4 | Harap yang Hirap

13 5 0
                                    

Riri tengah bersantai di kamar seraya menyantap camilan yang kini bekas kemasannya berserakan di lantai. Sedangkan matanya sibuk membaca cerita wattpad.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk membuatnya terkesiap. Ia membaca satu persatu angka yang tertera di layar.

"Aneh. Siapa yang ngirim pesan? Tumben amat. Biasanya cuma kang operator. Ah, paling nomor yang ngajak buat join santet onlen, " gumamnya seraya membuka pesan tersebut. Mata Riri membulat tatkala membaca isinya. Hatinya mulai berdebar tak karuan.

[Assalamu'alaikum, Ri. Gimana kabarnya? Ini aku, Aldi]

Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Ia mencoba merangkai kata. Namun, sepertinya Riri kehabisan kata-kata.

[Eh, Aldi ....]

Tak sengaja jemarinya menekan tombol kirim. Riri menggerutu dalam hati atas sikapnya yang selalu saja tak terkendali jika berurusan dengan hal yang berkaitan dengan pria itu.

[Ish, ish, ish. Jawab salam dulu atuh, Neng.]

Balasan itu sukses membuatnya berguling kesana kemari. Pipinya langsung memerah menahan malu. Bagaimana tidak? Pria yang mengiriminya pesan adalah seseorang yang selama ini ia tunggu.

[Iya, Wa'alaikumussalam. Maaf tadi jarinya kepeleset. Alhamdulillah, aku baik. Kamu gimana?]

[Baik juga. Eh, lanjut wa yuk. Mana nomor kamu, Ri?]

[Okesiiip. Nih, 0857720*****]

Senyuman di wajahnya yang sedari tadi terbit, tak kunjung tenggelam. Sekarang mereka tengah bertukar sapa, melepas semua rindu yang sejak kemarin menumpuk menyesakkan dada.

Aldi. Sebuah nama yang selalu saja berhasil membuat hati Riri merasa tenang, nyaman, aman, bahagia, dan salah tingkah saat mendengarnya. Ia adalah sahabat Riri sejak SMP. Namun, keduanya sempat terpisah karena memasuki SMA yang berbeda.

Riri masuk ke SMA umum, sedangkan Aldi lebih memilih melanjutkan pendidikannya di sebuah pondok pesantren Tahfidzul Qur'an. Ya, ia seorang hafidz. Kini, keduanya sudah dewasa.

Aldi menyampaikan niatnya untuk melamar Riri. Tentu saja Riri mengatakan tidak. Tidak bisa menolak, maksudnya. Kabar gembira itu ia simpan sampai Aldi menyelesaikan masa pengabdiannya di pondok.

Hari ini angkatan Riri mengadakan acara reunian yang dihadiri oleh beberapa orang saja dikarenakan kesibukan masing-masing. Hati Riri berdebar kencang menantikan pertemuannya dengan Aldi setelah sekian lama.

Riri dan beberapa temannya sudah sampai di taman kota. Ia mengedarkan pandangannya mencari sosok pria yang begitu ia rindukan. Dari kejauhan, Aldi terlihat memakai jaket merah marunnya.

Setelah berkumpul, mereka makan bersama seraya bertukar cerita. Selesai makan, mereka menaiki perahu dan berkeliling danau.

Satu perahu hanya bisa dinaiki dua orang. Aldi memilih Riri untuk menjadi partnernya. Riri terlihat bahagia. Sebaliknya, Aldi tampak gelisah.

"Kenapa, Al?"

"Aku ... mau ngomong sesuatu. Aku udah sholat istikharah buat nentuin pasanganku. Kukira kamu, tapi ... temen kerja aku yang muncul. Aku udah cerita sama keluarga dan mereka setuju. Ri ... maafin aku. Aku yakin kamu ngerti. Semoga kamu nemuin imam yang tepat."

Riri berusaha mencerna perkataannya. Namun, yang ia temukan hanya rasa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya. Dadanya sesak. Hatinya sakit.

"Ba-bagus dong. Nanti kalo nikah ... undang aku, ya." Mereka pun mengobrol seperti biasa. Walau sebenarnya Riri sangat sedih. Namun, ia tak mau menunjukkannya.

Hari sudah sore. Mereka berpamitan. Riri melihat punggung Aldi yang semakin menjauh dan pergi membawa serta seluruh rasanya. Harapan untuk hidup bersama, pupus sudah.

Riri tersadar. Jika terlalu berharap pada manusia, maka hanya sakit yang didapat. Sekarang ia mencoba menata hatinya kembali dan menitipkan harapannya hanya pada Sang Pencipta.


AnPen 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang