Chapte 5 - Aion

339 23 7
                                    

"Unh... mama, papa.... PAPA MAMA!" aku menggerakkan tubuhku sekeras-kerasnya.

"Hey hey hey. Easy, easy girl." seseorang menahan kedua bahuku.

"Hah?!" aku terkejut dan langsung membuka mataku. "Dokter Trost?" hal pertama yang kulihat adalah wajah dokter Trost.

"Hey, yeah. It's me." dokter tersenyum ramah padaku.

Agh, kepalaku masih terasa pusing. Aku melihat sekeliling, mengingat-ingat apa yang barusan terjadi. Hm... aku masih berada di kamar pasien, dan penyakitku kambuh tadi, jadi dokter harus membuatku 'tenang'. Oke.

"Lena"

"Ya dok?" aku menjawab dengan cepat.

"Apakah kamu masih ingat apa yang terjadi?"

Yang terjadi? Hm, penyakitku kambuh di sekolah, dan aku dibawa kesini. Memang ada sesuatu yang terjadi? Aku lupa. Yah, penyakit 'aneh'-ku ini sepertinya benar-benar mempengaruhi kinerja otakku. "Memang, ada kejadian apa dok?" aku merubah posisiku dan duduk di pinggir ranjang sehingga berhadapan langsung dengan dokter.

"Hah, aku tidak tahu harus dari mana mulainya dan dengan cara yang benar." dokter menghela nafas. "Here." dokter memberiku sepucuk surat dari kantong jas labnya.

Aku mengambilnya. Penasaran dengan apa isinya, aku langsung membukanya. *srek* *srek*... Ini dari orang tuaku? Aku membacanya.

Apa maksudnya ini? 'Menyerahkan Lena kepada dokter'? Penasaran, aku membaca sisanya. Dan sampailah aku pada bagian akhir dari surat tersebut.

Aku menutup mulutku dengan tangan kiriku, menahan air mata yang sudah tertampung cukup banyak sejak aku membaca penutupnya. Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Tetapi air mataku akhirnya keluar juga. Aku langsung mengembalikan surat itu dan mengalihkan pandanganku supaya dokter tidak dapat melihat wajahku yang kurasa sangat berantakan.

"Len..." dokter memegang bahu sebelah kananku.

Aku bergidik. Aku sedang tidak ingin disentuh oleh siapapun saat ini.

"Itu. Bohong." aku menangis.

"Sadly. It's... true." aku tidak tahu ekspresi yang di tunjukkan oleh dokter, tapi aku tahu kalau dia merasakan hal yang sama denganku.

"Tidak. Gak benar." suaraku bergetar. Aku mengusap mataku yang basah dengan lengan kananku.

"Listen." dokter menyentuh tanganku sehingga aku berpaling kepadanya. Wajahnya terlihat serius. "Aku juga merasakan apa yang kau rasakan. Percayalah, aku tahu rasanya." wajahnya kini melunak. "Tapi ada suatu hal yang orang tuamu percayakan kepadaku. Mereka memberikan suatu tugas absolut kepadaku, dan aku tidak akan dan tidak ingin mengingkarinya." bahasa Indonesianya terdengar agak kaku. "Listen, I swear and I promise I'm gonna find the cure for you. Percayalah padaku sepenuhnya bahwa aku akan menjadi teman yang baik bagimu, and that I will be the best parent you ever had." kata-kata terakhir tersebut membuatku kaget dan merasa lebih sedih entah kenapa.

Aku langsung berpaling dan menutup mulutku dengan satu tangan. "Dokter. Aku butuh waktu untuk sendirian. Sebentar saja." aku menahan air mataku yang siap untuk membanjiri wajahku lagi.

"Right. You need time for yourself. I'll be outside, just call me if you need anything." dokter beranjak dari bangkunya.

Aku hanya mengangguk, dan *cklek* dokter sudah diluar.

"Hiks." aku lansung mengambil bantal, memeluknya, dan membenamkan wajahku dalam-dalam.

Kamu tidak apa-apa?.

"Hiks. Aion?" aku mengangkat wajahku dari bantal.

Aion. Begitulah aku menamainya. Dia adalah sebagian dari diriku yang mempunyai pemikiran sendiri, dan kepribadiannya sendiri. Aion tumbuh dan sudah menjadi bagian dari diriku bahkan sejak aku dilahirkan. Dia seperti sebuah jiwa yang terperangkap dalam diriku. Tetapi Aion bukanlah sebuah jiwa sama sekali. Singkatnya, dia adalah penyakitku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang