Jaka tidak tahu kapan tepatnya dia dan Narel menjadi akrab seperti sekarang. Apa sejak Narel mengajaknya berkenalan saat pertama kali bertemu atau saat Narel memuji style pakaiannya lewat reply snapgram atau juga saat Jaka membantu Narel mengantarnya pulang karena cewek itu membawa banyak sekali barang.
Jaka lebih mudah beradaptasi saat mulai bersama Narel. Dia lebih percaya diri ketika mendengar suara Narel. Sebelumnya, di forum ini Jaka lebih sering mengucapkan kata "mengerti", "siap", "laksanakan" dan kalau tidak ditanya pendapat, dia tidak akan mengeluarkannya. Jaka terlalu takut pendapatnya tidak masuk akal atau tidak nyambung dengan apa yang sedang dibahas. Tapi Narel seakan tahu saat Jaka sedang kebingungan.
Narel tidak memberi masukan yang menyentuh hatinya, dia hanya melakukan hal yang dia bisa atau Jaka menyebutnya Narel's things. Dia bisa saja mengajak orang untuk jalan santai di trotoar sambil mendengarkan music sampai trotoar itu habis di ujung jalan.
Kali ini Narel mengajaknya jajan di mini market seberang forum. Katanya, "onigiri sama thai tea self service nya recommended!" Jaka setuju saja karena sudah mulai gelap dan bisa jadi koleksi memori makan bersama Narel versi sederhana.
Jaka mengambil rice bowl dengan lauk ayam teriyaki karena ingin makan nasi porsi banyak dan Narel makan dua buah onigiri isi tuna mayo. Mereka duduk di kursi kosong depan mini market dengan minuman yang sama.
"Kenapa harus gue duluan, sih, ya, yang lahir dari pada lo? Padahal kalau lo lebih tua lebih asik." Narel berandai sambil menatap langit sore sekitar jam 5.47 yang cerah.
"Asik gimana? Apa bedanya kalau gue lebih tua?" Jaka menahan senyum karena ucapan Narel.
"Gue malu dan ngerasa enggak leluasa kalau bercanda sama yang lebih muda. Nanti lo mikirnya gue kekanak-kanakan lagi."
Jaka terkekeh lalu menegak minumanya. "Gue enggak melihat lo dari umur. Orang di luar sana banyak yang melakukan hal enggak sewajar usianya."
Narel memicingkan mata dan memajukan badannya sampai menempel pada meja pembatas mereka. "Terus lo melihat gue dari apanya?"
"Dari lo. Penampakan lo seperti sekarang." Mendengar jawaban Jaka yang menurut Narel ambigu, cewek itu masih memicingkan mata membuat Jaka mendorong wajahnya agar mundur. "Lo jangan enggak jelas, Rel!"
Matanya kembali normal begitu pun bibirnya. Posisi natural bibir Narel adalah membentuk senyuman. "Gue cakep ya, jadi lo mau temenan sama gue?" dengan penuh percaya diri Narel menanyakan itu. Jaka menahan tawanya karen ada nasi di mulut. "Jangan jujur dulu, nanti kita bisa enggak temenan lagi." Narel menyudahi topik pembicaraannya yang tidak penting dengan menghabiskan setengah onigiri kedua sambil menatap sekelilingnya.
Nasi dan minuman Jaka sudah habis, dia bersiap mau pulang. "Ayo pulang, Gue ada janji sama kakak gue." Ajaknya sudah berdiri dari kursi besi.
"Ya udah, duluan aja. Gue jalan nanti." Narel melambaikan tangan.
"Si paling kuat jalan. Siap!" cibir Jaka. "Ayo gue anter, waktu itu kan lo gue tinggal yang nunggu Hanif."
Wajah heran Narel membuat Jaka bertanya, "kenapa?" padahal yang dia katakan bukan sekedar basa-basi.
"Lo lebay! Emang lo hidup buat ditugasin nganter gue pulang? Enggak. Biasa aja kali."
Jaka menghela napas. Kalau begini, biasanya orang mau dipaksa karena malu. "Ayo!" tas Narel yang ada di meja Jaka bawa menuju motornya. Narel berdecak dan menggerutu tapi tetap mengikuti Jaka.
"Orang gila!"
Jaka mulai melajukan motornya menuju rumah Narel. Dia tidak perlu diarahi lagi karena masih ingat jalan menuju ke sana. Meski arah rumah mereka berlawanan, Jaka ingin memastikan kalau Narel aman sampai rumah. Temannya itu suka merasa bosan atau malas pulang sampai malam dan itu tidak aman.
Mereka pernah bertemu di jalan. Jaka baru pulang les tambahan dan Narel sedang duduk di halte sendiri dengan earphonenya. Jaka kenal betul saat melihat tas selempang dengan pin bulat penuh warna milik Narel. Suara motornya saat itu membuat Narel kembali ke realita. Wajahnya terkejut bahagia melihat Jaka ada di sana.
"Lo kok ada di sini? Gue beneran lagi di dalam film atau gue emang pemeran utama di kehidupan ini?" Katanya saat itu membut Jaka bingung dan terus teringat sampai sekarang. Narel tidak mungkin menggunakan obat-obatan sampai memuatnya mabuk menurutnya.
Motor berhenti di depan gerbang rumah Narel. Mereka berpamitan dan Jaka pergi. Narel masuk ke rumahnya yang masih gelap. Hanya lampu teras yang menyala karena diberi sensor. Melihat pemandangan yang sepi dan sunyi membuatnya menghembuskan napas, lelah. Setelah menghabiskan seharian bersama banyak orang, dia harus kembali pada rumah sunyinya.
Narel menyalakan lampu. Dia tidak merasa takut karena rumahnya hal kedua yang selalu bersamanya dalam keadaan apapun. Rumah yang dipenuhi cat abu-abu diramaikan oleh suara televisi yang Narel nyalakan sebelum dia membersihkan diri. Meski dipenuhi barang seperti sofa navy, meja dan rak, pajangan, foto dan perabot rumah tangga lainnya, rumah itu tetap terlihat tidak berpenghuni. Semua masih rapih. Hanya saja beberapa benda sudah sedikit berdebu.
Karena sudah makan onigiri dan tidak ada tugas yang harus dikumpulkan dalam waktu dekat, buku fiksi remaja menemani malamnya. Tinggal sendiri berarti punya kebebasan atas tempat yang ditinggal. Mau melakukan apapun bisa. Seperti tidur di sofa, meletakan bungkus snack yang sudah tidak berisi sampai seharian atau bahkan mengumpulkan gelas di kamar karena selalu lupa membawa ke dapur.
Sudah hampir dua tahun dia seperti ini. Sudah terbiasa tinggal seorang diri, sudah terbiasa juga dengan kesedihan dan kehampaan. Bahkan kesepian punya ruang pribadi di hidupnya. Kalau mati di rumah ini sendirian dan mayatnya akan membusuk pun Narel sangat memakluminya. Biarlah rumahnya mendapat rekor MURI sebagai rumah tempat perpisahan paling menyedihkan versi Narel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Stars
Teen FictionHanif sudah nyaman dengan keadaannya sekarang. Teman temannya mengerti dirinya dan mereka menghormati itu. Dia cowok normal seperti laki-laki di pada umumnya, hanya saja lebih suka ketenangan. Tapi dikehidupan ini tidak ada paket premium, karena itu...