Melewati kesunyian yang ada, diriku seakan terhipnotis. Rian perlahan-lahan menyentuh jariku, membuat diriku terkejut. Namun dia justru tersenyum, aku gugup saat melihat senyum manis dari Rian.
Pria yang tingginya tidak jauh beda dariku. Dengan mata yang lebih tajam dan alis tebal, Rian menatapku dengan hangat tetapi tetap menunjukkan kharismanya sebagai seorang pemimpin. Ya, setidaknya aku aman sekarang.
Setelah ku sadari dokter itu masih berkeliaran di sini. Aku meminta rehat untuk pergi ke tempat lain, namun aku tidak menemukan alasan yang tepat sehingga aku memilih diam saat ini sampai menemukan bukti jelas siapa pria berpakaian dokter itu.
****
Jangan lari dariku, jika tercium bau wangi dari tubuh ini. Menarilah dalam panggung di balik tirai, janjikan padaku warna merah di atas kainmu. Manis dan indahnya mawar diantara makam-makam ayah dan ibuku, ini sengaja dibuat-buat. Rian hanya menatap dalam diam, genggaman tangannya tampak dingin. Tampaknya dia demam karena begadang.
Aku memaksanya begadang untukku karena rasa takut pada dokter yang mendadak datang. Dengan kapak kecil di tangannya, setiap malam ku dengar bagaimana mata kapak itu terseret pelan di tiap sudut rumah.
Mata tajam itu kini mengawasi kita dalam diam. Getaran tubuh dan takut mulai menggerogoti paru-paru yang tadinya bernapas tenang. Rian memelukku di tengah dinginnya malam dan memintaku untuk masuk ke rumah. Meninggalkan kedua makan buatan yang sengaja di buat oleh Rian tadi pagi.
Rian menemui seorang perawat yaitu Zoya. Malam ini dia akan berkunjung menemui Rian dan Aku. Jelas untuk berkenalan atau memang Rian sedang menyukai wanita seksi itu. Bekas sayatan itu kini ku tambal dengan obat. Di perban sedikit agar tidak mengeluarkan banyak darah.
Rian menggenggam tanganku dengan hangat, dia berkata, "Potongan ibu jari itu masih dalam masa penyelidikan."
"Maaf aku belum bisa menjawab siapa pemilik potongan itu," jelas Rian, "tetapi aku tahu, orang itu masih hidup sampai detik ini."
Rian menatapku seakan dia tahu rasa sedih yang ku alami. Tangannya mengusap pundakku dan mengajak diriku duduk di sofa.
"Maafkan aku yang tidak bisa menyelamatkan ayahmu saat kebakaran yang terjadi di rumah sakit, lalu ibumu."
Kau benar, andai semua ini tidak terjadi. Ku tahu pakaian dokter itu, namun tidak mungkin jika ayahku masih hidup. Kenyataannya ayahku mayatnya telah dikuburkan, aku terkejut sekali ketika kapal yang tertancap di tubuhnya mendadak terlepas, pria misterius itu tetap mampu bertahan dan sempat menatapku di belakang Rian.
Wanita yang Rian panggil Zoya adalah perawat rumah sakit. Zoya membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumah dia tampak menatapku dengan senyum manis."Jadi ini yang namanya Aren?" tanya Zoya.
"Iya salam kenal," sapaku pada Zoya.
"Ternyata Rian punya teman cewek selain aku ya?"
Rian menatap Zoya dan terkejut mendengarnya. Sementara aku sadar bahwa Zoya menyukai Rian. Wanita itu berdiri di samping Rian dan duduk dengan pakaian yang seksi.
Sorotan mata seorang pelakor, namun yang paling aku takuti adalah caranya masuk. Dia tampak tidak cocok untuk disebut perawat, bahkan menurutku dia tampak seperti wanita nakal.
****
Dalam tumpukan kertas di meja Rian aku menemukan salah satu surat yang mengatakan bahwa Sieju, seorang wanita dari Thailand, mendadak bunuh diri tanpa alasan yang jelas. Aku kembali menatap Zoya, lalu Rian menatapku.
"Sieju adalah teman Zoya," jelas Rian.
"Lalu apa hubungannya?" tanyaku.
"Dia seorang ahli psikologi yang hebat," jelas Zoya, "obatmu paling banyak di temukan di Thailand, tentu kita butuh bantuannya."
"Apa dia belum mati?"
"Dia tidak mati, karena aksinya di gagalkan oleh Rian, tepat waktu."
Dari hal ini saja aku sudah tahu, mereka adalah teman yang sangat dekat. Rian tertawa dan tampak bahagia dengan adanya Zoya, mendadak tubuhku kembali lemas dan pusing. Beberapa kali aku ingin muntah, setelah Zoya memeriksaku dengan peralatan yang ada. Dia berkata jika diriku diserang demam.
Ah, kenapa harus sakit lagi? Cuaca hujan yang dingin dan angin kencang di malam hari membuat diriku mudah sakit. Terutama aku tidak Alma baru bangun dari tidur, maksudku ranjang rumah sakit. Ini sangat menyiksaku, tetapi Rian mengusap kepalaku dan mencarikan switer untukku. Serta Rian masuk ke dapur meninggalkan aku dan Zoya di ruang tamu.
"Kau pernah percaya adanya racun?" tanya Zoya.
"Kenapa kau mendadak menanyakan itu?" tanyaku penasaran.
Zoya tertawa kecil, "Aku hanya menanyakan hal ini padamu."
"Bukankah dirimu adalah perawat?" tanyaku lagi.
Ya pertanyaannya memang terlalu konyol termasuk untukku. Lagi pula racun telah ada sejak lama, tanpa harus di tanyakan lagi. Harusnya perawat tahu tentang racun dan penyakit seseorang. Dia benar-benar tidak profesional, tetapi ya sudahlah. Setidaknya dia telah membantuku kali ini.
"Tubuhmu panas sekali, minum ini ya?" tawarnya, "ini hanya obat penurun panas, ya hanya sebatas ini saja yang ku miliki."
"Ya Rian hanya orang biasa, dia membantu kepolisian dan pekerjaan inilah yang membuatnya hidup sekarang."
Lalu aku mencoba untuk bertanya pada Zoya tentang hal kecil dari diriku.
"Apa Rian pernah menceritakan diriku padamu?"
"Untuk apa? Setahuku kalian memang baru kenal."
Astaga itu benar, aku memang baru mengenali Rian. Harusnya aku tidak berharap dia akan memiliki perasaan yang sama denganku. Namun ya sudah, tetapi keterangan diriku yang ada dalam lembar kerja Rian, kenapa sedikit berbeda dengan ingatanku.
"Zoya, maukah kau_"
Belum sempat aku melanjutkan perkataanku. Mendadak lampu padam, seisi ruangan menjadi gelap gulita, aku menarik lengan Zoya.
"Zoya kamu di sini?" ucapku tersenyum karena pada akhirnya aku tidak takut.
Namun aku merasakan cairan menitik diantara wajahku. Rian datang membawa lilin, dia tampak sangat terkejut, Zoya kini telah tanpa kepala. Aku yang menatap hal itu langsung berdiri dan mendorong tubuh Zoya ke lantai. Kepalanya telah terpental jauh, dalam sunyi hanya ada aliran darah yang berwarna merah pekat. Bau anyir tercium jelas, Rian menatapku dengan khawatir.
Seketika itu dia memelukku, lilin yang dia bawa memang sengaja di letakan di meja. Rian menenangkan diriku yang mulai menangis dan menahan rasa takut. Teriakan ku tadi pecah menggema di setiap ruangan. Samar-samar aku masih mendengar mata kapak yang terseret. Dengan pelan mengitari ruangan ini.
Hanya ada aku dan Rian. "Bagaimana ini?" tanyaku penuh dengan ketakutan.
Rian mengeluarkan pistol dari sakunya dan menatap tajam di setiap sudut ruangan dan melindungiku, pandangannya tidak lepas dariku. Tadinya ku pikir Zoya masih baik-baik saja, tetapi ketika aku menyadari dia tampak diam dan tangannya bergetar, aku pikir ini tidak akan terjadi.
"RIAN!" teriakku.
Mendadak tubuh Rian di tarik dalam gelap oleh seseorang. Aku berusaha sekuat tenaga menarik kembali Rian dalam pelukanku.
"Lepaskan dia!"
Rian juga berusaha untuk bertahan, dia menembakkan pistolnya ke depan. Membuat tubuhnya terpental menabrak ku. Rian ngos-ngosan karena berusaha menarik lengannya, dia berdiri dan semakin waspada. Rian mengangkat lilinnya agar mampu melihat setiap sela ruangan.
"Tenanglah," ucap Rian padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You On My Memories?
Novela JuvenilAku baru saja kehilangan bagian dari diriku. Bukan sekedar harga diri, tetapi juga ingatan. Tanganku berdarah menahan pisaunya. Hujan deras mengguyur tubuhku dan perih di telapak tangan. Semua ini hanya mampu ku tahan, cukup untuk diriku saja. Bagai...