Hening menyelimuti dua insan yang sedang berada di ruang 3x2 itu. Tenang, mereka tetap aman meskipun berdua karena jendela UKS yang besar dan berbahan dasar kaca, sehingga sangat terpantau dari luar.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha memecah keheningan. Dua kepala itu sedang menyelami dunia masing-masing. Rigel dan Lea saling memandang tepat pada manik mata. Rigel dapat merasakan apa yang saat ini Lea rasakan dari tatapan matanya.
"Le, it's okay, bukan salah lo," ujar Rigel pada akhirnya sembari menepuk pelan punggung tangan Lea.
"Udah takdir ya kan, Rig?" Tanyanya yang masih sesenggukan dengan tatapan mata yang kosong.
"Iya, udah takdir. Ya udah sekarang lo diem di sini dulu aja, tenangin diri lo. Nanti kalau udah baikan lo bisa hubungi gue, Jema, atau Ajun atau Aira buat jemput lo di sini. Gue balik ke kelas dulu."
Lea mengangguk, memandangi punggung Rigel yang perlahan menjauh.
Setelah kepergian Rigel, Lea juga beranjak dari UKS. Bukannya menuju kelas, ia justru berjalan ke arah rooftop sekolah. Sesampainya di sana, ia menatap langit, seolah berbicara dan meminta agar semua tetap baik-baik saja.
Matanya terpejam tatkala angin yang beradu dengan terik matahari menerpa wajahnya. Dalam otaknya, gambaran-gambaran masa lalu terputar sempurna layaknya sebuah film. Sudut bibirnya terangkat menghasilkan lengkung yang indah. Sayang, matanya menangis.
***
"Ah gue nggak mau ikut. Gue mau pulang. Atau gini deh, gue ikut tapi nanti gue sama Mbak Nata, mau nonton NCT Dream." Lea memohon kepada tiga temannya. Pasalnya, saat ini dirinya benar-benar sedang tidak ingin belajar. Tapi tiga pemilik otak dewa itu menghendaki pembahasan materi di rumah Rigel.
"Le, lo cuma dengerin aja nggak apa-apa, tapi gue nggak izinin lo pulang. Lagi pula lo nggak bisa nontonin laki K-pop lo sama Mbak Nata, soalnya dia bimbingan sampe sore katanya," sahut Rigel.
Natalia Shavire Bagaskara atau biasa dipanggil Mbak Nata adalah satu-satunya kakak Rigel. Gadis cantik dari Arsitektur yang kini tengah berjuang untuk lulus.
"Iya, ih, Le. Ikut aja yuk, lo rebahan kek atau apa gitu, jangan balik ke rumah." Ajun juga ikut untuk membujuk Lea.
"Lo nggak harus ikut belajar, kok. Pokoknya lo ikut aja ke rumah Rigel, jangan pulang." Jema pun juga turut membujuk Lea agar gadis itu menuruti permintaan mereka.
"Lo pada kenapa sih? Gue juga punya rumah kali," sahut Lea sembari menatap tiga temannya dengan tatapan yang aneh.
"Besok ada ulangan Kimia. Kalau lo pulang dan tidur, nanti malem lo bangun tuh nggak akan belajar, Le. Lo pasti nontonin Jeno Jeno itu yang kalau senyum mirip gue," ujar Rigel lagi.
"Dih mirip apaan? Orang cuma sama-sama punya mata segaris kalau senyum," tukas Lea. "Allahuakbar iya gue ikut kalian," ucap Lea setelah ditatap intens oleh ketiga temannya.
"Selamat hidup tidak tenang, Kalea," ujar Aira yang sejak tadi diam saja mendengar perdebatan keempat orang itu.
"Aira kalau mau ikut boleh banget lho," tawar Jema kemudian.
"Oh sorry, gue harus bantuin nyokap bikin kue, banyak orderan." Aira mengelak dan segera keluar kelas demi menghindari paksaan dan rayuan seorang Kalea untuk ikut serta belajar.
Jarak SMA Nebula dan rumah Rigel tidak terlalu jauh, hanya sekitar 500 meter, sehingga setiap berangkat dan pulang, dia dan Lea hanya jalan kaki.
Lea, Rigel, Ajun, dan Jema melangkahkan kaki menuju rumah Rigel. Seperti rencana awal, mereka akan belajar untuk persiapan ulangan harian Kimia yang akan diadakan besok.
Mereka pulang tepat pukul 14.30, sehingga terik matahari tidak terlalu menyengat. Jalanan juga cukup ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Beberapa juga mengenakan seragam sekolah sama seperti yang dikenakan oleh keempat remaja yang sedang berjalan di trotoar itu.
"Kadang gue juga pengen ke sekolah naik motor," celetuk Lea.
"Dih apaan sih, rumah lo kan deket," sahut Ajun.
"Dih apaan sih, Jun, lo kok julid. Namanya juga pengen."
Rigel kemudian menanggapi, "Kalea, dengan jarak yang cuma 500 meter, kita bisa jalan kaki. Anggap aja olahraga, terus kita juga bisa turut mengurangi polusi udara."
"Lah tapi kan cuma kita berdua yang jalan, emang ngaruh buat mengurangi polusi?"
"Ibaratnya gini, ada orang butuh banget nih duit 10.000, terus dia cuma berhasil ngumpulin 9.500, kurangnya cuma 500 dan lo mau ngasih orang itu 500. Bagi lo emang 500 tuh nggak ada apa-apanya. Tapi bagi orang yang lo kasih gimana? 500 yang menurut lo nggak berarti itu bisa jadi hal yang sangat berarti buat orang itu."
Rigel menarik napas sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, "Intinya, apa yang menurut lo nggak ada artinya, bukan berarti nggak ada artinya juga buat orang lain, maka dari itu jadi manusia harus pandai bersyukur. Terus juga sekecil apapun kontribusi lo, hitungannya lo bakal tetep ngebantu, sama kaya kasus uang 500 rupiah yang gue bilang tadi."
"Paham nggak lo, Le?" Tanya Jema yang ditanggapi anggukan oleh Lea.
Lea benar-benar selalu kagum dengan seorang Aurigel Bagaskara dan pemikirannya. Lea bersumpah siapapun wanita yang hatinya berhasil dimenangkan oleh Rigel, dia akan menjadi wanita ter-beruntung di dunia ini.
Tapi manusia tidak ada yang sempurna. Se-sempurna nya Rigel juga pasti punya cela. Sifat ambisiusnya yang terkadang jadi egois juga pernah membuat Lea jengah.
***
"Jadi larutan asam itu bisa mengubah warna indikator kertas lakmus biru menjadi merah, terus dia ini sifatnya elektrolit, bisa menghantarkan arus listrik." Rigel menulis hasil pemahamannya di buku memo yang menjadi pegangan Rigel untuk belajar.
"Terus larutan asam juga menerima pasangan elektron atau menyumbangkan ion hidrogen," sambung Ajun.
Jema tidak mau kalah, ia juga mengungkapkan hasil dari membacanya, "Asam juga bisa diuji pakai fenolftalein yang bakalan berubah jadi tidak berwarna."
"Apaan Jem? Fenof? Felon? Ah apa sih, gue taunya Jeno Lee." Lea sudah kesal setengah mati, sudah dipaksa ikut belajar, dan dari tadi ketiga temannya membicarakan materi-materi yang sulit ditangkap Lea.
"Fenolftalein, Le. Dia ini pewarna yang dipakai sebagai indikator pH. Kalau di larutan asam dia jadi nggak berwarna. Nah kalau di larutan basa dia bakal jadi merah muda." Terang Jema.
"God, jujur kepala gue pusing. Mau meledak tau nggak lo pada," ujar Lea sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan seakan-akan menahan kepalanya agar tidak meledak sungguhan.
"Seenggaknya lo tulis aja deh, Le. Biar bisa lo baca-baca, besok ulangan biar lo nggak clueless banget," ujar Ajun memberikan saran.
Lea hanya menurut saja, pasalnya guru Kimia sangat tidak bisa diajak bekerja sama perihal contek mencontek. Ulangan sebelumnya Lea hanya akan legowo menyaksikan nilai ulangannya yang lebih ringan daripada berat badannya. 30. Nilai tertinggi Lea selama belajar Kimia.
Sungguh, Lea benar-benar tidak bisa lagi memaksakan telinganya untuk mendengar rentetan kalimat yang mengandung materi dari ketiga temannya. Beruntung, Mbak Nata segera datang dan mau menjadi pelarian Lea dari istilah-istilah Kimia yang saat ini tengah dilontarkan ketiga pemilik otak dewa di ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURIGEL
Teen FictionKata orang, jika ada laki-laki dan perempuan yang bersahabat, maka di antaranya pasti tumbuh rasa. Namun ternyata Rigel dan Lea berhasil mematahkan asumsi tersebut. 17 tahun bersama dan mereka berhasil untuk tidak saling suka. Ah, atau sama-sama ber...