Mobil jeep hitam terparkir rapi di halaman depan rumah panggung itu. Pintu pengemudi terbuka bersamaan dengan keluarnya seorang pemuda tampan.
Seseorang telah berdiri, menanti di ambang pintu. Membentangkan tangan menawarkan kehangatan. Senyumnya tak pernah berubah sedari dahulu. Tetap menentramkan. Walau kini, ia sedikit menyelipkan kegetiran dalam senyumnya.
Pemuda itu ikut tersenyum. Kemudian, berjalan mendekat ke arah wanita yang begitu dirindukannya seraya mengucap salam.
"Assalamu'alaikum, Umi ... Afi pulang." Ia mencium tangan wanita di depannya, lalu memeluknya erat.
"Wa'alaikumussalam. Bang Afi ... Umi seneng Abang pulang. Ini beneran kamu? Ya Allah, Bang Afi ...." Tanpa permisi, bulir-bulir bening luruh berjatuhan di pipinya yang seketika dihapus Afi.
"Umi, jangan nangis! Maafin Afi, Mi. Maafin Afi baru pulang."
"Iya, Bang. Gak apa. Ayo, kita masuk! Umi udah masak pecak tempe kesukaan kamu. Ada sayur asem, sambel goreng kemangi, kentang balado, sama apa lagi, ya?"
Afi terkekeh kecil mendengar suara uminya. Ia menghela napas panjang. Menyeka air mata yang hampir saja jatuh. Betapa luasnya hati ibu yang selalu mempunyai ruang untuk menyimpan maaf. Tidak, bahkan ia tak pernah menganggap anaknya bersalah dan hanya menyalahkan dirinya sendiri. Mengingat itu, Afi merutuk dirinya sendiri karena pernah membuat uminya menangis.
Mereka berjalan perlahan menuju ruang tengah sekaligus tempat mereka dulu biasa berkumpul menyantap makanan. Afi berhenti tepat di depan meja yang di atasnya terdapat pigura. Ia mengambil dan memperhatikan dengan seksama setiap figur yang ada di dalamnya.
Di sana, bapa, umi, dan Lira duduk di bangku taman. Lalu bang Rendi dan dirinya berdiri di belakang mereka. Seulas senyum terukir di wajah masing-masing.
Foto sepuluh tahun yang lalu. Jauh sebelum semuanya layu. Dimana, semua orang masih lengkap. Begitu pula dengan kebahagiaan yang masih menetap.
"Afi, ngapain masih berdiri di situ? Ayo, ke sini!" Suara umi membuyarkan lamunannya. Ia menyahut dan segera menghampiri umi.
Afi menyibakkan tirai yang menjadi sekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Seketika hatinya terenyuh melihat gadis yang tengah menata hidangan dengan tangannya yang terlihat terampil.
"Li ... Lira?" Tenggorokannya tercekat saat gadis itu menoleh. Ia lalu bersembunyi di balik punggung umi.
"Lira, ini Abang Afi. Gak usah malu. Masih inget, kan? Kemarin-kemarin Lira suka nanyain. Ini Abangnya udah pulang. Ayo, salim dulu ya, Nak." Umi mengusap punggungnya lembut sambil memberinya pengertian. Lira mengangguk, lalu meraih tangan Afi sembari menciumnya.
"Ini ... beneran Bang Afi?" tanyanya malu.
Afi mengangguk dan langsung memeluk adik kecilnya itu. Air matanya tak berhenti mengalir. Bagaimana bisa ia setega ini? Bagaimana bisa ia merenggut salah satu sumber kasih sayangnya?
"Umi ... Lira ... maafin Afi! Maafin Afi! Afi berdosa!" Tangisannya pecah memenuhi ruangan. Umi yang sedari tadi menahan untuk tidak menangis lagi, ikut tenggelam dalam kesedihan.
Sepuluh tahun yang lalu ....
Afi kecil termangu menatap nisan yang bertuliskan nama ayah dan ibunya. Rasa sedih memenuhi rongga dadanya hingga sesak, sampai ia tak bisa mengeluarkan air mata.
Sebuah tepukan hangat mendarat di punggungnya. Afi menoleh dan mendapati bang Rendi serta keluarganya baru sampai di pemakaman.
Orangtua Afi meninggal akibat kecelakaan beruntun. Akibat insiden itu, umi - adik dari ibunya Afi - memutuskan untuk mengasuhnya.