Berhenti belajar di lembaga Pendidikan dan mulai mempelajari segala hal dengan acak secara mandiri dan menyatu dengan alam, sering terbesit pada benak Narel. Dia sudah lelah dituntut belajar dengan materi yang kurang disukai dan harus mendapat nilai diatas rata-rata. Tapi bagaimanapun, kewajibannya saat ini belajar di sekolah dengan aturan yang ada. Seperti sekarang, dia sudah berada di bus sekolah fasilitas dari pemerintah setempat untuk para pelajar. Narel bersyukur ada fasilitas seperti ini karena sangat membantu pelajar yang ingin irit seperti dirinya.
Setiap pagi Narel selalu mendapat bangku karena bus masih sepi saat melewati halte dekat kompleks rumahnya. Hari-hari pemandangan langit yang dia lihat berbeda-beda. Mendung abu-abu, berawan atau cerah dengan warna oranye dari matahari yang sedang bangkit. Hal-hal seperti itu yang membuat awal harinya lebih bersemangat. Belum lagi kalau ada penumpang lain yang duduk di sampingnya dengan berbagai macam kebiasaan. Sangat memorable.
Di halte SMA Darmawangsa bus berhenti, sebagian turun di sana, termasuk Narel. Sudah banyak siswa siswi yang berdatangan. Selain bus sekolah, ada juga yang mengendarai sepeda, sepeda motor, angkutan umum seperti angkot atau kereta, diantar dan berangkat bersama teman.
"Guten Morgen, my friend! Kayfa Halukum?" Shella terkekeh dengan sapaan Narel. Anaknya terlalu pendiam dan kurang bersosialisasi, jadi kalau diajak bercanda responnya sekedar senyum atau kekehan kecil.
"Shell, lo udah bikin tugas makalah bu Septi? Masa kata Dewa besok terakhir." Binta yang baru datang juga, menyambar Narel dan Shella.
"Tinggal bikin bab terakhir sama kesimpulan. Pulang sekolah paling selesai." Kata Shella.
Narel mengerutkan alisnya. Dia saja semalam santai karena deadline tugas yang ada masih lama. "Makalah yang mana, sih? Kok gue enggak tau?"
Binta berdecak. "Gimana, sih?! Yang di grup Bahasa Indonesia."
"Kok lo enggak nanya gue, Bin? Shella doang?"
"Nanya lo mah udah tau jawabannya. Ada tugas aja enggak tau." Binta membalas pertanyaan Narel dengan rasa jengkel membuat Narel terdiam.
Di kelas mereka, ada peraturan satu meja harus siswa siswi. Narel mendapat bagian duduk bersama Alif. Di depannya ada Reza dan Paula, tepat di belakangnya Dewa dan Zikra. Walau duduk bukan bersama teman satu gengnya, Narel tetap bisa mengobrol dengan nyambung bersama Alif. Mereka mulai akrab ketika satu kelas di SMA, padahal semasa SMP satu sekolah.
Beberapa jam berikutnya dilalui dengan belajar sastra Indonesia dan Matematika sampai istirahat. Karena besok ada acara voluntree, Narel harus mengisi surat dispensasi yang akan dititipkan pada ketua kelas.
Saat sudah dekat dengan ruang tata usaha, dia melihat Hanif juga akan menuju ke sana. Kemungkinannya, tujuan mereka ke ruang tata usaha sama.
"Hanif!" seru Narel lalu berlari kecil menuju Hanif. "Mau ngambil surat dispen?"
Hanif mengangguk setelah melirik Narel sekilas. Mereka mengetuk pintu sambil mengucap salam ketika memasuki ruangan. Tidak ada siswa yang berkepentingan di ruangan itu kecuali mereka berdua. Di meja administrasi, sedang ada perbincangan hangat antara staff tata usaha dan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
"Permisi, bu. Kami mau minta izin dispensasi buat besok seharian karena ada acara dari organisasi luar sekolah. Kami jadi pemandu di acara persami SMP Pelita Bangsa, bu." Ucap Hanif pada staff yang bertugas ketika mereka sudah selesai bicara.
"Kamu berdua satu organisasi? Ada poster atau izin dari ketua pelaksananya?" kata staff tata usaha.
"Saya ketuanya, bu. Dia sekertaris." Narel mengangguk saat Hanif berbicara. Dia merasa senang karena Hanif menggunakan kata 'kami'.
"Di mana acaranya?" bukan staff yang bertanya, tapi bidang kesiswaan. Wajah wanita dengan hijab hitam itu terlihat berseri dan penasaran.
"Di tempat perkemahan kota ini, bu. Satu hari aja izinnya, bu."
"Boleh, boleh. Nama organisasinya apa memang? Kegiatan seperti ini sudah sering?"
"Voluntree, bu. Biasanya kegiatan kita menanam, sosialisasi global warming dan climate change ke penduduk setempat sekalian promosi produk ramah lingkungan." Jelas Hanif dengan sopan dan senyuman sampai terlihat giginya.
"Oh, jadi seperti club peduli bumi gitu, yah?" guru itu mengangguk mengerti. "Nanti hari bumi kamu ada acara? Kemarin ibu baru dapet info kalau ada seminar hari bumi di luar kota perwakilan setiap sekolah. Ikut, ya? Sekalian nambah teman dan nambah ilmu."
Mendengar itu Hanif menoleh pada Narel dan membuat mereka saling tatap. "Nanti kita pikirin dulu ya, bu. Tanggal 22 Aprilnya, bu?" kata Narel karena wajah Hanif kebingungan.
"Hari bumi tanggal berapa? 22 april, ya? 23 berarti." Wanita itu mengangguk-angguk. "Lusa kabarin ibu ya."
"Siap, bu." Balas Narel dan Hanif mengangguk. Mereka izin keluar setelah mendapat surat dispensasi.
"Lo ikut?" tanya Hanif sambil menatap Narel tapi kali ini tidak sekilas, di menunggu cewek itu menjawab sampai selesai.
Narel tampak berpikir dengan mata yang menatap ke segala arah secara bergantian. "Enggak tau. Lo mau?"
Hanif mengangguk. "Pasti dapat ongkos. Gue enggak mau rugi karena enggak ikut."
Narel terkejut dengan jawaban Hanif yang di luar dugaannya. Apa ini bagian dari dirinya yang harus Narel catat, kalau ternyata Hanif matre? Narel tertawa kecil sebagai respon.
***
Pulang sekolah Narel ditawari boncengan dengan Raihan karena tahu Narel tidak pulang ke rumahnya. Tapi Narel menolak walau mesti naik angkot karena tidak ada bus sekolah ke daerah sana. Raihan terlalu menyebalkan untuk diajak berteman kembali.
Lagu berjudul Okinawa dan Decimal menemaninya dari Halte sampai di depan gapura alamat rumah neneknya berada. Di daerah sini banyak yang Narel kenal karena teman SMP nya rata-rata tinggal satu kompleks. Salah satu yang rumahnya sangat dekat adalah Raihan. Karena itu dia menawari tumpangan.
Sampai di rumah, dia disambut nenek, ibu, bibi dan sepupunya yang sedang makan siang.
"Ayo makan bareng-bareng." Ajak neneknya setelah Narel menyalami tangan keempat orang yang lebih tua darinya.
"Iya, nanti. Belum lapar." Jawab Narel.
Setelah semua selesai makan, Narel mengikuti ibunya yang masuk ke dalam kamar. Dia baru ingin izin kalau besok tidak bisa masuk sekolah. Walau bisa saja tidak izin karena ibunya tidak akan tahu dan tidak membuat Narel panik seperti sekarang, tapi restu orang tua yang paling dibutuhkan anak.
"Kenapa, Rel?" tanya ibunya sambil merapihkan baju.
"Besok aku enggak sekolah, tadi udah izin." Mendengar pengakuan Narel ibunya langsung menoleh dan menatap Narel bingung.
"Kok gitu? Kenapa?" alis ibu Narel bertaut.
"Ada acara di organisasi, dari pagi sampai siang atau sore gitu. Aku jadi panitia. Boleh, kan?"
Ibunya menghela napas lalu kembali merapihkan baju. Sudah hafal dengan kebiasaan anaknya. "Terserah kamu. Enggak boleh juga tetap ikut, kan. Naik apa nanti?"
Narel menelan jelijihnya dan membuang napas lewat mulut. "Naik mobil dari titik kumpulnya. Bareng yang lain."
"Bajunya udah disiapin?" Narel menggeleng. Lalu ibunya memberikan uang tiga lembar berwarna merah. "Sebelum pulang makan dulu. Nanti ngeluh lagi sakit perut."
Narel mengucapkan terima kasih dengan perasaan tidak enak hati dan pergi makan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Stars
Teen FictionHanif sudah nyaman dengan keadaannya sekarang. Teman temannya mengerti dirinya dan mereka menghormati itu. Dia cowok normal seperti laki-laki di pada umumnya, hanya saja lebih suka ketenangan. Tapi dikehidupan ini tidak ada paket premium, karena itu...