Pagi-pagi sekali, dua manusia yang selalu ada dalam hidupku mendadak menggedor-gedor pintu kamar. Aku melirik jam digital yang ada diatas nakas, dan jam itu baru menunjukkan pukul lima pagi. Untuk apa mereka membangunkanku sepagi ini? Sungguh tindakan yang begitu langka.
"Nadin! Bangun!" Suara Ben terdengar begitu jelas di telingaku.
"Nadin Gheandra! Ayo bangun sayangku!" kini giliran Sarah yang bersuara.
Mendengar Sarah menyebut 'sayangku' sangat cukup untuk membuatku mau tak mau bangkit dari kasur dan membuka pintu untuk mereka.
"Hm?" aku bertanya setengah sadar saat melihat mereka berdua sudah mengenakan pakaian lengkap untuk berolahraga. Sejak kapan Sarah gemar berolahraga? Dan... Ben, sejak kapan dia disini? Jarak rumah kami cukup jauh, memakan waktu kurang lebih 30 menit dengan kendaraan bermotor.
"Ganti baju. Kita olahraga," Ben berkata dengan santai dan seketika membuat aku merinding. Mereka berdua kena sambaran petir atau kena santet?
"Kalian berdu—"
"Tunggu gue dan Nadin di bawah. 10 menit," tanpa ba-bi-bu, Sarah tiba-tiba mendorongku masuk ke kamar, mengunci pintu kamar dan memaksaku untuk berganti baju. Saking niatnya, dia bahkan rela mengambilkan sepatu olahraga, kaus kaki, serta topi untukku. Seorang Sarah yang bisanya hanya mengomel dan membuat rumahku berantakan... kini menyiapkan sesuatu untukku? Benar-benar tidak masuk akal.
"Buruan, Gheandra. Bisa cepet dikit nggak sih?!" Sarah mulai kesal karena aku bahkan belum selesai menggosok gigi saat ia sudah menyiapkan semuanya.
Aku sangat enggan mendengarkan ceramah Sarah pagi-pagi, sehingga kuputuskan untuk mempercepat langkahku bersiap-siap kemudian langsung menemui Ben yang sudah siap di ruang tamu. Wajahnya sudah ditekuk, itu artinya aku sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan Sarah.
"Dua puluh menit lima belas detik, gimana bisa selama itu? Ngapain aja lo?" Ben menunjuk kearahku, namun sepertinya Sarah tidak mau memperpanjang masalah ini. Dia menarik tanganku dan tangan Ben, mengunci pintu rumah dalam sekejap dan memaksa kami untuk melakukan pemanasan. Bendatama tamapaknya sudah segar dan siap berlari, sedangkan aku masih menguap beberapa kali. Dengan terpaksa aku harus menerima begitu saja pukulan dari Ben maupun Sarah tiap kali aku hampir ketiduran.
Selesai pemanasan singkat nan penuh drama, kami bertiga berlari pelan. Awalnya Sarah begitu bersemangat sampai emninggalkanku dan Ben di belakang, namun akhirnya tetap saja dia yang terengah-engah duluan. Kini giliranku dan Ben meninggalkan dia sendirian.
"Ben! Na! Tungguin gue woy!" teriaknya. Aku dan Ben sama-sama tersenyum penuh makna, lalu dalam sedetik kami berdua mempercepat lari sehingga Sarah semakin tertinggal di belakang.
"Lo yakin Andrew nggak marah kita ninggalin Sarah?" tanyaku pada Ben saat kami berdua akhirnya beristirahat di depan salah satu minimarket.
Ia menggelengkan kepalanya dan meneguk setengah botol air mineral yang baru kubeli.
"Lima belas menit loh, Ben. Dia nggak papa, kan?" baru saja aku bertanya lagi, yang ditunggu akhirnya muncul juga. Aku melihat Sarah dengan langkahnya yang terseok-seok sedang menuju kearah kami—aku hanya bisa tertawa melihatnya. Lihatlah, bukankah tadi dia yang paling semangat memaksaku ikut olahraga pagi? Kini justru dia yang 'tewas' duluan.
"Gila. Gila..." Sarah menarik kursi, langsung meneguk habis air mineral yang tersisa setelah diminum Ben. Rambutnya yang dikepang sudah berantakan, rambutnya benar-benar basah oleh keringat. "Kapok gue, Ben. Nggak lagi-lagi gue ngikutin ide sinting lo,"
![](https://img.wattpad.com/cover/271332748-288-k261920.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
rumpang.
Novela JuvenilAngkasa Mahenra, bagaimana jika kita hanya ditakdirkan untuk dipertemukan saja? apa aku bisa mengubahnya, menjadi selamanya?