Bab 3

8 1 0
                                    

Jangan bawa aku pergi dari sini. Inilah yang terakhir untukku berada di sini. Menjagamu adalah hal bodoh yang pernah ku pikirkan. Bagaimana mungkin ada orang semacam dirimu hidup di muka bumi?

Dirimu hanyalah beban yang orang-orang sematkan. Jangan bercanda padaku, bahwa kau terlihat baik dan hebat. Aku mendengar gonggongan anjing yang saling bersahutan, ketika seberkas cahaya mendadak melintas di depan jendela. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi?

Tiba-tiba pengelihatan ku kacau, aku berada di sebuah rumah tua, dengan atap yang telah berlubang. Lantainya begitu kotor dan aku menatap ibuku dengan kepala yang berdarah. Di samping tubuhnya ku lihat ada tongkat yang tergeletak begitu besar. Lalu masih diletakan di sana, dengan cat merah di tiap sudut lantai.

Aku melihat bekas telapak tangan di setiap diding rumah. Ya, ini adalah rumahku, lalu tempat ini adalah kamarku. Rumah yang telah hancur ini seperti kamarku di masa depan. Sungguh tidak terurus.

Aku mendekati mayat ibuku yang telah dingin, ingatanku kacau. Lalu dari belakang aku mendengarkan suara langkah kaki yang sangat tegap. Langkah kaki kuat yang bahkan tidak bisa ku tebak, siapakah sosok dibaliknya.

 Langkah kaki kuat yang bahkan tidak bisa ku tebak, siapakah sosok dibaliknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seorang pria dengan topeng. Lagi-lagi aku bertemu dengannya, aku bersembunyi di balik pintu berharap dia tidak melihatku. Apa pria itu yang membunuh ibu? Kenapa dia tega melakukannya. Luka pukulan yang sangat keras itu membuat ibuku terjatuh di lantai, pria dengan baju dokter dan topeng anti gas beracun itu, kini tampak mendekati area pintu.

Aku berusaha mengatur napasku, agar dia tidak menyadarinya. Wajah yang tidak pernah ku ketahui hingga sekarang. Sebenarnya siapa pria itu?

Dadaku berdetak cepat, napasku tidak beraturan. Dengan pakaian rumah sakit, diriku mendadak ada di tempat ini. Aku ingin kabur dan mencari pertolongan, di mana ayah? Serta keluargaku. Apa mereka terjebak di sini dengan psikopat itu?

Sebuah kapak kecil berada dalam genggamannya. Diantara kegelapan ruangan ia berjalan dengan santai. Aku mendengar dia tidak berbicara, selain diam dan melangkah. Ia semakin dekat, tapi entah mengapa, tiba-tiba dia kembali menjauhi pintu di mana aku berada.

Dia menyeret mayat ibuku, aku yang gemetar ketakutan hanya bisa melihatnya dan berjalan pelan dari belakang. Pendengaran telinganya cukup bagus untuk mendengar setiap langkah kakiku, aku terus berusaha untuk mengikutinya. Dengan harapan semua keluargaku bisa selamat.

Aku tidak menjamin pasti, selain hanya terbawa semakin jauh ke dalam rumah. Dengan tubuh yang berkeringat, bisa saja orang itu akan membunuhku. Aku baru ingat, bahwa jadwal pulang dari rumah sakit telah lewat tiga hari, karena aku menatap kertas yang jatuh dari atas meja. Kepulangan ku masih dengan keadaan tidur, lalu aku kembali terbangun pada hari ini. Bertemu dengan seseorang yang tidak aku tahu.

Tiba-tiba Rian ada di belakangku, aku terkejut setengah mati dan memeluknya. Tubuh bidang itu seakan menjadi sandaran kuat buatku, aku menangis di sana cukup lama. Entah sampai berapa lama, tetapi aku sangat bahagia mampu melepas rasa takutku. Walau aku belum mengenalnya lama. Dia terkejut melihatku yang telah bangun, itu terlihat jelas di wajah Rian, dengan panik dia mengajakku untuk bersembunyi.

Dia berbisik di telinga kananku, "Ku pikir kamu sudah mati," jelasnya.

"Aku belum mati, diriku masih di kamar dan ketika aku bangun keadaan rumah sudah seperti ini."

"Aren, harusnya kamu tidak berada di sini. Ini terlalu berbahaya," jelas Rian.

"Rian, ke mana semua keluargaku?" tanyaku berusaha untuk melupakan jasad ibuku.

Tetapi Rian hanya menghela napas dan tangannya menyentuh pelan pundakku.

"Aku mendapatkan tugas dari kantor polisi, untuk menyelidikinya di mana keluargamu."

Tiga hari saat kau tertidur, rumah sakit tiba-tiba terbakar, orang-orang melihatmu berlari keluar dan keluargamu selamat. Lalu mengantarmu ke rumah. Lalu di saat itulah keluargamu benar-benar tidak ada kabar. Tidak keluar berbelanja ataupun menyapa tetangga.

Rumah kosong dan sepi, ini berlaku tiga hari, anehnya rumahmu sudah penuh dengan tanaman menjalar yang memang sengaja di tanam di kamar.

"Jelaskan aku soal rumah sakit yang terbakar itu!" pintaku.

"Maafkan aku Aren, aku juga tidak tahu apa-apa," jelas Rian dengan wajah sedih.

"Ini pasti karena pria bertopeng itu, apa kamu tidak menyadarinya?" tanyaku.

Untuk sekarang diriku benar-benar membutuhkan pertolongan, berharap Rian memberiku kesempatan dan mau menjelaskan apa yang terjadi setelah kecelakaan dan tiga hari sebelum ini terjadi. Namun di luar dugaan, Rian hanya menatapku bingung.

"Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu, ikutlah denganku kita akan mencari keluargamu, rumah ini sudah tidak layak huni, sepertinya tanaman di sini menjadi lebih subur karena sentuhan kimia."

"Bukankah harusnya tanaman cenderung mati? Apa yang terjadi?" batinku.

Rian, yang aku tahu dia adalah orang yang menyelamatkan diriku saat kecelakaan. Semua di sana mati, kecuali aku dan Rian, namun beberapa saat aku menerima penjelasan baru bahwa ayahku menjadi korban kebakaran rumah sakit saat tengah bekerja.

Ibu membawaku pulang, sementara Marka kakakku menghilang dan tidak pernah pulang dari rumah. Rian sering bolak-balik untuk ke kantor polisi dan di mintai keterangan, tetapi aku mampu melihatnya senyumnya. Bahwa dia sedang bahagia bertemu denganku, pada akhirnya dia berpikir  diriku sudah mau mengenalnya.

Dalam setiap perjalanan aku meninggalkan rumah itu dan ketika keluar, keadaan di sana masih sunyi dengan langit hitam. Ini adalah malam, dengan lampu jalan yang berkedip. Hanya ada aku dan Rian yang berjalan, pelan diantara angin dingin. Diriku menatap Rian, ia masih tersenyum ke arahku. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi diriku mulai menyukai senyumnya yang manis.

"Rian, ini rumahmu?" tanyaku, " di luar sepi sekali?"

"Belakangan ini orang-orang lebih suka menghabiskan kehidupan mereka di dalam rumah, apalagi saat kasus ini belum bisa di pecahkan."

Rian mengambil kopi hangat dan membuatkan teh hangat untukku juga. Dia menyodorkan gelas berisi air itu padaku dan dia duduk di dekatku.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya padaku.

Aku menghela napas dan berusaha menenangkan rasa takutku. Aku mulai menjelaskan apa yang baru saja kulihat. Rian hanya mengangguk dan mendekati meja kerjanya.

"Aku tidak tahu, namun aku memang menemukanmu di dalam rumah itu sendirian, sepertinya aku juga belum menemukan mayat ibumu."

"Tolong bantu aku, kedua orang tuaku sudah tiada, sekarang aku harus benar-benar mencari kakakku." Aku memohon pada Rian, hanya ini satu-satunya menemukan petunjuk.

"Tetapi kau sedang sakit, aku takut kamu pingsan lagi dan justru memperburuk keadaan," tegas Rian kepadaku.

"Sebaiknya kau istirahat saja dulu di sini, aku akan mengurus kasus ini dan mengabarkannya ke kantor polisi, tetapi aku harap mereka tidak menekan rasa takutmu untuk saat ini."

Penjelasan singkat itu menjadi akhir pembicaraan ku dengan Rian. Aku hanya tersenyum dan kembali menikmati teh hangat buatannya.

Who Are You On My Memories?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang