D ʀ ᴇ ɪ [ T ɪ ɢ ᴀ ]

220 21 4
                                    

Kali ini aku tidak tau harus mau melakukan apa, kelas kami tidak ada guru jadi mau tak mau kita harus jamkos, bukan? Sialnya saja, aku tidak ada teman untuk berkomunikasi. Rata-rata anak di kelasku tidak ada yang terlalu paham dengan bahasa isyarat.

Ya, sama seperti Halilintar.

Aku menghela nafas, lalu aku beranjak, aku ingin ke kantin daripada aku mati kebosanan disini. Aku acuhkan panggilan namaku saat aku berjalan melewati mereka. Memangnya saat aku melakukan bahasa isyarat, mereka mengerti? Tidak, kan? Ya sudah, buang-buang waktu saja.

Semilir angin aku rasakan saat kakiku sudah menapak di luar kelas. Bunyi daun-daun yang tertiup angin salah satu favoritku saat aku berjalan di koridor sekolah. Ditambah dengan bunyi kicauan burung membuatku tentram dan damai.

Sampai kedamaian itu berakhir saat aku menabrak Ice.

Wajahku langsung panik, Ice terjatuh. Aku mendekatinya dengan buru-buru. "Ice tidak apa-apa?"

Ice mengangkat kepalanya, ia menepuk-nepuk kepalaku. "Tidak apa-apa.." jeda dua detik, "kamu mau kemana?"

Aku mengerjapkan mata, "kantin." Dengan polosnya aku melakukan isyarat.

Ice mengerutkan alisnya. "Kenapa? Kamu lagi lapar?"

Aku mengangguk kecil, memang benar, aku lagi lapar sekarang. Pagi tadi aku buru-buru jadi tidak sempat sarapan. Dan mama tidak menyiapkan bekal apa-apa, alhasil, aku belum makan sampai sekarang.

"Aku temani."

Ice berdiri kemudian mengulurkan tangannya. Aku menerimanya dengan ragu-ragu. Tak diduga, Ice langsung menggenggam tanganku. Kemudian kami berdua berjalan bergandengan menuju kantin.

"Disana ada kak Hali, kak Taufan, dan kak Solar."

Aduh, kenapa harus ada Halilintar dan Solar sih? Ribet nanti urusannya.

Aku hanya mengangguk saja sebagai jawabanku.

Lalu kami sampai di kantin, Ice menyuruhku untuk langsung duduk saja dan dia akan memesan makanan untukku. Aku berterimakasih kepadanya, lalu kami berpisah secara alami setelah mengutarakan pesananku.

Dari jauh aku bisa melihat Halilintar dan Solar menatapku. Aku meneguk ludah, kenapa tatapan mereka begitu sih? Menakutkan.

Aku duduk di samping Taufan dan bersebalahan pas dengan Halilintar. "Wih, Yaya, tumbenan ke kantin?" aku tersenyum kepada Taufan. "Aku lapar."

Taufan ber-oh-ria. "Mau aku pesankan?" sontak aku menggeleng. "Ice sudah memesannya. Terimakasih atas tawaranmu, Taufan."

Halilintar tiba-tiba saja berdeham membuatku dan Taufan menoleh kepadanya. Muka Halilintar datar, sepertinya ia menahan kekesalan karena aku mencuekinya.

"Maaf.."

Halilintar menghela nafas. "Maaf kak, astaga! Hal sekecil dari bahasa isyarat begitupun kak Hali tidak mengerti?" itu Solar yang berbicara.

Siapalagi yang berani menantang Halilintar selain Solar?

Dan itu mengundang tatapan marah dari Halilintar. Solar hanya mencuekinya, lagipula ia tidak peduli jika Halilintar marah. Sebab Solar dan Halilintar itu hampir sama sifatnya, sama-sama cuek.

"Besok belajar kak, nggak malu apa sama adik-adiknya yang bisa bahasa isyarat?"

Aku menggenggam tangan Taufan, aku menggeleng kepadanya. Taufan sangat tidak sopan kepada kakaknya sendiri, yah walaupun mereka kembar sih, tapi sama saja bukan?

Taufan mengembuskan nafas kasar. "Gini Ya, bukan masalah malu sih sebenarnya. Cuma, biar waktu kak Hali dan kamu berdua saja-"

"Ekhem!" Solar batuk, Taufan mendengus, aku sendiri hanya mengerjapkan mata, tidak mengerti mengapa Solar tiba-tiba batuk.

Tʜᴀɴᴋs, Hᴀʟɪʟɪɴᴛᴀʀ! [ ʰᵃˡⁱˡⁱⁿᵗᵃʳ × ʸᵃʸᵃ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang