phase three : the deal.

20 3 0
                                    

Seharian,aku meratapi kebodohanku atas apa yang kukatakan kepadanya. Jatuh hati? Aku benar-benar tidak waras. Bagaimana bisa aku meminta seseorang yang baru sekali menemuiku untuk jatuh hati kepadaku? Meskipun responnya cukup baik untuk menghadapi kegilaan tadi yaiu dengan diam tanpa memaki, tetap saja harus dimana kutaruh wajahku? Aku bahkan tanpa basa-basi langsung meminta nomor teleponnya.

Apakah aku harus meminta maaf dan berkata yang sejujur-jujurnya soal apa yang telah kulakukan? Haruskah aku menelponnya, mengirimkan pesan, atau... haruskah menemuinya langsung?

"Melamun tanpa berpikir nggak akan menyelesaikan masalah, Na..." Sarah memperingkatkan. "Gue yakin dia pasti paham kalau lo jelasin pake bahasa yang bener. Jangan macem-macem, jangan dibumbui biar lo keliatan bener. Lo emang salah karena diem-diem ngawasin dia di rumahnya,"lanjutnya sambil terus menyilangkan tangan. Sepupuku yang satu ini memang sangat pandai saat disuruh menyalahkan seseorang.

"Diem, Sar. Lo kira gue diem karena nggak berpikir?" aku melotot kearahnya, namun yang dipelototi justru melemparku dengan sandal yang ia pakai. Lihat, bukankah sungguh kurang ajar? Untung saja aku sayang padanya.

"Sakit woy!" protesku keras. Ia justru terbahak-bahak.

"Sandal itu peringatan biar lo berpikir dengan jernih, Nadin Ghenadra. Mahasiswi hukum harusnya bisa berpikir logis tanpa melibatkan perasaan dalam kasus seperti ini. Coba, masuk pasal berapa pengintaian yang lo lakukan? Masuk kejahatan pidana bukan? Atau... tindak kriminal?"

"Sar..."

"Oke, fine. Sorry. Gue cuman mau bikin otak lo yang bebal soal perasaan itu jadi lancar. Gue kira lo pinter urusan beginian, nyatanya nol besar"

"Sar..."

"Ada panggilan dari Andrew. gue cabut dulu," sungguh momen yang sempurna untuk alasan yang sempurna. Pacarnya menelponnya disaat yang tepat, disaat aku ingin memakinya karena terus menyalahkanku dan menyudutkanku. Sarah buru-burupergi ke balkon untuk mengangkat telepon itu. Aku yakin mereka berdua akan berbincang dengan cara yang menggelikan, membuat panggilan lucu yang jsutru terkesan lebay.

Lo bilang gitu karena lo nggak pernah pacaran, kata Sarah saat aku mengomel padanya.

Aku memilih untuk menyembunyikan kepalaku dibawah bantal, memaksa diriku sendiri untuk berpikir sesuatu yang logis dan tidak membuat Angkasa semakin marah. bagaimana cara aku menjelaskan ini semua kepadanya? Jika aku menjelaskan semuanya... bukankah itu artinya aku juga harus mengakui bahwa aku telah jatuh hati kepadanya?

Tidak. Tidak mungkin. dia tidak akan mempercayai omongan bualan semacam itu. Dia pun akan lebih takut kepadaku karena aku mengetahui hampir semua entangnay dan selalu mencatat kegiatannya setiap hari selama pengintaian dilakukan.

Astaga. Bukankah aku keterlaluan?

Belum sempat aku menemukan ide bagaimana caranya meminta maaf, sebuah telepon bordering dari ponselku. Aku melihat siapa yang menelpon, lalu memekik kaget saking kagetnya. Angkasa Mahenra menelponku?

Aku berusaha menetralisir detak jantungku, menarik nafas dalam-dalam sebelum mengangkat telepon mengerikan itu. Akan ada apalagi...

"Saya tidak bisa berhenti berpikir tentang ini. Ayo bertemu."

***

Disinilah aku.

Berada di salah satu toko buku (seperti yang sudah kukatakan bahwa dia sering ke toko buku), disuguhi segelas Americano dingin dan duduk langsung berhadapan dengannya sama seperti kemarin. Matanya menatapku tajam, badannya tegak seperti siap menumpahkan segala hal yang ada di otaknya. Dua bulan aku mengamatinya, tidak pernah aku melihat dia seperti ini. Sepertinya ini adalah puncak kesabaran seorang Angkasa Mahenra.

rumpang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang