Chapter 4.5 - Nightmare

85 6 0
                                    

"Lena... bangun, sayang." mama mengguncang tubuhku dengan pelan.

"Mmm." aku enggan membuka mataku. Tidurku di dalam mobil sangatlah nyaman.

"Sudah mau sampai nih. Mau ditinggal dalam mobil?" kata papa yang sedang menyetir.

"Lima menit lagi ah." ujarku.

"Ooh, mau disiram pakai air gitu?" ucap mama menantang.

'siram'? Ha?! Aku langsung berada dalam posisi tegap dan terduduk begitu mendengar kata 'disiram'. Pengalaman disiram saat terlelap bagiku itu sangatlah 'mengerikan', percayalah.

"Hnn" aku mengusap mata, supaya bisa melihat sekeliling dengan jelas.

"Nah, sudah sampai. Tolong buka gerbangnya, Len." papa memberhentikan mobil tepat di depan rumah.

Ya ampun, sudah sampai saja. Padahal tidurku tadi sangatlah nyenyak. Aku mengeluarkan kunci dari dalam kantung yang terdapat di belakang kursi depan sebelah kiri, turun dari mobil, dan segera menghampiri gerbang setinggi 2 meter yang berwarna hitam.

Cahaya dari lampu mobillah satu-satunya penerangan bagiku untuk mencari kunci gembok diantara kunci-kunci yang lain supaya aku dapat membuka gerbangnya. Nah, akhirnya ketemu juga kuncinya. Aku memasukkan tanganku ke dalam lubang dekat pegangan supaya aku dapat meraih gembok dan membukanya.

*gredek* *gredek* *gredek* gerbang terbuka.

Sementara papa memasukkan mobil, aku beralih ke pintu masuk rumah. Mencari kunci yang satu ini cukup sulit karena ada tiga kunci rumah yang identik satu dengan yang lain. Dan sayangnya, dari ketiga kunci tersebut hanya satu yang cocok untuk diputar.

Mesin mobil sudah dimatikan, begitu pula cahayanya. Tapi untung saja aku sudah menemukannya duluan. Yap, aku menemukan si kembar tiga itu. Aku mencoba satu demi satu kunci-kunci tersebut. Dan sampailah pada percobaan kunci terakhir... *cklek* *cklek* *cklek* tidak terbuka.

"Ma, kok kuncinya gak ada yang cocok?"

"Mana sini coba." mama turun dari mobil dan mengambil si kembar tiga yang tadi kucoba.

*cklek* *cklek* terbuka!. Hm, memang, tangan ibu-lah yang terbaik.

"Len, bantuin angkat barang." papa memanggilku.

"Iya."

Aku mengangkat plastik yang berisi sayuran dan snack. Sedangkan papa membawa yang berisi buah-buahan dan daging, yang mana lebih berat dari pada bawaanku. Mama hanya membawa tasnya dan sebotol air mineral. Lalu kami berjalan ke dalam rumah.

Hmm, kok lampunya padam? Seingatku tadi siang saat pergi, lampunya masih menyala. Mungkin mati lampu.

"Pa, tolong nyalain lampunya." saat itu kebetulan aku yang duluan masuk ke rumah. Dan aku sangat takut kegelapan. Akhirnya, papa dan mama masuk mendahuluiku.

Pintu tertutup di belakangku (mungkin karena angin), membuat semuanya gelap gulita. Untungnya masih ada cahaya yang masuk melalui kedua jendela di samping pintu. Rasanya ingin keluar saja karena kegelapan membuatku gelisah dan panik.

Selang berapa lama, lampunya tidak juga menyala. Memang benar mati lampu sepertinya. Aku memberanikan diriku dan melangkah ke ruang keluarga.

Perasaanku tak enak. Kemana perginya orang tuamu?

Aku menggeleng.

"Ma? Pa? Mati lampu ya?" aku sedikit berteriak untuk menambah keberanianku.

Hening.

Baiklah, sudah cukup. Ketakutan mengalahkanku. Saatnya keluar.

Ketika berbalik badan dan mulai berjalan menuju pintu keluar, aku melihat sesuatu yang sangat menakutkan tiba-tiba muncul. Sepasang cahaya merah, seperti sepasang mata. Hantu? Semakin mendekat, semakin membuatku panik dan takut. Lalu, tba-tiba saja semuanya menjadi putih menyilaukan. Aneh sekali.

Aku mengusap kedua mataku yang terasa panas akibat cahaya itu. Setelah beberapa kedipan, penglihatanku akhirnya mulai pulih dan "Uhh, Aion? Apa yang--." kata-kataku terpotong oleh sesuatu. Aku tersentak dan terjatuh. Tidak bisa bergerak.

"P-pa? M-ma? Hugh." aku menahan mulutku. Air mataku telah membanjir tanpa kusadari.

Sungguh pemandangan yang mengerikan. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku meskipun aku sangat teramat menginginkannya. Papa dan mama. Siapa satu orang itu? Yang memakai jaket ber-hoodie hitam. Laki-laki atau perempuan? Entahlah, ia membelakangiku. Apa yang dia lakukan terhadap papa dan mama? Tangannya membentang ke atas. Tidak, bukan tangan. Tangan tidak sepanjang itu. Lebih seperti tombak. Tombak berwarna hitam yang menancap tepat di tengah dada papa dan mama.

Orang tuaku. Tidak, aku hanya ingin menutup mata. Dan pergi dari sini. Dimana ini? Ruangan yang serba putih dengan orang ber-hoodie yang sedang menancapkan kedua tombaknya. Dimana, Aion? Aion, aku membutuhkanmu.

"Hehehe. Ahahahaha!" suaranya menggema. Entah itu suara perempuan atau suara laki-laki yang bernada tinggi.

Orang itu mulai memalingkan wajahnya kearahku.... Topeng? Topeng putih yang menutupi wajah seluruhnya tidak ada lubang mata, mulut, maupun hidung. Ada apa dengan psycho ini?! Dia gila!.

Sebanyak-banyaknya aku ingin bangun dari posisiku dan berlari saat ini, tetapi tetap saja. Aku hanya terpaku melihat orang itu yang menancapkan tangannya kedalam papa dan mama, yang sepertinya menatapku dengan bahagia.

Dia ingin membunuhku.

Tidak. Ini tidak terjadi. Tidak mungkin. Mama! Papa!. Aion!

Dengan sekuat tenaga aku berteriak, tetapi hanya di dalam pikiranku saja. Lidahku terasa kaku, bibirku hanya bergetar karena rasa takut yang sangat teramat ini.

"Ssshhht." psycho itu kembali memalingkan wajahnya menghadap papa dan mama.

Lalu tubuhnya mulai bergetar, seperti sesuatu akan merobek jaket itu dan meledak.

"Ahahaha!"

Lalu semuanya menjadi gelap.

*****

"Hey hey hey. Easy, easy girl." seseorang sedang memegang kedua bahuku. Oh, dokter Trost.















Fuuuh. Akhirnya. Selesai juga /\.
Pertama, author ingin minta maaf karena updatenya udah downdate banget (alias lama sangat). Kedua, thor mengucapkan terima kasih buat yang udah baca, apa lagi vote dan koment. :D chapter berikutnya, cekidot. :D.

Hmm, kayaknya bagian chapter ini bergenre psychological banget yah.

BlackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang