Chapter 3 - School to Dr. Trost

333 18 2
                                    

*****

Akhirnya, kenyang juga.... Setelah aku menghabiskan makanan dan minuman yang diberikan anak baru yang bernama Dion, aku keluar kelas untuk menaruh gelas dan mangkuk di meja kantin. Aku buru-buru kesana karena takut kalau nanti tiba-tiba ada pak Amin. Tetapi saat aku kembali lagi, aku melihat pak Amin masih belum masuk ke kelas (Haduh ini guru).

Aku duduk di kursiku. "Eh pak Amin kok belum masuk-masuk sih?" tanyaku kepada Hana.

"Ah, pak Amin gak usah masuk 'lah." kata Hana.

"Iya bener sih. Mending gak usah masuk. Orang pelajarannya aja gak jelas banget kayak gitu. Ah, habisan dia dosen sih." jelasku. Hana hanya mengangguk dengan setuju.

Semua kelas sepuluh MIA tahu bagaimana cara mengajar pak Amin yang tidak jelas itu. Dan semua kelas mengeluh. Alhasil, semua nilai ulangan kami tidak ada yang tuntas. Yahh, ada sedikit (kurang dari 10) siswa yang tuntas, itupun bukan dari ajaran pak Amin, melainkan dari les-les dan bimbel.

Huuh, kalau tidak ada pak Amin,  mending tidur aja deh.
Apa itu fisika???. Hanyalah mitos…. Begitulah kata teman perempuanku yang bernama Dica. Dia sudah sangat tidak suka dengan guru itu (hahaha).

Agh. Tidur juga tidak nyaman. Itu hanya membuat leherku sakit. Aku beranjak dari kursiku. Dan berjalan menuju 'si anak baru'. Aku hanya ingin berterima kasih, itu saja.

"Eh, Len. Mau ke mana?" tanya Hana.

"Gue mau ke Dion bentar."

"Cie cieeee Lena." sorak maria yang ternyata mendengar perkataanku.

Aku pun menjadi kesal dan mengabaikannya begitu saja. Saat aku sudah berdiri tepat di samping meja Dion yang sedang sendirian (entah Dapit kemana), tiba-tiba Cahyani yang memiliki suara keras menyorakiku juga. Agh. Yah, jadinya satu kelas menyorakiku. "Cieeeee!".

-_- aku diam saja.

Aku menatap Dion. "Eh Dion-". *brakk'*. Suara apa itu? Ada sesuatu yang jatuh?.

"EH! Lena!" teriak Dion.

Auww. Punggungku sakit. Lah? Kok tiba-tiba Dion berada di atasku?. Pandanganku samar. Sepertinya.... Tadi bukan sesuatu yang jatuh. Tetapi aku!. Kok bisa?. *deg* *deg* *deg* *deg*. Jantungku... Berdetak keras? 

"Lena?!" kulihat Dion sudah berada di sampingku dan menyingkirkan meja untuk membuat ruangan.

"Panggil guru woy! Cepet!" sepertinya yang berteriak itu cahyani.

Teman-teman sekelasku langsung mengerubungi aku karena penasaran.

"Awas woy! Dia butuh oksigen!" kata Dion dengan panik.

Augh. Tiba-tiba kepalaku sakit sekali. Seperti akan meledak rasanya. Aku memegangi tangan Dion yang menyangga tubuhnya saat dia duduk. Dengan sangat erat. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, tetapi aku malu. Aku hanya bisa menahannya dengan genggamanku pada tangan Dion dan menggertakan gigiku. Agh, rasanya seperti ditusuk-tusuk. Sakit sekali.

"Pak Cecep!" kata salah satu temanku. Dan... aku kini tidak bisa mengenali suara lagi. Telingaku tiba-tiba berdenging. Jadi, aku tidak bisa mendengar dengan jelas siapa yang bersuara itu.

Setelah berapa lama, akhirnya aku melihat pak Cecep. Dia menyingkirkan semua siswa disekitarku. Termasuk Dion, tetapi aku tidak ingin melepas tangannya.

"Tapi pak, tangan dia gak mau lepasin tangan saya." kata Dion.

"Lena, kamu bisa lepas tangan dia?" tanya pak Cecep dengan lembut.

Aku menggeleng sedikit.

"Pak, apa kita bawa ke UKS aja?" tanya Dion.

"Iya, tapi harus pakai tandu. Soalnya Lena kan tidak bisa jalan." kata pak Cecep. "Berarti harus panggil anak-anak PMR."

BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang