⌧ 𝟎 𝟏 . 𝟎 𝟎

631 70 3
                                    


▬ ▬

Bibir pucatnya termangu mendengar perkataan barusan. Netra coklatnya masih dikedip-kedipkan secara cepat. Lantas badan kekar penuh luka itu disandarkan dekat jendela. Menghela nafas gusar, lalu mulutnya bergerak mengucapkan sepatah kata, "Atas dasar apa Yang Mulia menjodohkan Tuan Putri dengan saya yang bukan bangsawan ini?"

Lawan bicara yang merupakan sang Kaisar hanya tertawa kecil mendengar balasan serupa. Lengan bugar yang tertutupi busana resmi itu dirangkulkan pada pundak sang laki dihadapannya. "Karena aku mempercayaimu Tooru," ucap sang Kaisar dengan tatapan seriusnya.

"Mentang-mentang saya Jenderal bukan berarti hati saya bisa terbuka selebar itu, Yang Mulia," balas Oikawa tak kalah seriusnya.

Kurva senyum terbentuk di raut wajah sang Kaisar. Lengannya diturunkan, lalu berjalan menjauhi Oikawa. “Bagaimana? Haruskah kita membuat kesepakatan agar kau mau menikah dengan putri bungsuku?” Langkahnya terhenti, lalu mata emasnya berbalik menatap Oikawa yang terlihat tak peduli.

“Maaf. Saya tak pernah berencana untuk menikah, Yang Mulia.” Sang laki hanya memutar bola matanya malas. Mulutnya tak menggubris perkataan lawan bicara yang merupakan orang nomer satu se-Jepang. Lantas netra coklatnya sibuk memandang kereta kuda yang perlahan memasuki kastil megah kediaman Kaisar Hirohito.

“Apakah aku harus mengancammu, Tooru?” Pandangannya berganti –menunjukkan sifat asli sang Kaisar yang diketahui sejak dulu oleh Oikawa.

Nuraninya muak diperbudak oleh pria paruh baya dihadapannya. Sekiranya sang Kaisar mengetahui sosok asli seorang Oikawa Tooru,Oikawa tak perlu berurusan dengan semua yang diurusnya. Namun jika itu terjadi sejak dulu,dipastikan Oikawa tengah sibuk bergulat dengan setumpuk dosanya di Neraka.

Oikawa membungkukkan badan kekarnya. Tangan kanan ia gusurkan ke dada. Pandangan ia tundukkan guna menghormati sang Kaisar. Niscaya Oikawa akan terus bertekuk lutut pada sang semesta,hingga takdir bergulir membebaskan dirinya.

“Dengan berat hati,saya menyetujui perjodohannya, Yang Mulia. ”

▬ ▬

Semesta bertekuk lutut pada Oikawa di sudut pandang yang berbeda. Segala yang dianugerahkan semesta berporos pada Oikawa. Kecakapan, kemahiran, dan keelokan berkodrat memenuhi hasrat Oikawa beberapa tahun silam. Semua mata tertuju pada penguasa perang; semua dosa sang korban dituju pada penguasa perang; seluruh tanggung jawab mencengkeram tubuh Oikawa yang selalu haus akan kebebasan.

Oikawa Tooru, pribadi konsekuen yang mendambakan kebebasan senantiasa dililit oleh semesta. Segerombolan beban sudahlah cukup untuk membunuh ambisinya. Namun bisa-bisanya pria paruh baya –yang merupakan dalang dari semua beban— menghancurkan semua peluang akan kebebasannya.

Oikawa benci akan semesta yang selalu menyempurnakan dirinya.

“Pria jompo itu ... sialan! ”

Oikawa tak kenal lelah mengumpat didalam kesunyian. Tak seorangpun tahu tentang Oikawa –sang lelaki berpangkat jenderal yang menguasai segalanya– hobi menyumpah-nyumpahkan sang Kaisar. Senyum rupawan yang dilimpahkan kejanjian sangatlah cukup untuk membodohi banyak orang disisinya. Namun sayang, Dewa mengistimewakan satu orang untuk mengumbar emosinya yang penuh akan kesengsaraan.

“Oikawa-san?” Gadis berkimono mendekatinya.

“O-oh? ... tuan putri?” Mata keemasan dan mata kecoklatan bertatap. Andaikata sang Putri menginginkan bunga mawar sebagai latar belakang mereka bertemu, Oikawa akan memilih bunga higanbana –yang mekar di musim panas ini– untuk membunuh gadis beban dihadapannya.

“Sedang apa disini, tuan putri?” Oikawa menampakkan senyum andalannya. Simpel saja, Oikawa berharap gadis yang mendadak muncul ini tak memasang telinga atas umpatannya barusan.

Sang putri tersenyum lalu tertawa anggun menutupi mulut. “Seharusnya aku yang bertanya begitu, Oikawa-san sedang apa disini?”

“... Mengistirahatkan pikiran, tentunya,” Oikawa berucap. “Bukankah tuan putri juga begitu?” lanjutnya.

Tangan kanan sang putri menjulur menuju Oikawa. “Hirohito [name]. Setidaknya kita harus berkenalan sebelum mengucap janji, bukan?” tutur sang putri penuh belaian.

Oikawa terkekeh pelan mendengar ucapan polos dari lawan bicaranya. Netra coklatnya disejajarkan pada pandangan sang putri. Jemari mungil nan lentik digenggamnya –lalu dicumbu penuh hasrat. Sejenak bibirnya berucap, “Tooru. Oikawa Tooru.”

Saat itu juga, Oikawa sukses memabukkan sang beban dihadapannya.

▬ ▬

MITAMAMATSURI, tooruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang