"Nadin, Bunda nggak bisa biarkan kamu seperti ini. Kita obati, ya?" suaranya memang terdengar khawatir, namun aku tak lagi bisa merasakan kekhawatirannya. Aku melirik kesampinku dan menemukan Ben sedang mengacak-acak rambutnya sambil duduk di sofa. Aku yakin dia sedang kebingungan saat ini.
"Sejak kapan bunda peduli?" aku mencoba tertawa, namun akhirnya justru terbatuk hingga membuat Ben bangkit dan melangkah cepat kearahku yang terbaring di tempat tidur.
"Lo nggak papa?" tanya Ben. Aku mengangguk.
"Kamu bisa buta, Nadin Gheandra. Ini peringatan penting. Detailnya akan bunda sampaikan pada Ben," ia menghela nafas panjang. Wanita dengan nametag 'Ayu Saraswati' itu benar-benar terlihat frustasi menghadapi putrinya sendiri. Aku menyunggingkan senyum.
"Bendatama, ke ruangan saya sepuluh menit lagi."
***
Dua jam tepat dia kembali ke ruangan tempatku dirawat setelah dipanggil 'Dokter Ayu'. Untuk pertama kalinya, aku melihat mata Ben bengkak dan seluruh penampilannya acak-acakan. Seorang Bendatama yang selalu rapi dan modis kini berbeda 180 derajat.
"Nadin..." dia berjalan cepat kearahku dan memelukku yang sedang duduk. Dia memelukku erat sekali—dan aku tahu apa alasannya. "Na... kenapa lo nggak bi—"
"nothing happen. Tenang," aku mengusap punggungnya pelan, kemudian membiarkan dia terebih dahulu melepaskan pelukan lalu duduk di kursi terdekat. Dengan jarak kurang dari dua meter, aku bisa mencium aroma parfum mahalnya yang tidak menabrak bau badannya. Aku yakin sejak dia membawaku kesini, dia benar-benar belum mandi. Pakaiannya saja masih seperti dua hari lalu.
"Mandi dulu,"
"Gue se khawatir ini dan lo nyuruh gue mandi?!"
"kalau nggak mau ya udah. Hanya mengingatkan kalau lo belum mandi selama dua hari,"
"Apa itu penting, Gheandra?!"
Aku mengangguk, membuatnya kembali mengacak rambutnya.
"Dokter Ayu bilang lo kena kanker otak, Na. dia bilang tumor itu bakal nyerang saraf penglihatan lo, dan lo ba—"
"Gue akan buta. I know it."
"Hah?"
"Gue tau gue kanker dan bakal buta, Bendatama."
"Dan lo diem aja selama ini?!"
"What should I do, then?"
"Na..."
"im okay," aku memaksakan senyum.
"You're not. Kita cari jalan keluarnya. Gue akan coba hubungi papa dan ma—"
"you don't have to, Ben."
"Na..."
"Selama lo ada, I will always be the same Nadin. Kehilangan penglihatan tidak berarti gue kehilangan semua hal. Satu hal yang gue tahu, gue nggak akan kehilangan lo. Itu cukup untuk gue terus bertahan, Bendatama. Gue mungkin akan mencoba mati lagi entah kapan, but I know lo akan menyelamatkan gue pula disaat itu. Semuanya sangat cukup,"
Pada akhirnya, Ben tidak bisa berkata-kata lagi karena dia akan selalu kalah dengan senyumanku. Dia selalu kalak telak, memilih untuk memelukku dengan erat dan membiarkanku mendengarkan tangisannya—tangisan berisik persis seperti anak kecil. Sahabatku satu ini benar-benar menggemaskan. Dia terlalu baik hati dan sempurna.
"Gue akan lakukan apapun yang terbaik buat lo. Gue janji," katanya masih memelukku erat.
"I know it, truly."
"Gue harus telepon Sar—"
"Jangan katakan apapun. Gue udah terlalu banyak jadi beban buat dia,"
"Lo nggak nyadar lo lagi jadi beban dalam hidup gue?"
"Oh... Jadi nganggep gue beban, nih?" aku melepaskan pelukan dan menggodanya dengan berpura-pura marah. "Gue pergi ke US aja kali, ya? Nikmatin hidup disana sampe mati. Nggak perlu jadi beban buat siapapun,"
"Na..." wajahnya yang begitu sedih membuatku tak bisa menahan tawa.
"Im just kidding," kataku pada akhirnya. "Jangan dibawa serius,"
"Gue nikahin lo kalo lo mau ke US, biar sekalian gue iket yang kenceng di rumah"
"Heh! Ogah nikah sama cowok modelan lo!"
"Gue juga ogah punya istri bawel kaya lo!"
Alhasil, semua percakapan yang tadinya mellow berubah jadi candaan receh. Bendatama, tidak pernah sekalipun aku menyesal telah mengenalnya.
***
Berulang kali aku meminta pihak rumah sakit untuk mengganti dokter penanggungjawabku, berulang kali juga aku ditolak. Selama seminggu, aku harus menerima kenyataan bahwa 'Dokter Ayu' harus datang ke ruanganku dua kali sehari untuk memastikan kondisiku tetap stabil.
Aku benci menatap wajahnya. Aku terlalu mirip dengannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku benci saat menyadari bahwa dialah yang menyebabkan semua kehancuran ini—kematian ayah, tarumaku, dan hilangnya semua bahagiaku. Saat melihatnya yang mirip denganku, aku seperti ingin menyalahkan diriku sendiri seakan aku juga turut andil dalam datangnya kehancuran itu.
"Dengarkan bunda, Nadin Gheandra. Kamu ti—"
"Aku rasa obat dan makanan sudah selesai di taruh. Mengapa seorang dokter dengan jam terbang tinggi masih disini? apakah dia masih punya waktu bersama kelaurganya?"
"Kamu keterlaluan," nada bicaranya rendah namun begitu ditekan. Jika Ben ada disini, dia mungkin akan memarahiku karena nada bicaraku yang terlalu lancing hingga Dokter Ayu mengatakan 'keterlaluan', namun beruntungnya Ben sedang tidak disini. dia pergi untuk mandi dan mengambil pakaian di rumahnya.
"aku sudah bisa kembali pulang besok. Terimakasih sudah merawatku disini,"
"Siapa yang bersamamu saat kamu pulang? Bunda akan ajukan rawat inap lebih lama."
"Ada Ben dan Sarah. Sejak kapan bunda khawatir?"
"Nadin, bukankah seharusnya kita melupakan semua yang telah terjadi? Bunda khwatir karena kamu anak bunda. Jangan berpikir macam-macam,"
"Bagaimana bisa aku melupakan seorang perempuan yang diam saja melihat suaminya bunuh diri, lalu tiga hari setelah kematian suaminya dia membawa seorang pria ke rumah dan berkata pada anaknya bahwa mereka berdua akan menikah karena perempuan itu sudah hamil?"
Plak. Dokter Ayu menamparku.
"sudah kuduga," aku memegang pipiku yang terasa panas lalu meliriknya. "Rasa sayang bunda kepada pria sialan dan anak kesayangan memang jauh lebih besar daripada rasa sayang kepadaku. Terimakasih sudah memberiku kepastian soal itu."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/271332748-288-k261920.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
rumpang.
Novela JuvenilAngkasa Mahenra, bagaimana jika kita hanya ditakdirkan untuk dipertemukan saja? apa aku bisa mengubahnya, menjadi selamanya?