Aku selalu duduk di kursi kosong paling ujung kedai kopi depan rumahmu, mematung disana berjam-jam hanya untuk menanti kapan kiranya kamu pergi. Aku tidak pernah mengetahui pasti perihal tujumu, tetapi aku bisa menebak dari caramu berpakaian. Memakai kemeja dan menenteng tas laptop saat hendak berangkat kuliah, memakai kaus oblong polos saat hendak pergi ke toko buku atau swalayan, serta berpenampilan modis saat hendak bermain bersama teman atau pergi ke panti asuhan. Iya, aku sedikit tahu pula soal keseharianmu.
Mulanya, aku tak terlalu memperhatikanmu. Kamu pun mungkin tak sadar bahwa pernah sekali kita bertemu di auditorium kampus saat acara seminar. Aku menganggapmu hanya angin lalu, tetapi saat mataku menangkap dirimu yang sedang dengan ramah membantu anak-anak di panti pada perjumpaan kedua kita, aku jatuh hati. Aku jatuh hati dengan tawa renyahmu, kerut mata saat kamu tersenyum, caramu menggenggam mereka dengan erat, dan hangatnya kamu saat memeluk mereka. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya.
Sejak saat itu, aku mencari tahu tentangmu. Aku bertanya kepada siapapun yang dapat membantu, dan kutemukanlah alamat rumahmu beserta tetek-bengek tentangmu—mulai dari warna favorit, selera music,hingga keseharianmu. Dari situlah, kebiasaanku ini dimulai.
Terkadang, hatiku berdebar saat kamu pergi ke kedia kopi tempatku bersemayam sembari memperhatikanmu untuk membeli segelas Americano dingin dan sepotong kue tiramisu. Aku takut kamu menyadari aku selalu disini—karena aku belum siap dan sekiranya belum pantas untuk sekedar bertatap muka langsung denganmu.memantaskan diri adalah prioritasku sebelum menemuimu.
Nahas, perjuanganku diam-diam selama dua bulan belakangan ternyata harus kandas sampai disini. sebelum aku semat memantaskan diri, kita sudah dipertemukan lebih dulu. manik matamu bertemu dengan diriku yang hendak pergi kelar dari kedai kopi. Aku yang mengira kamu tak menyadari kehadiranku selama ini ternyata salah. Kamu tahu aku selalu ada disana, di jam-jam saat kamu masuk atau keluar rumah. Kamu tahu aku selalu memesan menu yang sama denganmu, kamu bahkan hafal pakaianku dari seminggu lalu. Kamu mendatangiku, meminta penjelasanku, dan bertanya siapakah aku.
Dari nada bicaramu, aku tahu kamu marah. kamu takut hidupmu menjadi seperti artis yang penuh dengan netizen yang berkeliaran, siap memberitakan hal-hal buruk kapan saja seperti bom waktu. Aku tidak marah akan itu, sama sekali tidak. Aku berusaha memahami niat baik dalam hatimu.
Hai, Angkasa Mahenra.
Haruskah kusebut ini pertemuan pertama kita?
KAMU SEDANG MEMBACA
rumpang.
Ficțiune adolescențiAngkasa Mahenra, bagaimana jika kita hanya ditakdirkan untuk dipertemukan saja? apa aku bisa mengubahnya, menjadi selamanya?