⌧ 𝟎 𝟖 . 𝟎 𝟎

192 32 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

▬ ▬

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


▬ ▬

Kicauan kenari menyapu habis atensi. Indra penglihatan disipitkan, menimbang-nimbang kilau mentari yang terpantul masuk lewati kaca jendela.

Kelopak mata diusap lesu. Usai itu dirinya mencoba bersimpuh di atas kasur yang masih bergelung selimut.

Pandangannya tak lagi pudar; maka seluruh barang kepunyaannya yang mendadak hilang entah kemana itu membuat [Name] sedikit bertanya.

Napas dihela, kini sang adiwangsa berusaha untuk berdiri dan melangkahkan kaki menuju luar bilik.

Namun, alhasil ...

"T-TUAN PUTRI! A-anda tidak apa-apa? Tolong berhati-hatilah!"

Pinggang mendadak salurkan rasa sakit yang mengerikan, syaraf kaki berujung terkulai lemas bertemu lantai dingin. [Name] tak pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya. Rasa asing yang menggerogoti selangkangan spontan membuat [Name] mengalihkan atensi menuju kasur putihnya.

Sesuai dugaan; ada darah yang bercecer di sana.

"Saya bantu, ya? Pasti sulit jika tuan putri harus membersihkan diri sendirian," sang pelayan berujar lembut. Sembari membantu [Name] berdiri dari posisi jatuh yang sama sekali tak terhormat.

Sedangkan sang wanita tengah berusaha mati-matian untuk menghapus kepingan memori yang terjadi malam kemarin.

▬ ▬

"Selamat pagi," adalah ucapan yang Oikawa lontarkan kala mereka saling mengikat pandang di ruang makan.

Sapaan dilontarkan bermaksud menyapa. Senyum diulas untuk menghangatkan suasana. Tangan berotot menopang dagu lancip-untuk mengamati perangai sang wanita pelaku kegilaan hati.

[Name] tersedak, tatkala telapak tangan Oikawa mengelus pelan pipi cabinya.

Kurva masih tetap terukir di paras sang pria. Pelupuk mata terkatup. Deret gigi menyertai senyum rupawan-sontak membuat [Name] mengalihkan pandang dalam sekejap.

"A-ada apa, Oikawa-san?"

Alis coklat dikerutkan, lengkung kurva semanis gula mendadak hilang entah kemana. "Kesalahan pertama pagi ini," pria berpangkat jenderal menghembuskan napas sejenak.

"Oikawa [Name] masih enggan memanggil nama depanku," air muka berubah sendu. Sudut bibir yang diturunkan ke bawah sukses membuat [Name] kebingungan.

Wanita ini dibuat salah tingkah hanya dari cara Oikawa berbicara. Tengkuk digaruk ragu-ragu. Manik emas masih tertuju pada Oikawa Tooru yang memasang raut cemberut.

Dari dulu, [Name] bukanlah sosok yang peka akan keadaan.

Jadi jangan salahkan dirinya yang malah beralih dengan acara mengisi perut. Denting jam sudah berada di angka sembilan. Sangat tidak wajar jika seorang putri kaisar mengidap penyakit lambung jika melalaikan urusan perut.

"Oh, ayolah- setidaknya panggil nama depanku, sebentar saja!"

Pipi bulat [Name] bergerak-gerak kala giginya mengunyah kudapan. Sirah ditolehkan. Atensi kembali disita oleh sang suami yang masih merengek tak jelas.

"Tooru. Itu sudah cukup, 'kan?"

Bukannya berterimakasih lantaran permintaan telah dikabulkan, surai hitam sang wanita yang diacak-acak pun berujung menjadi pelampiasan kesal, "Cih. Tidak romantis."

▬ ▬

[Name] tidak pernah menyangka bahwa hari ini adalah hari terakhir menginjakkan kaki di tempat kelahirannya.

Kastil utama kediaman sang ayah dan sebelas saudarinya merupakan tempat bersejarah yang selalu mempertemukan banyak memori lama. Bagi [Name], tempat yang menjadi saksi tragis kejadian lama-tentu tidak segampang itu untuk sirna dari arus kehidupan barunya dengan Oikawa di pusat Kyoto.

Meski jarak tebal telah dibentuk sedemikian rupa, [Name] sebagai putri bungsu kekaisaran tetap harus bersiaga untuk menjalankan kewajibannya di kastil ini.

Menjabat sebagai istri jenderal juga bukanlah tugas yang mudah- pasti akan ada masanya ketika [Name] harus merelakan Oikawa untuk berperang. Entah itu membahayakan atau tidak, mental sang wanita sudah seharusnya diasah tajam agar tidak menyesal di penghujung hari.

"Sedang memikirkan apa?"

Suara langkah kuda sudah menggema sedari tadi di gendang telinga. Dersik rerumputan hijau yang tampak dari kaca kereta kuda, dan rindangnya pohon ek yang menyejukkan jalan sekitar berhasil membuat hatinya damai dari segala keresahan.

Dan juga, Oikawa Tooru, pria di samping [Name] yang tengah menyisir rambut panjang miliknya.

"Aku hanya ... sedikit tak menyangka, jika harus meninggalkan istana secepat ini," senyum cantik dilukiskan. Sedangkan Oikawa tertawa renyah usai mendengar balasan sang istri.

Ekor mata diusap, pemuda bersurai coklat kembali merakit senyum di wajah, "Bukannya dirimu-lah yang meminta kita untuk segera pergi dari istana-maksudku, neraka ini?"

"Kau benar," surai hitam telah tersisir rapi.

Alunan tempo kaki kuda yang bertemu kersik halus. Udara sejuk yang menyambut tengkuk. Daun pohon ek yang gugur tak menentu.

"Sudah saatnya aku meninggalkan mereka."

Musim panas tahun ini telah berakhir.

▬ ▬

▬ ▬

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MITAMAMATSURI, tooruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang