggir tempat tidur. Sembari menenggelamkan wajah di telapak tangan, aku berusaha mengatur napasku. Selama tiga hari ini aku sudah berpikir dengan otak jernih. Jangan sampai aku kehilangan kendali lagi.

Ekor mataku menangkap sesuatu yang diletakkan di meja nakas samping tempat tidur. Tanganku meraih folder plastik berisi dokumen-dokumen perceraian yang telah disiapkan Victoria tempo hari. Senyum miris tersungging di bibirku. Victoria memang serius ingin bercerai dariku ternyata, dilihat bagaimana sempurnanya ia menyusun semua kertas-kertas ini. Bahkan ia sudah menandatanginya.

Aku meraih ponsel dari saku celana. Kucari nomor telepon Victoria. Hanya tinggal menekan tombol hijau, aku kembali bimbang. Apakah keputusan yang akan kuambil sudah benar?

Kepalaku menggeleng. Sudah tiga hari aku 'bertapa', aku tidak boleh goyah hanya karena pikiran egoisku. Tombol hijau sudah kutekan, ponsel kutempelkan di telinga. Dengan harap-harap cemas, aku menunggu hingga panggilanku dijawab oleh Victoria.

"Halo," sapaku. Ah, sial. Kenapa tenggorokanku menjadi tercekat seperti ini ketika mendengar sapaan darinya.

"Kau sudah pulang? Kau baik-baik saja di luar sana?"

Tanganku mengepal. Jangan menanyakan hal itu seperti tidak terjadi apa-apa. Jangan perhatian padaku jika akhirnya kita akan berpisah. Aku takut tidak bisa melepaskanmu, Vic. Batinku dalam hati.

"Yeah," ucapku terdengar tidak peduli. "Aku cukup baik untuk mengatasi hal ini."

"Syukurlah," ucapnya di seberang sambil menghela napas. Aku tahu dia sangat mengkhawatirkan kondisiku.

"Victoria," panggilku. Tidak ada jawaban dari sana, namun aku yakin dia masih mendengarkanku. "Tolong luangkan waktu untuk akhir bulan depan."

[SVT FF Series] In The End of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang