"Ini bukan perilaku yang baik. bukankah kamu juga tahu itu?"
Aku hanya tersenyum dan menunduk. Ia mungkin mengira aku memiliki niat buruk untuknya—tak apa, karena manusia memang selalu penuh pransangka tanpa tahu pastinya. Hanya menebak dari yang ada, mengenyahkan kemungkinan baik dan siap siaga pada kemungkinan buruk. Aku pun melakukan hal yang sama, jadi aku memakluminya.
"halo?" ia memanggiku karena aku hanya diam tak menjawab apa-apa.
"Nadin Gheandra," aku mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan. Kulihat lidahnya kelu dan matanya melotot, berpikir seberapa gila aku sampai mengajaknya berkenalan padahal dia sedang penuh amarah kepadaku. "Panggil saja Nadin," kataku lagi.
Malu dan nekat adalah dua kata yang menggambarkan diriku saat ini. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, tetap aku tahu pasti bahwa dari seribu kejadian—mungkin hanya satu kali aku menemukan kesempatan bisa bertemu dan berkenalan dengannya. Bukankah satu hal yang baik?
"Kamu mau membiarkan tangan saya kaku menunggu uluran tanganmu?"
"a—a—angkasa. Nama saya Angkasa," kami berdua berjabat tangan.
Bodoh, Angkasa Mahenra. Aku tahu nama lengkapmu bahkan tanpa kamu harus mengatakannya.
Kami bertatapan sejenak, dan kesempatan ini kugunakan untuk mengamati wajahnya lebih detail. Bola mata coklat terang, hidung mancung, hingga bekas jerawat seperti titik kecil di pipi kiri. Awalnya ia biasa saja, tetapi saat ia menyadari aku mengamatinya dalam, ia langsung melepaskan tanganku. Dia pasti ilfeel setengah mati denganku.
"Kamu sudah mengamati saya sejak dua bulan lalu, bukan? Kamu selalu duduk di bangku yang sama. Bangku yang sangat strategis untuk mengintai rumah saya. Atau, kamu..."
"Pertama, saya tidak pernah ada maksud buruk. Kedua, saya tidak berusaha mencuri apapun. Ketiga, bisa kita bicarakan ini baik-baik di dalam? Tidak enak dilihat orang," aku mengajaknya masuk ke kedai kopi.
Seperti yang sudah kuduga, ia menuruti ajakanku. Angkasa Mahenra yang kutahu bukanlah tipikal keras kepala dan seenaknya sendiri. dia adaah manusia suka bermusyawarah dan membicarakan segalanya baik-baik ika lawan bicaranya tidak emosional lebih dulu.
Kami berdua duduk di bangku tempat aku biasa mengamatinya. Aku sengaja bertanya dia akan memesan minuman apa, meskiun aku tahu jawabannya tetap sama : Americano dingin. Aku juga sengaja membedakan varian minuman yang kupesan dengannya meski sejak aku jatuh hati kepadanya aku juga jatuh hati dengan Americano dingin. Jatuh hati paket komplit, bukan?
"Bukankah aneh saat seseorang mengintai orang lain tanpa ada maksud buruk? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Atau, saya pernah membuat kamu rugi?"
"tidak ketiga-tiganya, mungkin."
"lalu?"
Sebelum aku sempat menjawab, minuman yang kami pesan datang. Segelas Americano dingin miliknya tampak begitu menyegarkan, namun aku terpaksa meminum latte—minuman yang menurutku enak sebelum aku mengetahui sosok bernama Angkasa. Ia juga menyeruput minumannya, kemudian langsung menaruh kembali gelasnya dan menyilangkan kedua tangan.
"Jawab saya, Nadin" ia menunggu jawabanku.
"Terimakasih telah menyebutkan nama saya dengan baik," aku tersenyum seperti orang gila dihadapannya. Benar-benar tidak waras.
"Jelaskan kepada saya dengan sejelas-jelasnya. Kamu tahu pasti sangat tidak enak saaat hidupmu dipantau oleh seseorang yang tidak kamu kenal,"
Aku masih terdiam seribu bahasa.
"Kamu akan membuat saya menjadi patung menunggu jawabanmu," ia memutar bola matanya. Aku tersenyum lagi dan lagi, membuat tatapannya seolah bertanya setan macam apa yang merasuki jiwaku dan betapa sial hidupnya karena bertemu denganku.
"Bisakah kamu jatuh hati dengan saya?"
Apa yang kamu lakukan, Nadin?
***
Gimana pendapatmu? Yuk vote dan comment sekarang✨
KAMU SEDANG MEMBACA
rumpang.
Fiksi RemajaAngkasa Mahenra, bagaimana jika kita hanya ditakdirkan untuk dipertemukan saja? apa aku bisa mengubahnya, menjadi selamanya?